Pilkada dalam Ancaman Ketidakpercayaan Warga
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah
Pemilihan Kepala Daerah 2024 baru selesai dilaksanakan. Dalam hitungan jam setelah perhitungan di TPS, prakiraan hasil perhitungan secara luas sudah bisa diketahui. Ada beberapa cara yang digunakan untuk itu, misalnya metode hitung cepat (quick count) atau exit poll. Semua menjadi lebih mudah, cepat, dan cukup akurat karena terbantu oleh kecanggihan teknologi.
Meski hasil perhitungan melalui metode tersebut bersifat sementara, namun ia harus dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel. Secara psikologis, tidak mudah untuk membantah akurasinya. Saya nyaris belum pernah menemukan keterpautan yang sangat jauh antara hasil hitung cepat versi lembaga survei dengan hasil perhitungan resmi versi KPU.
Berdasarkan prakiraan hitungan cepat versi lembaga survei, kandidat kepala daerah yang saya pilih ternyata kalah. Kekalahan itu mengagetkan, karena dalam prediksi beberapa lembaga survei yang cukup kredibel, tingkat keterpilihan dan popularitas sang calon cukup tinggi. Apalagi surveinya dilakukan berselang satu-dua bulan menjelang pemilihan. Biasannya antara hitung-hitungan di masa sebelum dan sesudah pencoblosan hanya terpaut sedikit. Kali ini, terjadi anomali yang mengejutkan.
Belajar Ikhlas
Saya memandang kekalahan dalam kontestasi itu sebagai hal yang lumrah. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Meski agak heran, namun kekalahan itu tidak sampai mengguncang perasaan. Mungkin, karena saya hanya berlaku sebagai pemilih. Saya tidak bersikap fanatik, berjuang keras karena akan merasakan dampak (keuntungan dan kerugian) secara langsung dari keberhasilan ataupun kegagalan seorang kandidat yang saya pilih. Pintu permakluman batin saya sebagai modal untuk belajar bersikap ikhlas tetap terbuka lebar.
Saya tidak akan gegabah, buru-buru menyimpulkan bahwa telah terjadi praktik nista dalam proses pemilu. Misalnya; ada operasi serangan fajar, permainan politik uang, ataupun menuduh adanya kecurangan perhitungan. Memang ada kabar berseliweran tentang praktik kecurangan dan permainan uang. Namun, kabar itu hanya terdengar dari sebuah obrolan sepintas yang tidak bisa saya konfirmasi. Saya menganggapnya sebagai rumor yang masuk telinga kanan, lewat sepintas, lalu keluar melalui telinga kiri. Saya tidak mampu menahannya terlalu lama hingga bisa membenarakannya.
Semoga para kandidat yang kalah bisa berkaca pada cermin lebar yang mampu memantulkan kenyataan yang lebih jujur. Bukan-amit-amit-bersikap ”buruk muka cermin dibelah”. Kekalahan itu mungkin terjadi karena sikap abai, terlalu percaya diri, merasa pasti akan menang, hanya karena mendasarkan pada penilaian lembaga survei. Sikap itu telah membutakan hati, menutup mata dari realitas lain dan kerja keras para lawan politik.
Bukan Hanya Soal Partisipasi
Jika para penyelenggara negara selama ini mengarahkan petuahnya kepada warga/pemilih agar mereka bersikap legawa, menjauhkan diri dari konflik dst, dalam PILKADA kali ini yang terjadi adalah sebaliknya. Semua wejangan itu layak diberikan kepada para penyelenggara Negara. Di luar perkara kalah-menang, ada masalah serius lain yang sangat memprihatinkan, salah satu dampaknya adalah menurunnya tingkat partisipasi warga dalam memilih.
Saya mulai dari kejadian yang kasat di mata. Pemilihan di lingkungan Rukun Warga perumahan saya telah mengalami penurunan minat. Jumlah pemilih di dua TPS (Tempat Pemungutan Suara) ada 622 pemilih, ternyata hanya diikuti oleh 304 pemilih. Dalam PILKADA Jakarta misalnya, menurut Charta Politika, hajatan ini hanya diikuti oleh 58 persen partisipan. Adapun perhitungan secara nasional, menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz, tingkat partisipasi pemilih Pilkada serentak 2024 secara nasional berada di bawah 70 persen dari total jumlah pemilih. Angka yang cukup rendah dibandingkan sebelumnya.
