Pemanfaatan Limbah Air Wudhu untuk Bersuci
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Kami ada rencana untuk memanfaatkan limbah air wudhu di masjid yang akan dibangun. Apakah jika bisa air tersebut nantinya digunakan kembali untuk bersuci? Jika memungkinkan bagaimana standar treatment air limbah tersebut? Mohon penjelasan.
Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu ‘alaikum w.w.
Galuh Maulidin Rochman, SMK Muhammadiyah Lemahabang (Disidangkan pada Jumat, 10 Safar 1443 H / 17 September 2021 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Galuh Maulidin Rochman atas kepercayaan bapak untuk menyampaikan pertanyaan dan meminta fatwa kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Air merupakan salah satu karunia Allah swt yang sangat penting bagi makhluk hidup, termasuk manusia. Bahkan semua makhluk hidup di muka bumi ini sangat tergantung dengan air dan menjadi sumber kehidupan. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam Surah al-Anbiya` [21]: 30.
... وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ [الأنبيآء، 21: 30].
Dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup, apakah mereka tidak juga beriman? [Q.S. al-Anbiya` (21): 30].
Karena pentingnya air bagi kehidupan makhluk hidup, maka manusia memiliki kewajiban untuk melakukan konservasi dan perhatian yang maksimal terhadap eksistensi sumber daya air. Sebab jika manusia tidak memiliki kearifan dan perhatian untuk melakukan konservasi, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi krisis air baik dari aspek kualitas maupun kuantitasnya, yang berdampak negatif pada kehidupan manusia dan makhluk hidup. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur`an Surah al-Mu`minun (23): 18,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّا عَلَى ذَهَابٍ بِهِ لَقَادِرُوْنَ [المؤمنون، 23: 18].
Kami turunkan air dari langit dengan (sesuai) ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya [Q.S. al-Mu`minun (23): 18].
Dalam Islam, air memiliki posisi yang sangat urgen, karena setiap orang Islam yang hendak beribadah seperti salat, dia berkewajiban untuk melaksanakan taharah (bersuci). Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat membutuhkan air, baik untuk urusan domestik (seperti minum, mandi dan mencuci) maupun lainnya.
Terkait dengan pertanyaan bapak, bahwa upaya pemanfaatan limbah air wudhu sesungguhnya sudah banyak dilakukan oleh beberapa takmir masjid dan pondok pesantren, terutama untuk menyiram tanaman dan memelihara ikan (ikan lele). Tentu ini merupakan langkah yang sangat baik dan bermanfaat dalam rangka memanfaatkan Sumber Daya Air serta menghindari perilaku tabzir terhadap air yang merupakan sumber kehidupan umat manusia dan makhluk hidup. Perilaku tabzir sangat dibenci oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْآ إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا [الإسراء، 17: 27].
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya [Q.S. al-Isra’ (17): 27].
Namun demikian, terkait dengan pemanfaatan limbah hendaknya terlebih dahulu dilakukan proses penyaringan sebelum dimanfaatkan langsung untuk penyiraman maupun pemeliharaan ikan. Terhadap persoalan ini tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih tentang kebolehannya. Justru sikap seperti ini merupakan salah satu implementasi dari perilaku ramah terhadap air dan lingkungan. Sikap ramah terhadap air dan lingkungan telah dijelaskan dalam Putusan Tarjih tentang Fikih Air. Dalam Putusan tersebut dijelaskan tentang urgensi atau pentingnya air bagi kehidupan makhluk hidup, antara lain,
1. Untuk ibadah (wudhu) (Q.S. al-Ma`idah [5]:6)
2. Kebutuhan domestik manusia (Q.S. al-Baqarah [2]:60; al-Hijr [15]:22; al-Nahl [16]:10; dan al-Waqi’ah [56]:68-69)
3. Kebutuhan flora dan fauna (Q.S. al-Baqarah [2]:22; al-Nahl [16]:10-11; Thaha [20]:53; al-Mu`minun [23]:19; dan al-Naba’ [78]:14-16)
4. Salah satu unsur penciptaan makhluk hidup (Q.S. al-Anbiya’ [21]:30), termasuk hewan (Q.S. al-Nur [24]:45) dan manusia (Q.S. al-Furqan [25]:54)
5. Menyuburkan tanah yang tandus (Q.S. al-Baqarah [2]:164; al-Hajj [22]:5; dan al-Rum [30]:24).
Oleh karena itu, sumber air harus dijaga dan dimanfaatkan sebaik dan seefisien mungkin, agar tidak terjadi krisis air, baik terkait dengan kuantitas maupun kualitasnya.
Namun terkait dengan pemanfaatan limbah air wudhu untuk bersuci, baik untuk berwudhu, mandi atau mencuci, harus dikaji dari berbagai pendekatan karena terkait langsung dengan salah satu jenis ibadah mahdlah dalam Islam. Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah, pendekatan tersebut meliputi pendekatan Bayani (teks-teks agama), Burhani (temuan ilmiah terutama aspek kesehatan) dan Irfani (kesantunannya).
Limbah air wudhu tidak menutup kemungkinan terkontaminasi oleh benda najis dari alas kaki yang digunakan saat berwudhu dan lainnya, atau kemungkinan penyakit-penyakit menular yang berasal dari orang yang berwudhu larut bersama air limbah wudhu tersebut, dan kemungkinan-kemungkinan lain seperti terkontaminasi oleh bakteri berbahaya. Hal ini juga harus menjadi perhatian dalam menentukan legalitas dan bentuk treatment-nya. Karena penggunaan limbah air wudhu disamping harus memenuhi kreteria sebagai air mutlaq (suci dan menyucikan), namun juga tidak boleh mendatangkan kemudaratan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Ahmad dan beberapa kaidah fikih berikut ini,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَاضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ [رواه مالك وابن ماجه].
Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) berkata; Rasullah saw bersabda: Tidak boleh (melakukan sesuatu) yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain.
الضَّرَرُ يُزَالُ.
Kemudaratan (sesuatu yang membahayakan) harus dihilangkan.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menghindari kerusakan harus diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan.
Selain itu, pemanfaatan limbah air wudhu untuk bersuci, tidak dapat dilepaskan dari kriteria air yang dapat digunakan untuk bersuci. Dalam perspektif fikih, para fukaha membagi air itu menjadi beberapa kategori, yaitu,
1. Air mutlaq (al-ma’ al-mutlaq), yaitu; air yang suci secara bendanya dan dapat digunakan untuk bersuci (thahirun wa muthahhirun). Air yang termasuk kategori ini adalah air sumur, air hujan, mata air, air sungai, air laut, dan lainnya.
2. Air musta’mal (al-ma’ al-musta’mal), yaitu air yang suci secara zatnya namun tidak bisa digunakan untuk bersuci, seperti air teh, air kopi, dan menurut sebagian ulama yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci dalam jumlah yang sedikit atau terbatas.
3. Air najis (al-ma’ al-mutanajjis), yaitu air yang terkontaminasi atau tercampur dengan benda najis dalam jumlah terbatas atau mengubah salah satu sifatnya, yaitu warna, bau dan rasa.
Dalam kajian fikih berkemajuan, kriteria air yang dapat digunakan untuk bersuci dan untuk kebutuhan domestik manusia juga harus mempertimbangkan aspek lain, yaitu tidak terkontaminasi oleh berbagai zat kimia dan bakteri berbahaya. Artinya, terkait dengan kebolehan menggunakan limbah air wudhu untuk bersuci harus terlebih dahulu diteliti dan dikonsultasikan kepada ahlinya, apakah dengan treatment dan cara tertentu dapat menghilangkan bakteri yang membahayakan atau tidak.
Hal ini karena limbah air wudhu tersebut telah digunakan oleh banyak orang dengan keadaan yang beragam. Mungkin saja ada yang memiliki penyakit tertentu yang menular dan membahayakan seperti TBC, penyakit kulit, dan lainnya. Jika treatment-nya tidak tepat maka dapat membahayakan pengguna limbah tersebut. Hal ini sesuai dengan isyarat dalam Al-Qur`an Surah al-Nahl (16): 43,
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْۤ إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوْآ أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ [النحل، 16: 43].
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui [Q.S. al-Nahl (15): 43].
Jadi, menurut hemat kami, legalitas atau keabsahan penggunaan limbah air wudu untuk bersuci tidak hanya menyangkut pertimbangan boleh atau tidaknya secara hukum fikih semata, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek lainnya seperti pertimbangan kesehatan dan jaminan terbebas dari zat-zat yang membahayakan, aspek treatment yang akan digunakan, melakukan kajian dan dikonsultasikan kepada pihak yang berkompeten. Termasuk pertimbangan skala prioritas (fiqh aulawiyat) penggunaannya apakah untuk menyiram tanaman atau halaman, budidaya ikan dan lainnya, di luar urusan untuk bersuci jika di daerah tersebut masih termasuk kategori daerah yang subur dan tidak terjadi krisis air.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2022