Anak Saleh (29)

Publish

6 February 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
293
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Saleh (29)
Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."

Uraian di dalam Anak Saleh (AS) 29 ini berisi penguatan bahwa akidah tegak lurus berpengaruh positif terhadap akhlak, ibadah, dan muamalah. Memang begitulah yang seharusnya. Tanpa didasari akidah yang tegak lurus, yang berarti tanpa landasan iman, berucap, dan berbuat sebaik apa pun hanya bernilai keduniaan.

Hal penting yang perlu mendapat perhatian kembali secara sungguh-sungguh adalah keteladanan orang tua dalam akidah yang tegak lurus sehingga dapat dirasakan oleh anak. 
Melalui orang tuanya, anak mendapat contoh yang utuh. 

Orang tua berpegang teguh pada prinsip akidah yang dalam hal tertentu berbeda dengan muslim mukmin dalam satu lingkungan masjid atau musala, tetapi berakhlak mulia. Apalagi kepada sesama muslim mukmin, kepada orang-orang non-islam pun mereka tidak pernah memenyakiti hati, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Itulah sebabnya mereka sangat dicintai dan disegani.

Ketakwaannya ditandai juga dengan (1) teguh pada keyakinan; teguh, tetapi arif; (2) tekun menuntut ilmu; makin berilmu, makin merendah; (3) makin berkuasa, makin bijaksana; (4) tampak berwibawa di depan umum sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan al-Bashri. 

Perlu kita sadari dengan sebaik-baiknya bahwa keteladanan di rumah paling penting. Umumnya, di rumahlah anak tinggal dalam waktu yang paling lama. Orang tualah yang paling awal menerima amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendidik anak. Oleh karena itu, orang tua harus menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya.

Jika anak setiap saat selama tinggal di rumah mendengar ucapan dan melihat perilaku mereka patut dijadikan teladan, kiranya anak pun sedikit demi sedikit memperhatikan semua itu dan dapat diharapkan akhirnya mencontohnya. Di rumah anak biasa mendengar ucapan salam setiap ayah atau ibunya akan pergi atau pulang pergi. Dia biasa mendengar kedua orang tuanya menggunakan sapaan yang sangat mengesankan baiknya misalnya, “Sayang”, “Bunda”,  “Ayah”, “Umi”, “Abi” atau sapaan lain yang Islami. Hampir-hampir tidak pernah dia mendengar atau melihat pertengkaran apalagi berujung dengan kesepakatan untuk berpisah! 

Dia disapa dengan sapaan indah juga misalnya, “Sayang”,  “Anak Saleh”, “Cantik”, “Ganteng” atau sapaan lain yang menyenangkan. 

Bagaimana halnya jika ucapan yang didengar dan perbuatan orang tua yang dilihat dan dirasakan setiap saat adalah ucapan kasar, makian, atau sumpah serapah dan perilaku yang menyimpang atau jauh dari nilai akhlak mulia? Tidak perlu heran jika semua itu tersimpan sangat kuat di dalam ingatan anak dan akhirnya ditiru oleh anaknya!

Sesekali pernah pula anak mendengar dan melihat kedua orang tuanya berbeda pendapat dalam hal tertentu. Pernah pula dia mendengar dan melihat kedua orang tuanya kecewa dan kesal karena tetangga yang pinjam uang belum membayarnya, padahal sudah lewat tiga tahun dari yang dijanjikannya. Untuk menghilangkan kekecewaan dan kekesalannya, mereka mengaji. Mereka menemukan topik pahala bagi orang yang memberikan tenggang waktu membayar utang. Rujukannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 280 

وَاِنۡ كَانَ ذُوۡ عُسۡرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيۡسَرَةٍ ‌ؕ وَاَنۡ تَصَدَّقُوۡا خَيۡرٌ لَّـكُمۡ‌ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

"Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Sementara itu, mereka menemukan hadis dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya,

من أنظر معسرًا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين فإذا حل الدين فأنظره كان له بكل يوم مثلاه صدقة
“Barang siapa memberikan tenggang waktu kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum dapat dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Majah, Ath Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi)

Setelah mengaji, tersenyumlah mereka. Hilang kecewa dan kesalnya, ceria wajahnya, sehingga anak merasa nyaman. Suasana di rumah kembali cair.

