Pendidikan Agama Islam untuk Penguatan Pancasila

Publish

1 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
71
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Pendidikan Agama Islam untuk Penguatan Pancasila

Oleh: Dr. Hasbullah, M.Pd.I, Wakil Ketua Majelis Dikdasmen & PNF PWM Lampung 

Indonesia didirikan di atas dua pilar identitas yang saling melengkapi. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, dan sebagai negara yang berdasarkan pada Pancasila, lima prinsip fundamental yang merangkum nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan ketuhanan universal. Sinergi antara Islam dan Pancasila bukanlah suatu kompromi sesaat, melainkan sebuah finalitas historis yang mencerminkan kebijaksanaan para pendiri bangsa. 

Dalam konteks ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) memegang peranan yang sangat sentral dan strategis, bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan keyakinan teologis pribadi (iman) dengan praksis kewarganegaraan yang berlandaskan falsafah negara (Pancasila). PAI, yang diajarkan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, memiliki mandat untuk tidak sekadar mengajarkan ritual ibadah, tetapi juga menanamkan etika sosial, moralitas publik, dan kesadaran kolektif yang esensial untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan ideologi Pancasila.

Tujuan utama esai ini adalah untuk menganalisis dan menguraikan secara mendalam bagaimana PAI, melalui kurikulum dan metodologinya, secara aktif berfungsi sebagai instrumen penguatan dan internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam diri setiap warga negara. PAI bukan hanya memastikan pemahaman agama yang benar, tetapi juga menjamin terciptanya warga negara yang saleh secara ritual (saleh individual) sekaligus saleh secara sosial dan kebangsaan (saleh komunal), yang tunduk pada hukum negara dan menjunjung tinggi persatuan di tengah kemajemukan.

PAI sebagai Basis Teologis Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah fondasi spiritual bangsa. Bagi umat Islam, sila ini secara sempurna terwujudkan dalam konsep Tauhid, yakni keesaan Allah SWT. PAI memperkuat sila ini dengan cara memberikan pemaknaan yang mendalam terhadap monoteisme, yang melahirkan konsekuensi logis berupa sikap toleransi dan pengakuan terhadap keberadaan agama-agama lain.

Ajaran Tauhid, yang menjadi inti PAI, menanamkan keyakinan bahwa segala makhluk dan alam semesta adalah ciptaan dari satu Zat Yang Maha Kuasa. Kesadaran akan keesaan Pencipta ini mendorong manusia untuk bersikap rendah hati (tawadhu), tidak menganggap dirinya atau kelompoknya sebagai pemegang otoritas kebenaran tunggal di hadapan Tuhan, dan menghargai keragaman sebagai sunnatullah (ketetapan Allah). Dalam PAI, konsep Tauhid Rububiyyah (keesaan Tuhan dalam penciptaan dan pengaturan alam) dan Tauhid Uluhiyyah (keesaan Tuhan dalam peribadatan) diajarkan untuk membentuk pribadi yang taat pada norma agama sekaligus bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam.

Lebih jauh, PAI harus menekankan dimensi toleransi beragama yang inheren dalam Islam. Ayat-ayat Al-Qur'an seperti "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku" (Q.S. Al-Kafirun: 6) diajarkan sebagai landasan teologis untuk menolak pemaksaan kehendak dalam beragama. Dengan demikian, PAI berfungsi sebagai benteng yang mencegah sila pertama dipahami secara eksklusif atau sektarian, sebaliknya menjadikannya sebagai payung moral bagi semua pemeluk agama di Indonesia untuk hidup berdampingan secara damai. Penguatan ini menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya klaim filosofis, tetapi juga keyakinan yang diamalkan melalui akhlak mulia (moralitas terpuji) kepada sesama manusia tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau ras.

PAI dan Internalisasi Nilai Kemanusiaan dan Keadilan Sosial

Dua sila berikutnya yang mendapat legitimasi kuat dari PAI adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila Kedua) dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila Kelima). PAI menyediakan kerangka etika yang kokoh untuk mewujudkan kedua nilai tersebut. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. PAI mengajarkan konsep Ukhuwah Insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Konsep ini melampaui batas persaudaraan sesama Muslim (Ukhuwah Islamiyah) dan menempatkan setiap manusia sebagai makhluk yang mulia (karamah insaniyah) di hadapan Allah. Oleh karena itu, PAI menuntut penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi, persekusi, dan kezaliman. Adil, dalam perspektif PAI, bukan hanya berarti sama rata, tetapi memberikan hak kepada setiap individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Kurikulum PAI harus memasukkan kajian mendalam tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang sejalan dengan Islam, seperti hak hidup, hak berpendapat, dan hak atas kehormatan. Pembelajaran sejarah Islam yang menyoroti praktik keadilan dan penghormatan terhadap minoritas pada masa kekhalifahan yang adil dapat menjadi model pembelajaran yang relevan. Dengan penekanan ini, PAI membentuk karakter siswa yang mampu mempraktikkan kemaslahatan (kebaikan umum) dan menolak kekerasan atas nama apapun.

Sila Kelima: Keadilan Sosial. Keadilan sosial adalah tujuan puncak dalam Islam, yang terwujud dalam sistem ekonomi dan distribusi kekayaan. PAI secara spesifik mengajarkan doktrin-doktrin yang bersifat sosio-ekonomi, seperti Zakat, Infak, Sedekah (ZIS), dan larangan praktik riba. Zakat, sebagai pilar ketiga Islam, adalah instrumen redistribusi kekayaan wajib yang menjamin bahwa sebagian harta orang kaya harus disalurkan kepada delapan golongan fakir miskin.

Di dalam PAI, siswa diajarkan bahwa kepemilikan harta bukanlah mutlak, melainkan amanah dari Tuhan yang harus digunakan untuk kesejahteraan umum. Konsep Amanah (kepercayaan) ini secara langsung memerangi praktik korupsi dan kolusi, yang merupakan musuh utama keadilan sosial di Indonesia. Dengan mengajarkan pentingnya kejujuran dalam berdagang, integritas dalam memimpin, dan empati terhadap kaum dhu'afa (lemah), PAI menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa kemakmuran harus dinikmati bersama oleh seluruh rakyat, sejalan dengan cita-cita Sila Kelima. Melalui PAI, keadilan sosial bertransformasi dari sekadar slogan politik menjadi kewajiban moral dan teologis.

PAI dan Konsolidasi Persatuan serta Demokrasi

PAI juga memberikan kontribusi signifikan dalam penguatan Sila Ketiga (Persatuan Indonesia) dan Sila Keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan). Sila Ketiga: Persatuan Indonesia Persatuan di tengah keragaman (Bhinneka Tunggal Ika) adalah tantangan terbesar bangsa. PAI mengatasi tantangan ini dengan mempromosikan konsep Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Konsep ini mengajarkan bahwa meskipun ada perbedaan agama atau suku, ikatan kebangsaan dan tanah air adalah ikatan suci yang harus diprioritaskan di atas kepentingan kelompok atau golongan.

Dalam PAI, penafsiran teks-teks agama harus didasarkan pada konteks keindonesiaan. Hal ini berarti penolakan terhadap ideologi transnasional yang bertentangan dengan Pancasila dan kedaulatan NKRI. PAI yang ideal mengajarkan Islam Wasathiyah (Islam Moderat), yang bercirikan keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), dan bersikap lurus (i’tidal). Islam Wasathiyah adalah antitesis dari ekstremisme dan radikalisme. Dengan mengajarkan prinsip moderasi, PAI melatih siswa untuk menjadi agen persatuan yang mampu berinteraksi positif dengan segala jenis perbedaan, sekaligus membentengi diri dari narasi-narasi kebencian yang mengancam disintegrasi bangsa. Persatuan dalam PAI dipandang sebagai implementasi dari perintah menjaga hablum minannas (hubungan baik antar manusia).

Sila Keempat: Demokrasi dan Musyawarah.  Meskipun sistem demokrasi modern bukanlah warisan langsung dari Islam, prinsip-prinsip dasarnya seperti musyawarah, akuntabilitas, dan pengakuan hak rakyat memiliki akar teologis yang kuat dalam PAI. Ajaran Islam mengenai Syura (musyawarah) merupakan inti dari Sila Keempat. Syura adalah metode pengambilan keputusan yang melibatkan partisipasi aktif dan pertimbangan berbagai pandangan, sebuah proses yang sangat sesuai dengan semangat demokrasi Pancasila.

PAI harus mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah (mandat suci) yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan Tuhan. Siswa diajarkan pentingnya menghormati proses hukum dan mekanisme politik yang sah, termasuk pemilihan umum. PAI menggarisbawahi pentingnya kepatuhan terhadap ulil amri (pemimpin/otoritas yang sah) selama kepemimpinan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dasar Islam dan konstitusi negara. Dengan demikian, PAI membentuk warga negara yang kritis tetapi konstruktif, yang menghargai perbedaan pendapat sebagai kekayaan (ikhtilaf), bukan sebagai sumber perpecahan.

Tantangan Kontemporer dan Urgensi PAI Progresif

Di era digital dan globalisasi saat ini, peran PAI dalam memperkuat Pancasila menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Tiga tantangan utama adalah: Pertama, Radikalisme dan Intoleransi.  Munculnya penafsiran agama yang literalis dan eksklusif melalui media sosial dapat memicu sikap intoleransi dan bahkan radikalisme, yang secara langsung bertentangan dengan esensi Pancasila. Kedua, Krisis Moral Publik. Meskipun mayoritas penduduk beragama, praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan perilaku amoral lainnya menunjukkan adanya jurang antara ajaran agama (teori) dan praktik sosial (praksis). Ketiga, Hegemoni Budaya Global.  Arus informasi yang deras dapat menggerus nilai-nilai kearifan lokal dan semangat kebangsaan yang dipegang teguh oleh Pancasila.

Menghadapi tantangan ini, PAI harus bertransformasi menjadi PAI Progresif. PAI Progresif adalah kurikulum yang menekankan pada: Pertama, Literasi Digital Berbasis Akhlak. Mengajarkan siswa untuk menyaring informasi dan menanggapi isu-isu kontemporer dengan perspektif wasathiyah (moderat). Kedua, Fiqh Kebangsaan. Secara eksplisit mengajarkan hubungan hukum Islam (Fiqh) dengan hukum negara dan konstitusi, memastikan bahwa ketaatan pada agama berjalan selaras dengan ketaatan pada negara. Ketiga, Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL).  Menggunakan isu-isu sosial nyata (kemiskinan, lingkungan, korupsi) sebagai materi PAI untuk menunjukkan relevansi Islam dalam memberikan solusi kebangsaan.

Transformasi ini memastikan bahwa PAI tidak hanya melahirkan individu yang takut akan Tuhan, tetapi juga individu yang berani membela Pancasila, keadilan, dan kemanusiaan. Penguatan Pancasila melalui PAI adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan stabilitas ideologis dan moral bangsa.

Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah elemen yang tak terpisahkan dan indispensabel dalam penguatan ideologi Pancasila. PAI menyediakan landasan teologis dan etika moral yang dibutuhkan untuk menginternalisasi kelima sila. PAI memperkuat Sila Pertama melalui penanaman Tauhid yang inklusif; PAI mengukuhkan Sila Kedua dan Kelima melalui ajaran Ukhuwah Insaniyah dan sistem ZIS yang menuntut keadilan sosial; dan PAI mengikat Sila Ketiga dan Keempat melalui promosi Ukhuwah Wathaniyah dan prinsip Syura (musyawarah).

Dalam menghadapi tantangan kontemporer, PAI harus secara terus-menerus direformasi menuju model progresif yang mempromosikan Islam Wasathiyah dan Fiqh Kebangsaan. Sinergi antara PAI dan Pancasila adalah kunci untuk membentuk karakter generasi muda Indonesia yang memiliki integritas spiritual sekaligus komitmen yang tinggi terhadap negara dan nilai-nilai pluralistiknya. Dengan demikian, PAI bukan hanya sekadar mata pelajaran, melainkan benteng pertahanan ideologi Pancasila, menjamin bahwa Indonesia dapat terus maju sebagai bangsa yang berketuhanan, beradab, bersatu, demokratis, dan berkeadilan sosial.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Urgensi Menjaga Marwah Persyarikatan Jelang Pilkada Oleh: Revvina Agustianti Subroto, Ketua Pimpina....

Suara Muhammadiyah

17 October 2024

Wawasan

Oleh: Hatib Rachmawan  Sejak kecil kita dicekoki mantra yang sama: jujur itu baik, bohong itu ....

Suara Muhammadiyah

11 September 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mengapa para ulama berbeda pend....

Suara Muhammadiyah

20 May 2025

Wawasan

  Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (5)  Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana S....

Suara Muhammadiyah

5 October 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dalam Islam kita merasa sebagai bagian dari umat (ummah) yang satu tetapi berag....

Suara Muhammadiyah

29 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah