Posisi Manusia dan Kemerdekaan Diri

Publish

4 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
983
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Posisi Manusia dan Kemerdekaan Diri

Oleh: Agusliadi Massere

Kemerdekaan diri, baik kemerdekaan pikiran dan hati, seringkali sulit terwujud karena kita belum mengenal dengan baik posisi diri selaku manusia relasinya dengan Allah, alam semesta, sesama manusia, termasuk dengan diri sendiri. Kondisi ketidakmerdekaan diri bukan hanya merenggut martabat kemanusiaan, serta kesadaran dan ketaatan ilahiah, termasuk pula dalam konteks kehidupan duniawi dan hukum positif, berpotensi melakukan pelanggaran baik secara personal maupun secara kolektif. 

Membaca salah satu buku karya Arvan Pradiansyah, di antara beberapa buku karyanya yang saya miliki, saya mendapatkan satu inspirasi kemudian teramu menjadi urgensi, signifikansi, implikasi, dan bahkan relevansi pemahaman “posisi manusia” yang bermuara pada “kemerdekaan diri”. Buku yang saya maksud, dan menjadi pemantik serta mengantarkan saya untuk menyelesaikan tulisan ini adalah, “The 7 Laws of Happiness: Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia” (2010). 

Di dalam buku tersebut, saya mendapatkan inspirasi bahwa posisi manusia berdasarkan perjalanannya di muka bumi ini, itu berada dalam posisi “dependen”, “independen”, dan “interdependen”. Posisi-posisi ini bisa saja berada dalam siklus yang bergerak secara linear dan hierarkis. Selain itu, di dalam buku tersebut, saya pun mendapatkan pemantik terkait tiga model relasi manusia.  

Di mana relasi tersebut perlu dipahami dengan baik, salah satunya dalam pandangan saya adalah bisa menjadi cara pandang yang akan memerdekakan diri. Tiga relasi tersebut—sebagaimana yang saya pahami dari Arvan—adalah “intrapersonal relation”,interpersonal relation”, dan “god relation”. 

Sebagaimana judul buku Arvan di atas, dan termasuk isinya jika dibaca dengan baik, sebenarnya pemahaman terhadap—apa yang saya sebut dengan—“tiga posisi manusia” (meskipun sebentar bisa ditambahkan lagi satu), dan tiga model relasi di atas, diperuntukkan untuk mencapai kebahagiaan manusia. Hanya saja, berdasarkan pengalaman pribadi saya, termasuk hasil bacaan dari beberapa buku lainnya—yang secara algoritmik melahirkan atau memengaruhi pemikiran dan pengambilan kesimpulan,—sehingga saya mengulasnya dalam perspektif, fungsional, dan konteks yang berbeda dari pandangan Arvan. Bahkan, saya pun sedikit memberikan catatan tambahan—tentunya tidak bisa dipandang sebagai kritikan—terhadap tulisan Arvan.

Awal kelahiran manusia di muka bumi, siapa pun dia, sesungguhnya berada dalam posisi dependen atau tergantung sepenuhnya kepada manusia lainnya, minimal kepada kedua orang tuanya terutama kepada ibu. Meskipun, jika kita memahami ajaran Islam, ada satu pandangan yang diakui secara otoritatif sebagai bentuk pemahaman dan pemaknaan dari Al-Qur’an, bahwa sebenarnya sebelum manusia lahir di muka bumi, tepatnya pada saat akan ditiupkan ruh oleh Allah ke dalam janin, kelahirannya diawali dengan proses ikrar komitmen antara diri setiap manusia dengan Allah. Berarti posisi dependen manusia di sini, bukan kepada manusia semata tetapi juga kepada Allah. 

Seiring dengan perjalanan hidup dan kehidupan manusia, atau setiap diri di muka bumi ini, harus ada proses yang disebut dengan “intrapersonal relation” (membangun relasi yang benar, baik, dan tepat dengan diri sendiri, termasuk memahami diri dengan baik). Intrapersonal relation yang benar, baik, dan tepat akan mengantarkan manusia untuk tidak lagi berada pada posisi dependen (tergantung penuh kepada manusia, termasuk ke orang tua) untuk beberapa urusan tertentu. 

Kita, atau masing-masing dari diri kita semua, harus berupaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan penuh kepada manusia, untuk menuju posisi independen (mandiri). Minimal, ketika kita sudah mulai tumbuh menjadi anak, apatah lagi menjadi remaja dan dewasa, diri kita atau kebutuhan kita, tidak lagi menggantungkan diri sepenuhnya kepada manusia lain, seperti tidak lagi disuapi oleh orang tua atau ibu ketika mau makan. Ketika mandi, sudah harus mandiri, sebagai contoh.

Hasil dari intrapersonal relation pun, bukan hanya mengantarkan manusia pada posisi dependen (tergantung penuh kepada manusia lainnnya) ke posisi independen (mandiri), termasuk pula memberikan pemahaman yang baik kepada setiap diri untuk tidak egois, dengan mandiri total atau sepenuhnya tidak ingin bergantung kepada manusia lainnya. Manusia selain makhluk individual juga adalah makhluk sosial, sehingga posisi kemandirian yang dimiliki tidak boleh sepenuhnya, harus ada baromenter, pemahaman dan kesadaran yang benar dan tepat. Kapan dan dalam posisi apa kita harus mandiri sepenuhnya. Dan kapan dan posisi apa, kita tetap mengharapkan orang lain. 

Pemahaman yang keliru, salah dan tidak tepat, terhadap posisi manusia untuk independen, akan berpotensi melahirkan manusia egois, tertutup, individualistik, dan sombong. Model manusia yang disebutkan ini, bisa dipastikan adalah manusia yang tidak bisa membangun kehidupan dengan benar, baik dan tepat secara bersama-sama dengan manusia lainnya. 

Atas kesadaran, bahwa manusia pun tidak bisa hidup dalam posisi independen (mandiri sepenuhnya), maka manusia harus mencapai posisi kehidupan yang lebih baik, yaitu interdependen (memiliki sikap dan tindakan saling ketergantungan). Hanya saja, dalam posisi ini dibutuhkan kemampuan untuk membangun dan menyadari interpersonal relation. 

Keliru atau tidak tepat dalam memahami posisi interdependen (saling tergantung) maupun bentangan interpersonal relation akan berpotensi terjadi posisi di mana ada yang memiliki posisi superior (berkuasa penuh) sehingga sikap dan perilakunya superioritas, dan sebaliknya ada pula yang akan mengalami posisi inferior, dan mengalami inferioritas. Dalam dunia birokrasi, hal seperti ini sering terjadi, di mana pimpinan, terkesan memiliki dan menguasai segalanya, sedangkan bawahan atau staf, dipandang tidak ada apa-apanya dan diperlakukan seenaknya—untuk tidak menyebut sewenang-wenang. 

Seharusnya siapa pun dia, baik sebagai pimpinan maupun sebagai bawahan, sebagai contoh dalam dunia birokrasi, harus memahami dengan benar, baik, dan tepat interdependensi tersebut dan interpersonal relation-nya. Artinya, posisi mereka saling tergantung yang dihubungkan oleh kesadaran etik, dan regulasi yang mengikat. Setiap perilaku pimpinan kepada bawahan, itu dalam relasi yang dibingkai oleh kode etik dan aturan yang berlaku. 

Tidak ada satu pun bawahan yang dipandang di luar konteks etik dan regulasi. Perintah yang diturunkan adalah perintah yang masih dalam koridor hukum, sehingga tidak mengandung potensi atau bahkan pelanggaran, baik secara personal maupun secara kolektif. Begitu pun mereka yang dipandang sebagai “bawahan” jangan hanya bertumpu dalam perspektif hierarkis semata, dan prinsip “loyalitas terhadap pimpinan”, tanpa melihat koridor hukum yang lebih otoritatif. Keluar dari cara pandang ini, “bawahan” pun sesungguhnya sedang melakukan pelanggaran, baik etik maupun secara regulatif.

Melampaui dari sekadar pemahaman dan kesadaran etik dan regulatif, hasil dari God relation, yang memantik kesadaran spiritualitas-religiusitas, mampu memperkokoh posisi interdependen antara satu dengan yang lainnya dalam sebuah lembaga. Hal ini menjadi penting, agar di antara mereka masih memiliki kemerdekaan, martabat kemanusiaan, kesadaran ilahiah, dan termasuk agar mereka tidak lagi terjerumus dalam posisi dependen (tergantung penuh terhadap manusia lainnya).

God relation dan hasilnya, yang bisa pula dipahami sebagai kesadaran primordial manusia sebagai umat yang beragama, karena terjadi sebelum kelahiran diri kita masing-masing, termasuk pula dalam prosedur kelembagaan birokrasi instrumen kristalisasinya bisa dipetik dari ikrar atau pengucapan “sumpah dan janji jabatan” sebelum menjalankan tugas dalam dunia birokrasi atau pun dalam institusi lainnya. 

Saya, pada suatu waktu, pernah mengalami kondisi di mana akan berpotensi menggiring diri ini ke arah dependen (tergantung penuh kepada manusia) atau menodai posisi interdependen, termasuk menciderai pemahaman intrapersonal relation, interpersonal relation, dan God relation saya. Ketika itu, saya (kesannya) didorong untuk melakukan pelanggaran besar, yang diawali dengan cerita dan bahkan kisah nyata bagaimana sosok atau tokoh nasional tertentu dihabisi nyawa dan kariernya, bahkan menyebut lembaga otoritatif yang berpotensi akan mengobok-obok.

Cerita-cerita yang bisa dimaknai sebagai sesuatu yang “menakutkan” atau “intervensi tidak langsung” itu, tentu adalah cara lain yang menggambarkan superioritas oknum tertentu, dan bagaimana diri kita diposisikan dalam inferior. Alhamdulilah atas modal dari pemahaman ilmu yang para sahabat sedang membacanya ini, saya langsung memberikan kata kunci untuk membentengi diri, sebagai bentuk penegasan kesadaran interdependen (sebagaimana dijelaskan di atas), intrapersonal relation, interpersonal relation, dan God relation tersebut. “Uang ratusan juta atau pistol di hadapan saya pun, saya tidak akan mengikuti perintah tersebut,” ini penegasan saya. Bagi saya perintah tersebut, melanggar kode etik dan berbagai regulasi yang ada, sehingga dalam hal ini perintahnya tidak boleh diikuti. 

Saya pun, sebagaimana dalam situasi-situasi lainnya yang sering dihadapi—sebagaimana istilah para aktivis—tidak akan takut “pecah piring” selama itu berada dalam koridor kebenaran, dan tidak menciderai integritas. Karena apa pun model relasi kita dalam konteks kehidupan duniawi, yang tidak boleh terlupakan dan harus berada dalam posisi puncak, adalah pemahaman dan kesadaran relasi kita dengan Sang Pencipta, Allah. Istilah “pecah piring” kita tawakkal kepada Allah saja. Dan kita harus selalu berupaya memerdekakan hati, agar hidup tenang dan memantik ide cemerlang. 

Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Solidaritas Untuk Gaza Palestina Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA Sejak hari pertama perang....

Suara Muhammadiyah

1 November 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (28) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

14 March 2024

Wawasan

Pisah Kamar Oleh: Joko Intarto Pembiayaan proyek wakaf merupakan problem umum para pengelola lemba....

Suara Muhammadiyah

17 November 2023

Wawasan

Pentingnya Partisipasi Orangtua dalam Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Oleh: Wakhidah Noor Ag....

Suara Muhammadiyah

26 September 2023

Wawasan

Oleh: Bobi Hidayat Beranjak dari kota jogiakarta yang terkenal dengan kota Pendidikan, sempat singg....

Suara Muhammadiyah

7 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah