Pengendalian Nafsu Amarah
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Pengendalian nafsu dalam arti seluas-luasnya dan pada waktu yang tidak terbatas sangat penting bagi kehidupan manusia. Memang sangat berat bagi setiap muslim untuk dapat melakukannya secara sempurna. Namun, betapa pun beratnya, tetap harus dilakukannya. Mengapa? Pengendalian nafsu merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Puasa tidak dimaksudkan untuk menghilangkan sama sekali nafsu yang memang menjadi bagian dari kelengkapan jati diri manusia itu sendiri. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan manusia mempunyai nafsu?
Sudah sangat banyak peristiwa berakibat fatal yang terjadi dengan penyebab utama kegagalan pengendalian nafsu amarah. Akibat tidak mampu mengendalikan nafsu amarah, ada orang yang mempermalukan orang lain. Bahkan, dapat terjadi pula secara tidak sadar dia sesungguhnya mempermalukan diri sendiri. Lebih dari itu, ada orang yang bunuh diri atau membunuh orang lain.
Penyebab Marah
Menurut Ahmad Gimmy Pratama, pakar psikologi Universitas Padjadjaran, marah merupakan salah satu bentuk perilaku. Oleh karena itu, marah dapat ditelusuri latar belakangnya.
Di dalam kenyataan, kita dapat membedakan secara garis besar penyebab marah, yaitu (1) faktor internal dan (2) faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa desakan perasaan kecewa akibat kegagalan mencapai cita-cita atau harapan dan hal itu terjadi berulang-ulang. Ada dokter yang bunuh diri gegara menderita flu tidak sembuh-sembuh. Ada juga anak muda yang bunuh diri karena berkali-kali jatuh cinta, tetapi sekali pun belum pernah bercinta. Baik dokter maupun anak muda tersebut pada hakikatnya marah pada diri sendiri dan gagal mengatasi kemarahannya itu. Penyebab utama dia marah pada diri dan bunuh diri adalah lemahnya iman. Bagi orang yang kuat iman, sebesar apa pun marahnya dia dapat mengelola kemarahannya itu dengan baik.
Faktor eksternal dapat berupa perbuatan orang lain. Hal itu dialami oleh Nabi Musa ‘alaihi salam sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-A’raf (7): 150,
وَلَمَّا رَجَعَ مُوْسٰۤى اِلٰى قَوْمِهٖ غَضْبَا نَ اَسِفًا ۙ قَا لَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُوْنِيْ مِنْۢ بَعْدِيْ ۚ اَعَجِلْتُمْ اَمْرَ رَبِّكُمْ ۚ وَاَ لْقَى الْاَ لْوَا حَ وَاَ خَذَ بِرَأْسِ اَخِيْهِ يَجُرُّهٗۤ اِلَيْهِ ۗ قَا لَ ابْنَ اُمَّ اِنَّ الْـقَوْمَ اسْتَضْعَفُوْنِيْ وَكَا دُوْا يَقْتُلُوْنَنِيْ ۖ فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْاَ عْدَآءَ وَ لَا تَجْعَلْنِيْ مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ
"Dan ketika Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati dia berkata, "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?" Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, "Wahai anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim.""
Sementara itu, di dalam tarikh Islam terdapat peristiwa perang yang terjadi pada bulan Ramadhan, yakni Perang Badar. Perang tersebut terjadi antara muslimin dan Kafir Quraisy. Perang pasti terjadi dalam suasana marah. Jadi, pada dasarnya muslim yang sedang berpuasa pun boleh berperang, tetapi memerangi kemunkaran, kezaliman, dan kebatilan. Jika sepanjang waktu muslim tidak diizinkan "marah" meskipun dizalimi, pastilah.umat Islam sudah binasa.
Kisah Imam Musa al-Kazhim
Di dalam Al-Qur'an surat Ali ‘Imran (3): 133-134, Allah Subhanahu wa ‘Tala berfirman,
وَسَا رِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَا لْاَ رْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,"
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّآءِ وَا لضَّرَّآءِ وَا لْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَا لْعَا فِيْنَ عَنِ النَّا سِ ۗ وَا للّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
"(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan."
Menurut Hamka, makna “menahan marah” di dalam ayat tersebut adalah bahwa jika ada muslim melihat sesuatu yang salah dan dia marah, hal itu sudah seharusnya. Namun, jika tidak marah, berarti dia tidak berperasaan. Berdasarkan tafsir tersebut, pada dasarnya muslim harus marah ketika melihat kemunkaran.
Berkenaan dengan pengendalian nafsu amarah, ada peristiwa yang dikemukakan oleh Hamka, yakni peristiwa yang terjadi pada Imam Musa al-Kazhim dengan budaknya. Imam Musa al-Kazhim menyuruh budaknya agar mengambilkan air untuk berwudu. Lalu, budaknya tersebut disuruh mengalirkan air dari cerek (bentuk baku “ceret”) untuk berwudu.
Rupanya budaknya tersebut masih mengantuk, maka bukan telapak tangan Imam Musa al-Kazhim yang dialiri air, melainkan badannya dan hal itu menyebabkan bajunya basah. Akibatnya, beliau hendak marah. Karena sadar akan kesalahannya, seketika itu pula hilang rasa kantuknya. Kemudian, dia membaca,
وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ
(dan mereka yang menahan marah)
Karena mendengar ayat tersebut, Imam Musa al-Kazhim berkata, “Telah aku tahan amarahku kepadamu.”
Budaknya tersebut melanjutkan membaca,
وَا لْعَا فِيْنَ عَنِ النَّا سِ
(dan memaafkan kesalahan orang lain)
Beliau menjawab, “Aku beri maaf kesalahanmu, Buyung.”
Setelah mendengar jawaban beliau demikian, budaknya tersebut membaca lanjutan ayat tersebut,
وَا للّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
(dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan)
Tanpa diduga-duga sebelumnya oleh budaknya itu, beliau berkata, “Anta hurrun liwajhillah.” (Mulai hari ini engkau kumerdekakan dari perbudakan semata-mata karena Allah)
Cara Menahan Nafsu Marah
Dari kisah Imam Musa al-Kazhim dan budaknya, kita sebagai orang beriman jika marah dan diingatkan oleh siapa pun dengan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, semestinya dapat menahan marah, bahkan, mengganti kemarahan itu dengan berbuat kebajikan. Memang begitulah perintah Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Orang beriman jika diperingatkan
dengan ayat-ayat-Nya, menyungkur sujud sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat as-Sajdah (32): 15
اِنَّمَا يُؤْمِنُ بِاٰ يٰتِنَا الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِّرُوْا بِهَا خَرُّوْا سُجَّدًا وَّسَبَّحُوْا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ
"Orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengannya (ayat-ayat Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, dan mereka tidak menyombongkan diri."
Berdasarkan ayat tersebut, jika ada orang mengaku beriman marah, lalu diperingatkan dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tetap marah dan tidak menyungkur sujud, bertasbih, dan memuji-Nya, berarti dia belum beriman dalam pengertian yang sesungguhnya.
Allahu a’lam