Hemat saya, rendahanya partisipasi warga dalam Pemilu tersebut bukan tanpa sebab. Ada persoalan serius yang menjangkiti diri para pemilih di Indonesia. Keengganan warga untuk memilih para calon kepala daerah, hanyalah dampak dari luka batin. Bisa jadi, warga tidak lagi percaya dengan sistem dan penyelenggara pemilu. Bisa juga karena mereka tidak lagi percaya pada kredibilitas para kandidat yang proses seleksinya diajukan oleh Partai Politik. Intinya, keengganan warga untuk memilih hanyalah buah dari akar masalah yang perlu digali secara serius.
Perkara serius lain yang saya temui adalah terkait suburnya praktik dinasti politik. Saya mengamini pandangan Yoes Kenawas dari Institute for Advanced Research, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta yang disampaikan kepada ABC Indonesia. Dalam PILKADA serentak di 545 daerah pemilihan kali ini ada 605 kadidat yang terafiliasi dalam dinasti politik. "Kandidat terafiliasi dinasti ini ada di 65 persen dari 545 daerah yang melaksanakan pilkada tahun ini," jelas Yoes.
Data dari penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak kalah mengejutkan. Ia telah memetakan adanya 54 praktik dinasti politik di Indonesia. ”ketika satu daerah dipimpin oleh kepala daerah yang terafiliasi dinasti politik, pengawasan dan tata kelola di pemerintahan akan melemah” ujar Yassar Aulia, Peneliti ICW.
Temuan lainnya menyatakan; dari 37 provinsi yang menyelenggarakan pilkada 2024, 33 provinsi terindikasi kuat memiliki peserta yang terafiliasi dengan dinasti politik. Dari 54 peristiwa yang ada praktik dinasti politik itu telah menghasilkan 70 kasus korupsi di wilayah tersebut. Jadi, ada korelasi yang sangat kuat antara fenomena dinasti politik dan praktik korupsi. Catatan di atas bisa dibaca dalam tautan berikut; https://www.abc.net.au/indonesian/2024-11-29/politik-dinasti-berlipat-ganda-di-pilkada-2024/104665584.
Membiarkan atau Menyelesaikan
Sikap abai rakyat dalam hajatan PILKADA kali ini hanyalah dampak ikutan dari endapan masalah kebangsaan yang serius. Semoga saya tidak keliru, bahwa gejala alamiah yang muncul saat ini, telah mengingatkan saya akan adanya sebagian warga yang telah terjangkiti rasa tidak lagi percaya kepada para pengelola negara. Indikatornya, mereka bersikap tak acuh, abai, tidak lagi perduli dengan semua praktik buruk yang terindikasi melanggar undang-undang yang telah kita sepakati bersama.
Dalam lingkungan keseharian kita, jika ada orang tua, kakak, adik, saudara, kerabat, bahkan teman-teman dekat yang bersikap membiarkan saya untuk berperilaku seenak hati yang melanggar norma, maka pembiaran itu sejatinya adalah pertanda bahwa mereka sudah sampai pada puncak kemarahan terhadap saya. Wujud saya sebagai manusia sudah dianggap tidak ada. Alih-alih saya ditegur, didoakan agar menjadi lebih baik, keberadaan saya sirna. Tidak ada lagi ruang sekecil apapun di dalam hati mereka. Itu adalah bentuk hukuman paling tinggi di dalam lingkungan sosial sebagai manusia.
Saya tetap berharap, jangan sampai kejadian serupa terjadi pada warga terhadap para penyelenggara negara. Warga menjadi abai, tidak peduli, membiarkan dan tidak sampai di situ, pada puncaknya mereka akan enggan membayar pajak, mematuhi aturan bersama dan jika itu terjadi, bisa dibayangkan rentetan kejadian berikutnya.
Sekarang saatnya para pengampu pengelolaan negara ini bercermin. Apakah Anda semua sedang berpikir keras untuk mengurai akar masalah lalu berusaha menyelesaikannya, atau sedang bekerja keras, mengabaikan norma agar bisa balik modal atas apa yang sudah Anda keluarkan selama ini? Saya masih akan terus mengritik dan belum sampai pada tahap membiarkan.