Betapa ironisnya jika selama di rumah anak justru lebih sering mendengar pertengkaran orang tuanya. Bahkan, dia sering juga mendengar ayah atau ibunya berbicara kasar atau membentak neneknya atau kakeknya. 

Anak tidak pernah atau sangat jarang mendengar dan melihat orang tuanya tadarus di rumah. Dia pun tidak pernah atau jarang sekali melihat orang tuanya shalat sunnah (terutama tahajud). Tambahan lagi, dia jarang sekali juga mendengar dan melihat orang tuanya saling berucap salam atau bertegur sapa dengan tetangga. 

Kiranya perlu dipertimbangkan kembali pilihan “memondokkan” anak sejak usia dini. Jika sejak usia dini anak sudah harus berpisah dari orang tuanya, kapan dia memperoleh kehangatan dan keteladanan dari mereka? Dapatkah ketika sakit misalnya, orang tuanyalah yang pertama kali mengetahuinya lalu memeriksakannya ke dokter? Kemudian, mereka mendampinginya di tempat tidur dengan penuh kasih sayang dan mendoakannya dan anaknya pun mengamininya.

Tidak inginkah orang tua menggendong anak pergi ke dan pulang dari masjid atau musala untuk melatihnya mengenal masjid atau musala sejak dini? Mungkin dia belum ikut shalat berjamaah. Dia tiduran di sebelah ayah atau ibunya ketika shalat berlangsung. Sesekali dia membuka matanya lalu memperhatikan orang-orang yang shalat berjamaah. 

Boleh jadi, ayahnya menjadi imam. Tentu hal itu sangat membanggakannya. Apalagi, ayahnya mampu membaca Al-Qur’an dengan suara dan lagu yang bagus. Tambahan lagi, mahraj dan tajwidnya benar.

Sangat mungkin hal berikut ini pun terjadi. Begitu selesai shalat, anak datang ke “mihrab.” Duduk di pangkuan ayahnya yang sedang berzikir. Tidakkah hal itu merupakan keteladanan yang pasti sangat mengesan kuat pada anak?

Tidak inginkah orang tua sambil memangku anak mengaji bersama? Tidak inginkah orang tua memeriksa kemampuan mengaji anaknya?

Bukankah orang tua seharusnya merupakan sosok yang menjadi teladan bagi anak? Bukankah mereka juga harus bertanggung jawab atas diri dan keluarganya dari siksa api neraka sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam  Al-Qur’an surat at-Tahrim (66): 6

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Orang tua, lebih-lebih ayah adalah pemimpin keluarga. Setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar berikut ini:

«كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya. Penguasa adalah pemimpin bagi manusia, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin terhadap harta tuannya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang harta yang diurusnya. Ingatlah, masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” 

Memang lebih bagus jika orang tua sangat bersemangat untuk mencapai karier tertinggi, sedangkan pendidikan anaknya diserahkan kepada orang lain?

Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Tapak Tilas Penerjemahan Al-Qur`an dalam Bahasa Inggris (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilm....

Suara Muhammadiyah

5 June 2024

Wawasan

Memahami Al-Qur`an Lewat Generasi Awal Kaum Muslimin (1) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

3 May 2024

Wawasan

Memetik Pesan Buya Syafii Maarif dalam Membumikan Islam Oleh: Khaerul Majdi, Mahasiswa Institut Aga....

Suara Muhammadiyah

30 August 2024

Wawasan

Oleh: Wakhidah Noor Agustina, SSi Hari Sumpah Pemuda merupakan momen bersejarah bagi bangsa Indones....

Suara Muhammadiyah

28 October 2023

Wawasan

Oleh: Sobirin Malian Belum lagi tertangani secara hukum akun Fufufafa, muncul kasus baru yang lebih....

Suara Muhammadiyah

1 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah