Pancasila dalam Pengamalan

Publish

9 June 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
579
Sumber Foto Mizan

Sumber Foto Mizan

Pancasila dalam Pengamalan

Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen FH UAD

Meskipun kontroversial, peringatan hari kelahiran Pancasila, rasanya tetap penting untuk kita terus mengangkatnya sebagai sumber keilmuan maupun sumber hukum positif negara. Peringatan hari lahir Pancasila menjadi semakin bermakna jika kita bincangkan dalam topik pengamalan Pancasila. Alasannya, antara lain, karena kita  hampir-hampir tidak melihat bagaimana Pancasila saat ini diamalkan. Tulisan sederhana ini mencoba mendaur ulang pengamalan Pancasila terutama oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa dan negara seperti berikut ini.

Kebenaran dan Kebiasaan

“Biasakan yang benar. Bukan membenarkan yang biasa.” Demikian KHA Dahlan. Saya selalu terkesima setiap mengunduh kutipan-kutipan leluhur bangsa.” (Butet Kartarajasa, Kompas, 31 Mei 2024. Kutipan wejangan dari KHA Dahlan oleh Butet Kartarajasa ini sekurang-kurangnya menggambarkan tentang dua hal. Pertama, bahwa sesuatu  yg benar/haq secara alami akan menemukan jalannya utk memasuki ruang berfikir dan berempati melintasi berbagai perbedaan termasuk perbedaan keyakinan. Kedua, sebagai penggambaran terlalu sulitnya mencari keteladanan dalam pemikiran dan praktik kehidupan secara umum, dan secara khusus dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini. Akibatnya kita harus menggali warisan tradisi pemikiran dan praktik dari para the founding fathers.

Tulisan ini mencoba mengangkat butiran pemikiran dan perilaku luhur  sebagaimana dilakukan oleh Butet Kartarajasa. Diantara yang penulis kemukakan dalam tulisan ini, secara mendetail telah ditulis dengan sangat baik oleh Saudara Yudi Latif dalam bukunya Mata Air Keteladan. Sebagian lainnya adalah apa yang pernah penulis lihat atau penulis dengar bagaimana para tokoh panutan itu memberikan pemikiran yang jauh dan mendalam bukan dalam kata-kata, tapi dalam sikap hidup, perilaku kongkret sehari-hari. Menurut hemat penulis, tulisan semacam ini menjadi berguna layaknya mata air jernih keteladanan hidup dari para tokoh bangsa. Jika generasi penerus berkenan membacanya niscaya  mata rantai idealisme dan spirit berjuang tidak akan pupus oleh hiruk pikuk pragmatisme yang saat ini melanda bangsa yang kita cinta ini.  

Membela UUD 1945, Dipenjara

Bung Tomo, aktor pemberi spirit melawan penjajah dengan takbirnya, adalah tokoh pejuang pra kemerdekaan yang bersama-sama dengan beberapa tokoh lainnya dipenjara. Pemenjaraan Bung Tomo tidak terkait dengan urusan kriminal, misalnya korupsi. Tapi kata Prof. Ismail Sunny: “Bung dipenjara karena membela UUD 1945 dan mempertahankan tujuan kemerdekaan.” Pernyataan Prof. Ismail Sunny dikatakannya kepada Bung Tomo karena beliau juga dipenjara Bersama Bung Tomo, Mahbub Djunaedi, dan Imaduddin Abdurrahim. Mereka bersama-sama dipenjara pada 11 April 1978 dan baru dikeluarkan tanggal 4 April 1979. Alasan pemenjaraan Bung Tomo adalah dinilai sebagai penghasut mahasiswa karena sering menyatakan Pemerintah Orde Baru “korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan.” Memang pada tahun 1978 mahasiswa melakukan demonstarsi besar-besarn.

Bung Tomo pernah diangkat sebagai Anggota Dewan Penasihat Panglima Besar Jendral Sudirman, adalah tokoh yang gemar mengkritik Pemerintah Orde Baru. Diantara kritikannya adalah sorotannya terhadap Pemerintah yang suka mempraktikan kongkalikong antara pemerintah dengan penguasa sipil dan militer. Bung Tomo memang rajin mengkritik pemerintah, termasuk pemerintahan pada masa Orde Lama. Bahkan disuratinya Boeng Karno, saat masih menjadi presiden, yang isi suratnya tentang penderitaan rakyat. Indikasinya adalah banyaknya rakyat yang meninggal dan tidak terurus. Sang pejuang pada tanggal 7 Oktober 1981, saat sedang menunaikan ibadah haji, tepatnya sedang wukuf di Arofah, Bung Tomo wafat. (Yudi Latif hal. 91-92).

Raja Mataram dan Brigadir Polisi

Dua tokoh yang jujur dan berani ini sangat layak untuk dijadikan inspirasi keteladanan. Tokoh pertama adalah tokoh sangat masyhur keteladanannya yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Banyak kisah keteladanan beliau yang membuat pembaca atau orang yang mendengarnya terperangah, karena memang mengagumkan. Penulis bersama-sama dengan pimpinan organiaasi mahasiswa dan pemuda dalam satu forum yang diinisiasi KNPI DIY, pimpinan GBPH Joyokusumo almarhum,  menyaksikan bagaimana sikap kenegarawanan beliau. Ketika seorang pimpinan organisasi mahasiswa menyinggung masalah feodalisme yang umumnya dipraktikkan di keraton, beliau menjawab dengan nada yang biasa-biaa saja. Raut wajahnya yang memancarkan kewibawaan sudah cukup untuk memberi kesimpulan bahwa beliau tidak tersinggung dan menghormati sang penanya. Sebaliknya,  penanya yang pimpinan organisasi mahasiswa ini menyatakan kepada penulis --yang duduk bersebelahan--, bahwa ia  sangat malu. Dia mengatakan bahwa pertanyaannya terlalu keras, tetapi beliau menjawab dengan santun dan dalam bahasa yang sangat bernilai.   

