Pendidikan Nasional dan Kebangkitan Nasional
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Ketika Perang Dunia II, pada 6 dan 9 Agustus 1945 Hirosima dan Nagasaki luluh lantak karena dibom atom oleh Amerika Serikat. Dalam keadaan seperti itu, apa yang ditanyakan oleh Kaisar Hirohito? Masih ada sisa berapa guru kita, bukan berapa sisa tentara?
Dari pertanyaan itu dapat kita ketahui apa yang ada di dalam pikiran beliau. Beliau adalah pemimpin yang lebih peduli terhadap masalah pendidikan. Baginya pendidikan jauh lebih penting daripada tentara, apalagi makan gratis.
Dengan mengutamakan pendidikan, bangsa Jepang dapat bangkit dari keterpurukan dan berhasil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Suka atau tidak suka kita mengakui penguasaan iptek membuka peluang terkondisinya taraf hidup yang lebih baik. Tentu jika pendidikan yang dikembangkan terpadu dengan pendidikan agama, niscaya mendatangkan keberkahan, tidak menghasilkan orang-orang seperti Qorun sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat al-Qasas (28): 78
قَا لَ اِنَّمَاۤ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْ ۗ اَوَلَمْ يَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهٖ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَّاَكْثَرُ جَمْعًا ۗ وَلَا يُسْـئَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ
"Dia (Qarun) berkata, 'Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.' Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka."
Melalui pendidikan yang memadukan iptek dan agama, terbuka lebar dihasilkan ulul albab sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat Ali 'Imran (3): 190 dan 191.
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ وَا خْتِلَا فِ الَّيْلِ وَا لنَّهَا رِ لَاٰ يٰتٍ لِّاُولِى الْاَ لْبَا بِ
"Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berakal,"
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَا مًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلًا ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَا بَ النَّا رِ
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya, Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."
*Dampak Medsos*
Sejak lima tahun terakhir ini pemanfaatan gawai merambah ke desa-desa secara masif, besar-besaran. Penggunanya tidak hanya orang dewasa, tetapi juga remaja, bahkan anak yang berusia bawah lima tahun atau balita. Bagi orang dewasa, kiranya dapat kita maklumi. Bagi mahasiswa, dosen, guru, pedagang, atau orang-orang dewasa lainnya yang berprofesi tertentu, alat komunikasi tersebut dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan sebagian dari masalah yang dihadapinya. Namun, ada juga orang yang menggunakannya untuk memfitnah, memprovokasi, gibah, berdebat, mengolok-olok, atau bahkan, kemaksiatan yang lain.
Bagaimana halnya dengan penggunaan gawai oleh anak remaja apalagi anak balita? Sebagian besar dari mereka, termasuk sebagian besar pelajar, menggunakannya hanya untuk bermain. Hal yang memprihatinkan adalah ada sebagian dari mereka, termasuk anak balita, yang kecanduan.
Karena asyik bermain gawai, mereka menggunakan gawai untuk bermain lebih banyak daripada untuk belajar. Hal ini tentu berpengaruh buruk terhadap hasil belajar yang bersifat akademis. Namun, tidak hanya itu! Hubungan antaranggota keluarga pun kurang mesra. Bahkan, ada yang kehilangan suasana kebersamaan di dalam keluarga karena tiap anggota keluarga asyik dengan gawaiya masing-masing.
Bagaimana halnya anak balita? Cukup banyak orang tua yang membiarkan anak atau cucunya bermain gawai berjam-jam. Ada orang tua yang sama sekali tidak melakukan pengawasan dan pembatasan waktu. Prinsip yang dipegangnya adalah "daripada menangis." Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika azan berkumandang, keasyikan bermain gawai pun tetap dibiarkan.
Kenyataan yang demikian menyadarkan kita bahwa di balik ada manfaat, ada pula madarat. Tentu semua pihak (lebih-lebih orang tua) berkewajiban mengetahui pengaruh positif dan pengaruh negatif penggunaan gawai, terutama terhadap anak remaja dan anak balita dalam hubungannya dengan pendidikan.
*Momentum Hardiknas dan Harkitnas*
Bulan Mei bagi bangsa Indonesia mempunyai arti yang sangat penting. Tanggal 2 Mei, kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional dan 20 Mei kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kebangkitan bangsa mana pun. Mari secara jujur kita mencermati keadaan bangsa kita dalam hal pendidikan: dalam keadaan baik-baik sajakah? Sudut pandangan kita adalah apakah hasil pendidikan telah membangkitkan semangat juang menuju kehidupan yang lebih baik alam arti yang seluas-luasnya?
Di dalam pidatonya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2024, Mendikbudristek menyatakan bahwa anak-anak Indonesia sudah mulai berani bermimpi karena mereka merasa merdeka saat belajar di kelas. Guru-guru berani mencoba hal-hal baru karena mereka mendapatkan kepercayaan untuk mengenal dan menilai murid-muridnya. Mahasiswa siap berkarya dan berkontribusi karena ruang untuk belajar tidak lagi terbatas kampus. Kita sudah merayakan semarak karya kreatif karena seniman dan pelaku budaya untuk berekspresi.
Benarkah semua itu baru terjadi pada lima tahun terakhir ini? Bukankah pada tahun 1995 anak-anak Indonesia sudah banyak yang bermimpi besar ketika bangsa Indonesia sudah mampu membuat sendiri pesawat N2550? Sekarang? Apalagi bermimpi dapat membuat pesawat terbang, bermimpi membuat kereta api cepat pun tidak perlu karena sudah diutangkan, padahal pada tahun 2016 bangsa Indonesia telah mampu mengekspor kereta Indonesia karya PT Inka yang mengangkat gengsi bangsa Indonesia di mata dunia!
Pesawat terbang karya PT Dirgantara Indonesia dan kereta karya PT Inka telah dirancang dan dihasilkan sebelum diberlakukannya “merdeka belajar.” Hal itu berarti telah ada proses pendidikan yang panjang.
*Keutamaan Pendidikan*
Orang yang beriman dan berilmu ditinggikan derajatnya oleh Allah Subhanahu wa ‘Ta’ala sebagaimana terdapat di dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an, misalnya, surat al-Mujadilah (58): 11
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا قِيْلَ لَـكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَا فْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَـكُمْ ۚ وَاِ ذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَا نْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ ۙ وَا لَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."
Idealnya pendidikan di Indonesia menghasilkan ulul albab sebagaimana dijelaskan, di antaranya, di dalam Al-Qur'an ayat 190 dan 191 surat Ali 'Imran dan ayat 11 surat al-Mujadilah, bukan orang-orang munafik sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari berikut ini
عن ابي هريرة ، أن رسول الله صل الله عليه وسلم قال: آية المنافق ثلاث : إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف، وإذؤتمن خان. أخرجه البخاري
"Dari Abi Hurairah radiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam berkata, Tanda-tanda orang munafik ada tiga: Apabila berkata dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanat berkhianat."
Suka atau tidak kita mengakui bahwa karena menguasai iptek, dari sudut pandangan tertentu, bangsa Jepang lebih tinggi derajatnya daripada bangsa yang tidak menguasainya. Ketika bangsa Indonesia mampu menciptakan pesawat terbang dan. kereta api yang "diakui" dunia, derajat bangsa Indonesia pun ditinggikan.
Dengan fokus kasus pilpres 2024, pertanyaan yang harus kita jawab secara jujur, misalnya, adalah mana yang lebih banyak: elite bangsa (lebih-lebih elite partai) yang mencerminkan ulul albab sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat Ali 'Imran (3): 190 dan 191 juga surat al-Mujadilah (58): 11: atau orang-orang munafik sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari?
Dalam hubungannya dengan pentingnya pendidikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di HR Ibnu Majah pernah bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim"
Sementara itu, di dalam HR al-Bukhari dijelaskan bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
العلم قبل القول و العمل
“Berilmulah sebelum kamu berbicara, beramal, atau beraktivitas.”
Perlu kita sadari bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kaum terdidik dengan kaum nirpendidikan dalam hal bernalar. Kaum terdidik secara sadar merasa menghadapi masalah. Kemudian, masalah itu dirumuskannya secara jelas. Selanjutnya, ditentukanlah sikap bahwa masalah itu harus dijawab dan karena itu, ditentukanlah jawaban sementara terhadap masalah itu berdasarkan penalarannya, baik induktif maupun deduktif. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapinya itu dan diujinyalah jawaban sementara itu.
Ketika akan membangun gedung besar misalnya untuk perusahaan apalagi gedung pemerintah, orang terdidik pasti melakukan amdal lebih dahulu. Jika harus ada undang-undangnya, dalam rangka pembuatan undang-undang itu, pasti ada kajian akademis juga. Tahapan itu tidak dapat dibalik. Nah, apakah ketika akan membangun IKN dilakukan sesuai dengan tahapan yang ditempuh oleh orang terdidik? Jika tidak, atau langkahnya dibalik, benarkah? Jika salah, "Halo, para anggota dewan yang terhormat! Halo, BRINT. Halo, para profesor!"
Sementara itu, kaum nirpendidikan dalam usaha menghadapi masalah mungkin lebih mengutamakan dugaan spekulatif, padahal pijakan menduganya itu tidak menggunakan penalaran, tetapi mungkin sekadar emosi demi gengsi atau pencitraan.
Umat Islam Indonesia, yang menjadi bagian terbesar bangsa Indonesia, tidak mempunyai pilihan lain, kecuali ikut aktif mendidik anak bangsa dengan sebaik-baiknya. Berkenaan dengan itu, sekurang-kurangnya ada tiga langkah yang perlu kita tempuh, yakni (1) menasihati dalam hal kebenaran dan kebaikan, (2) meneladan (memberi/menjadi teladan) beramar ma'ruf nahi munkar, dan (3) mendoakan agar anak cucu (terutama) dan orang lain beramar ma'ruf nahi munkar. Hal itu dapat dimulai dari hal yang sederhana misalnya memberlakukan jam belajar secara sungguh-sungguh. Kita arahkan mereka agar belajar dengan baik sehingga dapat berkontribusi terhadap kebangkitan bangsa Indonesia masa depan.
Mari kita menjadi bagian dari muslim Indonesia yang berkemajuan, yang dapat menjadi solusi atas berbagai masalah di bidang pendidikan nasional dan kebangkitan nasional, dengan (1) menumbuhkembangkan semangat ukhuwah. Kita bekerja sama pada bidang strategis yang memang dapat dan harus kita lakukan melalui kerja sama seperti media informasi, pendidikan, dan kesehatan dan (2) tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau pun golongan.
Sangat ironis, jika sesama ustaz justru saling hujat bukan, saling hormat. Saling tendang, bukan saling sayang. Saling pukul, bukan saling rangkul. Saling meremehkan, bukan saling bersikap ramah.
Allahu a’lam