Cerpen: Mustofa W Hasyim
Dengan mudik dia merasa menjadi manusia. Dia baru menyadari ketika mudik dua tahun ini. Sebelmnya dia mudik seperti air mengalir begitu saja. Tahun lalu tepat di hari Raya Idul Fitri, ibunya meninggal dunia menyusul ayahnya yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Berita meninggalnya ibu ini diumumkan di tanah lapang depan sekolah menengah pertama di desa itu. Warga desa, termasuk yang mudik melayat, tikar yang digelar di bawah kebun melinjo dan pohon sawo yang cukup luas tidak muat menampug para pelayat. Dan selama tiga hari setelah itu keluarganya masih menerima tamu yang takziah, yang datang dari desa lain dan dari keluarga besar ayah dan keluarga besar ibu.
Sebagai anak sulung dia memimpin pertemuan keluarga. Lima adik-adiknya yang mudik bersama anak istri atau suami hadir dalam pertemuan itu. Intinya, menentukan siapa yang kemudian harus merawat rumah keluarga, kebun dan halaman rumah dan beberapa petak sawah. Secara aklamasi semua menunjuk kepada anak sulung. Apalagi semua tahu kalau anak sulung bernama Suparman tahun itu sudah memasuki masa pensiun.
“Kang Parman bisa pulang kembali ke desa merawat warisan keluarga. Apalagi tiga anak Kang Parman sudah mentas atau sudah menikah semua. Rumah Kang Parman di Jakarta bisa ditinggali anak bungsu,” kata adik kandung persis di bawahnya.
“Ya, dengan adanya Kang Parman di rumah ini, kami setiap Lebaran jadi punya tujuan mudik. Ada orang yang berusia tua yang bisa kami datangi,” kara adiknya di bawah adik yang tadi.
“Benar. Kalau rumah ini kosong tidak ada penghuni, kami bisa-bisa malas untuk mudik. Dan keluarga kita bisa bubar.”
“Jadi tugas Kang Parman adalah menjaga keutuhan keluara besar kita. Yaitu dengan tinggal di rumah ini,” kata adik bungsu, perempuan.
Mereka juga sepakat, segala hasil usaha tani atau kebun dimasukkan ke dalam kas keluarga. Bisa dipergunakan untuk membantu kalau ada anggota keluarga yang memerlukan. Pemegang buku kas keluarga dipercayakan kepada isteri Parman.
Parman menerima hasil keputusan keluarga. Dia memerlukan waktu setahun untuk persiapan pindah atau boyongan kembali ke desa. Isteri yang punya usaha catering di perumahan pejabat di Jakarta juga memerlukan persiapan untuk memindahkan usaha di desa itu. Usaha catering akan diubah menjadi warung makan di dekat kantor Kelurahan yang berdekatan dengan sekolah menengah pertama sehinga jelas ada calon pembeli.
Parman juga menjelaskan rencananya untuk meremajakan kebun melInjo. Puluhan pohon melinjo berusia tua itu akan ditebang habis untuk kemudian pada bulan yang tepat mulai ditanami bibit melinjo lagi. Hanya masalahnya, kalau pohon melinjo ditebang, sebanyak itu, kemana kayunya bisa dijual? Kalau buah dan daun melinjo jelas sudah ada yang menampun. Bu Dukuh yang punya usaha pembuatan emping masih mau membeli.
“Kang Parman, saya punya kenalan pengusaha kotak kayu untuk mengemas buah atau apa. Biasanya dia menggunakan kayu pohon melinjo yang ringan tapi kuat.” Kata adik keempat.
Parman diberi nomor kontak pengusaha itu.
“Jadi soal kayu melinjo beres.”
Ini semua membuat mudik tahun ini sungguh berbeda bagi Parman, dia dan isterinya sengaja datang tiga bulan sebelum bulan puasa. Mudik mruput, begitu Pak Dukuh mengatakan kepulangan lebih awal. Ini sebuah mudik yang membuat hidupnya berubah. Karena urusannya adalah merwat dan membuat rumah dan harta peninggalan orang tua menjadi bermanfaat. Termasuk rencana meremajakan kebun nelinjo yang dalam waktu kurang seminggu pengusaha kotak kayu itu memborong dan menebang semua pohon melinjo.
Kebun di depan rumah itu menjadi tanah lapang, terang dan bersih. Hanya ada pohon sawo dan jambu air serta beberapa pohon sukun dan pohon kluwih yang berada di pinggir masih membuat tempat itu ada perindang. Parman tidak tergesa menanami bibit nelinjo. Ia menunggu musim hujan dan masih ingin menikmati suasana tanah lapamg. Ia bisa merasakan bagaimana angin menjadi lebih kencang bertiup dan kalau malam hari, di terang bulan, tanah lapang itu disinari bulan purnama. Ia dan isrteri suka duduk di lincak menikmati malam indah.
Dalam waktu dua bulan, warung yang dibangun di dekat kantor Kelurahan dan gedung sekolah itu siap sehinggga di bulan puasa sudah bisa melayani pembeli. Karena pembantu yang setiap hari menemani bekerja di warung waktu masih di Jakarta memilih pulang ke desa setelah diberi pesangon yang cukup banyak, isteri Parman mengajak ibu-ibu muda atau siapa saja yang masih punya waktu luang untuk menjadi pembantu memasak dan melayani pembeli.
Parman mengabarkan persiapan dirinya dan isteri menerima keluarga besar yang akan mudik ke desa. Mereka semua menyambut gembira. Bersiap mudik menemui saudara tertua dalam keluarga.
Bulan puasa datang. Parman dan isteri shalat jamaah taraweh di masjid desa yang tidak begitu jauh. Dan pada malam ketujuh belas, sehabis peringatan Nuzulul Qur’an, dia diminta ikut rapat oleh Takmir Masjid yang juga panitia kegiatan Ramadhan dan Pesiapan Idul Fitri.
“Mas Parman, ini ada persoalan yang perlu kita pecahkan bersama,” kata ketua panitia yang juga Sekretaris Desa.
“Ada apa Dik Rohmat?” tanya Parman.
“Begini, tahun ini kita tidak bisa meminjan lapangan sepakbola untuk shalat Id.”
“Lho, kenapa?”
“Lapangan sepakbola itu kan sudah dipagari dan akan dijadikan semacam stadio oleh Kabupaten, untuk berlatih anak-anak desa bermain bola. Rumputnya baru kemarin ditanami sehingga tidak bisa dipergunakan untuk shalat Id. Takut rusak kalau di atasnya di pakai untuk jamaah shaalt Id. Kalau rumput impor itu rusak kan pihak Kabupatan rugi milyaran rupiah.”
Peserta rapat diam. Suasana hening. Semua larut dalam pikirannya masing-masing. Warga desa ini sudah memilih menggunakan lapangan atau ruang terbuka untuk shalat Id. Halaman masjid terlampau sempit. Jalan desa tidak mungkin, karena di hari raya akan ramai. Kalau dipakai untuk shalat Id isa menimublkan kemacetan sampai desa lain.
“Gimana kalau Mas Parman meminjamkan itu tanah lapang bekas kebun melinjo untuk shalat Idul Fitri tahun ini?”
Parman kaget, langsung spontan menyetujui.
“Tapi saya harus rembugan dengan adik-adik karena itu statusnya masih tanah keluarga.”
“Adik-adikmu pasti setuju Mas.”
“Anak-anak mereka dan juga anak cucumu malah senang, shalat di Id di depan rumah kakek mereka.”
Ini yang kemudian terjadi. Shalat Idul Fitri, untuk pertama kali di desa itu diselenggarakan di tanah lapang bekas kebun melinjo yang telah dibersihkan. Keluarga Parman bahkan menyiapkan minuman segar dan makanan lezat untuk jamaah shalat Id. Sehabis mendengarkan khutbah Idul Fitri, seluruh warga desa bersalaman saling memaafkat\n, lalu menikmati makanan dan minuman.
Pak Lurah atas nama pemerintah desa mengucapkan terima kasih kepada Parman dan adik-adiknya.
“Malah tadi adik-adik saya sepakat, untuk shalat Idul Adlha nanti juga dipersilakan menggunakan tempat ini. Sedang untuk proses penyembelihan hewan kurban seperti biasa, di halaman masjid. Kalau mau menggunakan sela-sela pohon sawo, jambu dan sukun juga dipersilakan,” kata Parman yang merasa bahwa dia digerakkan oleh Tuhan kembali pulang ke desa untuk memenuhi maksud-maksud mulia seperti itu.
Wajah Pak Lurah dan pamong desa lainnya, tampak cerah dan makin cerah.
Yogyakarta, 2022
Mustofa W Hasyim, sastrawan, tinggal di Yogyakarta.