Ormas dan Tambang
Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada Kamis (30/5/2024). Peraturan baru itu antara lain memberikan kesempatan organisasi keagamaan melalui Badan Usaha yang dimilikinya untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dengan sejumlah persyaratan.
Keluarnya PP nomor 25 tersebut menimbulkan diskusi hangat di ruang publik. Organisasi kemasyarakatan atau Ormas seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, organisasi gereja, dan lain-lain menjadi sorotan tajam. Bermacam pandangan kontra dimunculkan ke ruang publik antara lain ada yang menyebutkan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 karena harus dikelola negara dan lain-lain. Ormas dipandang tidak akan mampu mengelola tambang. Ormas akan menjadi alat legitimasi untuk perusakan alam atau lingkungan. Ada pula opini politik seolah kebijakan tersebut “jebakan Batman” dan politik pembungkaman. Kenapa sejauh itu?
Pandangan konstruktif juga berkembang. Jika Ormas mampu secara profesional kenapa mesti dipersoalkan. Jika dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945 bukankah selama ini melalui sejumlah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sudah berlangsung pengelolaan sumberdaya alam yang diserahkan kepada swasta melalui regulasi yang sah. Menurut Bung Hatta, pasal 33 UUD 1945 tidak menegasikan swasta tetapi negara turut campur mengatur secara benar. Lantas, apa bedanya jika Badan Usaha milik Ormas atau yang sahamnya mayoritas dikelola Ormas memperoleh hak pengelolaan tambang dan sumber daya alam lainnya? Ormas sendiri melalui Badan Usahanya jika akan mengambil bagian dalam pengelolaan tambang tentu disertai profesionalitas, modal, serta mengikuti persyaratan dan regulasi yang berlaku. Tidak akan sembarangan mengelola.
Berbagai pandangan pro dan kontra sah adanya di era demokrasi dan keterbukaan. Ormas justru dapat mengambil pemikiran dan langkah seksama dari berbagai pandangan tersebut. Lebih dari itu pihak Ormas sendiri seperti Muhammadiyah misalnya, tentu akan seksama dalam mengambil keputusan. Seperti dikemukakan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak akan tergesa-gesa dengan kebijakan baru tersebut. Hingga di situ sebenarnya jelas posisi dan sikap Muhammadiyah. Muhammadiyah menghadapinya secara rasional objektif, disertai pertimbangan seksama dari berbagai aspek.
Namun semestinya diskusi dan opini berjalan adil dan objektif. Berilah kesempatan kepada Ormas untuk mengkaji dan mempertimbangkan secara seksama. Ormas tidak perlu dihakimi dan distigma dengan berbagai pandangan yang cenderung merendahkan, apalagi menariknya ke urusan politik. Jika ada Ormas memanfaatkan peluang atau sebaliknya tidak mengambil peluang untuk pengelolaan tambang dan sumber daya alam lainnya, hal itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab Ormas masing-masing. Kembangkan pola pikir yang rasional, objektif, berbasis ilmu, dan tidak politis.
Ormas tidak perlu dilabeli dengan pandangan-pandangan negatif ketika menerima atau sebaliknya tidak memanfaatkan peluang PP Nomor 25 tersebut. Apakah Ormas akan menerima atau tidak peluang tersebut tidak ada hubungan dengan marwah (dignity, kehormatan). Jangan dibawa pula ke urusan politik beraroma pro-kontra pemerintah. Di sinilah pentingnya menghargai Ormas dengan keberadaan dan fungsinya sebagai pilar strategis bangsa dan negara. Berilah kebebasan Ormas secara adil. Bila pengelolaan tambang dan segala hal buruk telah terjadi di Republik ini maka jangan ditimpakan dan digeneralisasikan kepada Ormas. Ormas tidak bodoh dan gegabah.
Kewaspadaan memang diperlukan, tetapi jangan mengandung pesan nyinyir dan politis untuk distigmakan kepada Ormas. Ormas tidak perlu dijadikan terdakwa dan direndahkan keberadaannya. Psikologi politik praktis pasca Pemilu jangan dibawa-bawa melalui berbagai pernyataan peyoratif yang menyudutkan Ormas. Aktivis dan pimpinan Ormas juga tidak perlu ikut-ikutan menghakimi, layaknya orang luar yang tidak paham organisasinya sendiri. Khusus internal Muhammadiyah, sebaiknya seluruh komponen apalagi pimpinan berdisiplin tinggi dalam berorganisasi. Jangan mudah mereaksi dan ikut arus pro-kontra dengan membikin ‘fatwa’ dan langkah sendiri-sendiri!
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2024