Tokoh kedua adalah seorang polisi berpangkat Brigadir, bernama Royadin. Yudi Latif mengutip dari tulisan Ramadhian Fadillah yanga berjudul “Kisah Sultan HB IX ditilang Brigadir Royadin.” Alkisah, di Kawasan Soko, Pekalongan, pukul 05.30 pada pertengahan tahun 1960, Brigpol Royadin melihat ada sedan warna hitam berjalan pelan tetapi melawan arah. Maka dihentikanlah mobil itu. Brigpol Royadin meminta pengemudi untuk mengeluarkan SIM nya. Pengemudi itupun memberikan SIM nya dengan tersenyum. Alangkah terkejutnya polisi Royadin setelah tahu pengemudinya adalah Sri Sultan HB IX. 

Hal yang menarik adalah sikap keteladanan kedua tokoh ini yang terungkap dalam dialog mereka berdua. Brigpol Royadin mengatakan; “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah.”  Sri Sultan menjawab dengan tidak menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Raja Mataram, beliau mengatakan; “Ya, saya salah. Kamu yang pasti benar. Jadi bagaimana, tanya Sri Sultan, karena melihat wajah polisi ini ragu, maka ditegaskan oleh beliau; “Buatkan saja saya surat tilang.” Brigpol Royadin akhirnya mengatakan; “Maaf, Sinuwun terpaksa saya tilang.” Sri Sultan menegaskan; “Baik Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya.”   (Yudi Latif, hal. 232-233)   

Polisi Anti Suap  

Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur adalah jagoan seloroh yang bisa melegenda. Diantara seloroh Gus Dur adalah tentang polisi anti suap. Tidak lain dan tidak bukan polisi itu adalah Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso. Sedemikian legendarisnya nama Hoegeng, Gus Dur pernah berseloroh; “Hanya ada 3 polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng.” Seloroh Gus Dur yang satu inipun sangat masyhur.

Ujian pertama kali yang dihadapi oleh pak Hoegeng adalah ketika ditugaskan ke Medan dengan jabatan Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditreskrim) di Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara di Medan. Sesampainya di Medan, pak Hoegeng disambut seseorang yang memperkenalkan diri sebagai “Panitia Selamat Datang,” yang menyampaikan banyak hal tentang fasilitas yang dapat digunakan oleh pak Hoegeng, termasuk hotel. Pak Hoegeng dengan halus menolak dengan menyatakan bahwa fasilitas-fasilitas itu hendaknya ditahan saja dulu. Peristiwa-peristiwa semacam ini mengringi karir polisi anti suap ini, bahkan sekadar pemberian berupa kulkas saja beliau menolaknya. Apalagi ketika mendapat kiriman dua buah motor. Pak Hoegeng menolak dan memerintahkan ajuannya untuk mengembalikan motor-motor itu.  Padahal putra lelakinya bernama Didit sangat ingin ayahnya menerima kiriman itu.

Atas sikapnya yang anti suap ini pak Hoegeng tak jarang mendapat ancaman pembunuhan. Salah satunya adalah jadi sasaran sniper (penembak jitu) pada saat bertugas di pinggiran Kota Medan. Beruntungnya pak Hoegeng selamat, meskpiun pelakunya tidak berhasil ditangkap. Dengan sikap hidup yang lurus, jujur dan tegas ini, beliau menolak untuk tinggal di rumah dinas meskipun jabatannya adalah Kepala Kepolisian Negara –yang sekarang menjadi Kapolri.  

Memang sangat mengagumkan sikap hidup para pejuang kemerdekaan dan para pejuang penjaga kemerdekaan. Sisanya saat ini, adalah meluangkan waktu belajar mencintai apa yang diperjuangkan oleh para pejuang dan para penegak kemerdekaan dengan mengamalkan Pancasila. Kita tidak boleh kalah oleh sikap konsisten seorang Ketua DPRD di satu kabupaten di Jawa Timur yang mengundurkan diri sebagai Anggota DPRD gara-gara tidak hafal Pancasila.*   


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Al-Qur'an adalah kitab suci kaum Muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang p....

Suara Muhammadiyah

23 February 2024

Wawasan

Fenomena Sekolah Islam Perkotaan Oleh: Dartim Ibnu Rushd, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam-UMS P....

Suara Muhammadiyah

11 January 2024

Wawasan

Oleh: Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Surby dan UIN Syahid Jakarta, aktivis PWM Banten Kata ul....

Suara Muhammadiyah

18 January 2024

Wawasan

Posisi Manusia dan Kemerdekaan Diri Oleh: Agusliadi Massere Kemerdekaan diri, baik kemerdekaan pik....

Suara Muhammadiyah

4 November 2023

Wawasan

Meningkatkan Kesejahteraan Bagi Bangsa Indonesia: Tantangan dan Harapan Oleh: Muhammad Himawan Suta....

Suara Muhammadiyah

8 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah