Reclaiming Jihad: Memurnikan Makna Jihad di Era Modern
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
ElSayed M.A. Amin, dalam bukunya Reclaiming Jihad for Any Critique of Terrorism (2014) menjelaskan bahwa terorisme bertentangan dengan nilai-nilai etika dalam Al-Qur`an. Buku ini, yang mungkin lebih tepat diberi judul Reclaiming Energy, mengkritik terorisme dengan berdasarkan pada Al-Qur`an. Keunikan buku ini terletak pada usahanya untuk merumuskan hukuman bagi teroris berdasarkan Al-Qur`an.
Penulis merujuk pada surah ke-5 khususnya ayat 33 yang membahas tentang hirabah atau perampokan dalam tradisi Islam. Penulis kemudian menganalogikan terorisme dengan perampokan yang telah lama dikenal dalam hukum Islam. Penulis berpendapat bahwa terorisme dan perampokan memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mengancam jiwa dan harta benda. Oleh karena itu, hukuman yang berlaku untuk perampok dapat diterapkan juga kepada teroris.
Untuk memperkuat argumennya, penulis mengkaji tafsir Al-Qur`an, baik klasik maupun modern. Penulis menyoroti kelemahan tafsir klasik dan menunjukkan bahwa tafsir modern, khususnya karya Muhammad Izza Darwazah, telah menerapkan hukuman yang sama bagi perampok dan teroris. Darwaza menafsirkan Al-Qur`an secara kontekstual dengan memperhatikan urutan kronologis turunnya ayat.
Penulis buku ini memiliki latar belakang yang menarik. Ia adalah seorang asisten profesor Studi Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, salah satu universitas Islam paling terkemuka di dunia. Gelar doktornya diperoleh dari Universitas Birmingham. Dengan demikian, ia memadukan pengetahuan Islam klasik dengan pemikiran modern Barat. Ia juga mengikuti perkembangan kajian Al-Qur`an kontemporer, termasuk yang ditulis oleh akademisi non-Muslim seperti Reuven Firestone. Kombinasi inilah yang memungkinkan penulis untuk menjembatani berbagai perspektif dalam diskursus modern tentang Islam dan terorisme.
Buku ini menegaskan bahwa Al-Qur`an membolehkan umat Islam untuk membela diri dan berjuang ketika diserang. Namun, Al-Qur`an melarang keras agresi terhadap mereka yang tidak terlibat permusuhan. Penulis menekankan bahwa dalam Islam, keputusan perang hanya boleh diambil oleh penguasa yang sah, dan serangan terhadap warga sipil adalah tindakan yang dilarang keras. Hal ini dipertegas dalam Al-Qur`an surah ke-2 ayat 190 dan ayat-ayat lainnya yang dianalisis dalam buku ini. Intinya, Al-Qur`an melindungi non-kombatan seperti biarawan, rabi, perempuan, dan anak-anak dari segala bentuk kekerasan, bahkan dalam situasi perang.
Lebih lanjut, buku ini mengkaji gagasan dikotomi antara dunia Islam dan dunia non-Islam yang sering muncul dalam tafsir Al-Qur`an klasik. Gagasan yang membagi dunia menjadi "Dar al-Islam" (wilayah Islam) dan "Dar al-Harb" (wilayah perang) ini sebenarnya lebih bersifat teoretis dan tidak dimaksudkan untuk menjustifikasi permusuhan terus-menerus terhadap non-Muslim. Penulis menyoroti bahwa pemahaman seperti ini sudah tidak relevan lagi di era modern.
Dahulu, banyak cendekiawan Muslim yang memahami adanya pemisahan antara dunia Islam dan non-Islam. Namun, pemahaman ini lebih bersifat teoritis dan tidak mengartikan permusuhan yang terus-menerus. Di era modern, sebagian besar umat Islam telah meninggalkan retorika "kita versus mereka" dan menjunjung tinggi koeksistensi damai. Meskipun masih ada segelintir oknum yang melakukan kekerasan terhadap non-Muslim, hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Amin dalam bukunya menegaskan bahwa dikotomi tersebut adalah kesalahpahaman. Ia menyebut pendapat cendekiawan Muslim modern seperti Yusuf al-Qaradawi yang menyatakan bahwa umat Islam di Barat hidup di "Dar al-‘Ahd" atau "Tanah Perjanjian". Di negara yang mayoritas non-Muslim ini, umat Islam diharapkan untuk mematuhi hukum dan aturan yang berlaku serta menghormati perjanjian sosial yang telah disepakati.
Dengan menghindari sikap konfrontatif dan mengedepankan perspektif "kita semua dalam perahu yang sama" dalam melawan terorisme, dialog antaragama dapat terwujud. Buku ini sendiri secara tidak langsung telah membuka jalan bagi dialog tersebut dengan menyajikan pandangan Islam yang damai dan toleran, sehingga non-Muslim dapat merasa aman berdampingan dengan umat Islam.
Selain itu, buku ini juga mencoba merumuskan definisi terorisme secara komprehensif, baik dari perspektif umum maupun perspektif Islam. Definisi ini penting sebagai dasar dalam menerapkan hukum Islam terhadap terorisme.
Terorisme umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: menyerang warga sipil, bermotif politik, dan dilakukan oleh kelompok yang bukan bagian dari pemerintah yang sah. Penulis buku ini menganalisis salah satu ayat Al-Qur`an yang sering disalahgunakan oleh kelompok teroris untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka, yaitu surat Al-Anfal ayat 60. Ayat ini sebenarnya menginstruksikan umat Islam untuk mempersiapkan kekuatan sebagai bentuk pencegahan agar tidak diserang.
Sayangnya, ada pihak-pihak yang menafsirkan ayat tersebut secara keliru dan menyimpulkan bahwa umat Islam wajib menebar teror kepada orang lain. Kata irhab (menakut-nakuti) dalam ayat tersebut justru dimaknai sebagai perintah untuk melakukan teror. Irhab kemudian menjadi istilah yang digunakan untuk "terorisme" dalam bahasa Arab.
Penulis mencontohkan sebuah kelompok di Mesir yang menamakan diri mereka Islamist (Kelompok Islam). Kelompok ini pernah menjadikan terorisme sebagai bagian dari ideologi mereka dan menganggap wajib bagi umat Islam untuk melakukannya. Untungnya, kelompok ini akhirnya meninggalkan paham tersebut dan menghentikan aksi kekerasan. Namun, pemikiran mereka dikhawatirkan telah mempengaruhi kelompok-kelompok ekstremis lain seperti Al-Qaeda.
Penulis kemudian mengkaji ayat tersebut secara mendalam dengan merujuk pada berbagai tafsir Al-Qur`an, baik klasik maupun modern. Ia menunjukkan bahwa penafsiran yang menghubungkan ayat tersebut dengan terorisme adalah keliru. Penulis juga menyampaikan bahwa istilah irhab sebenarnya kurang tepat untuk menggambarkan terorisme. Ada kata lain dalam bahasa Arab, yaitu ir’ab yang lebih sesuai untuk makna tersebut. Meskipun demikian, istilah irhab telah terlanjur populer dan digunakan secara luas.
Salah satu bab dalam buku ini secara khusus membahas ayat-ayat Al-Qur`an yang berkaitan dengan peperangan. Penulis menganalisis ayat-ayat tersebut secara detail dan menyimpulkan bahwa perjuangan yang dimaksud sebenarnya adalah perjuangan defensif atau pertahanan diri.
Penulis mengapresiasi pendekatan yang seimbang dan jujur dalam menganalisis ayat-ayat tersebut. Ia menyadari adanya dua kutub ekstrem dalam memahami jihad. Di satu sisi, ada kelompok yang menyalahgunakan ayat-ayat Al-Qur`an untuk membenarkan aksi kekerasan. Di sisi lain, ada yang menolak sama sekali penafsiran jihad sebagai perjuangan bersenjata.
Penulis menawarkan jalan tengah dengan menjelaskan bahwa kata jihad memiliki makna yang luas, meliputi berbagai bentuk perjuangan. Meskipun beberapa ayat memang merujuk pada pertempuran fisik, namun ketika ditafsirkan dalam konteks historisnya, jihad yang sesungguhnya adalah perjuangan untuk mempertahankan diri, bukan menyerang.