Pendekatan Integratif Pemberantasan Judi Online
Oleh: Dr. Edi Sugianto, M.Pd, Dosen AIK UMJ dan Ketua LPPM IAI Al-Ghuraba Jakarta
Wacana pemberian Bantuan Sosial (Bansos) untuk korban judi online menjadi polemik di masyarakat. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, mengklarifikasi bahwa yang diusulkan untuk mendapatkan Bansos adalah korban atau pihak keluarga pelaku judi yang secara finansial sangat dirugikan, sementara pelaku tetap mendapatkan sanksi hukum. Meskipun, MUI dan DPR RI mengingatkan, Bansos diprioritaskan untuk keluarga miskin yang benar-benar membutuhkan, bukan untuk korban judi online.
Terlepas dari wacana tesebut, menurut Survei DroneEmprit, saat ini Indonesia masuk lima (5) daftar negara dengan jumlah pemain judi online terbanyak di dunia, yaitu 201.122 pemain, Kamboja 26.279, Filipina 4.207, Myanmar 650, dan Rusia 448 pemain (Tempo.co, 5/5/2024).
Bahkan, menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 3,2 Juta orang Indonesia menjadi pemain judi online. Rata-rata (hampir 80 persen), mereka menghabiskan uang di atas 100 ribu rupiah per hari (detikNews, 15/6/2024). Jumlah yang sangat fantastis dan membuat kita mengelus dada.
Segala bentuk permainan untung-untungan yang mempertaruhkan uang dan barang berharga adalah judi. Pihak yang kalah membayar yang menang sesuai perjanjian. Pemain judi selalu bernafsu untuk mengejar kemenangan dan keuntungan besar, padahal semua hanya semu dan tipu daya permainan.
Pada zaman dulu, judi dilakukan secara offline dengan mendatangi tempat-tempat tertentu. Namun, dengan perkembangan teknologi, penjudi cukup menggunakan telepon pintar dari rumah masing-masing, maka terjadilah judi online di berbagai situs website dan aplikasi.
Maraknya judi online memiliki dampak yang luar biasa pada pelemahan nilai-nilai sosial. Akibat judi, keuangan keluarga berantakan hingga jatuh miskin. Baru-baru ini, ada seorang polisi wanita (Polwan) yang membakar suaminya, karena uang belanjanya dipakai buat judi online.
Akibat kecandungan main judi, sebagian orang nekat menjual barang-barang berharga, kendaraan, dan rumah. Judi membuat orang lupa waktu dan kewajiban, seperti salat, puasa, dan mencari nafkah.
Judi dalam berbagai perspektif apa pun merupakan tindakan terlarang. Perspektif agama Islam, Al-Qur’an menyebutkan judi (al-maysir) sebagai dosa besar (QS. 2 : 219), keji, dan perbuatan setan (QS. 5 : 90). Setan menjadikan judi sebagai perangkap permusuhan di antara manusia, dan membuat lalai dari mengingat Allah.
Perspektif hukum positif, negara mengategorikan judi sebagai tindak pidana (delict), tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1974. Pasal I, semua judi adalah kejahatan.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), sedang memaksimalkan penggunaan Artificial Intelligence (AI). Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kansong, menyampaikan, ada tiga (3) mekanisme dalam pemberantasan judi online melalui AI, di antaranya: melalui sistem automatic identification system (AIS), patroli siber yang dilakukan oleh petugas, dan laporan dari masyarakat.
Pendekatan Integratif
Maraknya judi online tidak cukup ditangani dengan pendekatan hukum (represif), tetapi mesti ada integrative approach, yaitu menyatukan berbagai faktor ke dalam satu kesatuan proses pemberantasan. Misalnya, pendekatan psikologis dan edukatif sebagai langkah preventif , mengingat judi sudah menjadi penyakit mental masyarakat.
Mengapa semakin banyak orang masuk dalam lingkaran setan judi? Penyebabnya karena banyak faktor, baik internal, seperti minimnya kesadaran, atau pun eksternal; lingkungan, kesempatan, dan ekonomi.
Banyak orang main judi, karena belum sadar moral, dan hukum, sehingga pemerintah dan lembaga pendidikan harus lebih intens mengedukasi masyarakat mengenai bahaya judi. Hukuman bagi pemain judi online, menurut undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 27 ayat 2, adalah pidana dengan hukuman penjara paling lama enam (6) tahun atau denda satu miliar rupiah.
Masyarakat yang melakukan judi online, awalnya ikut-ikutan teman. Jika kurang cerdas menyikapi pergaulan, faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap gaya hidup negatif. Keluarga mesti lebih perhatian mengawasi anak-anak, dengan siapa saja bergaul.
Kecanggihan teknologi, juga turut menjadi faktor maraknya judi. Masyarakat modern semakin leluasa memiliki kesempatan berjudi. Bermodal internet gratis dari warung kopi yang menyediakan Wireless Fidelity (Wifi), bisa semalam suntuk berjudi.
Judi seakan-akan menjanjikan keuntungan, sehingga menjadi jalan pintas untuk mencari cuan. Padahal, judi adalah gerbang malapetaka kehancuran ekonomi keluarga.
Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan melalui pendekatan integratif dapat bersinergi dengan baik untuk memberantas judi online hingga ke akar-akarnya.