Restorasi Kemanusiaan melalui Puasa: Refleksi di Ujung Ramadhan

Publish

28 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
624
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Restorasi Kemanusiaan melalui Puasa: Refleksi di Ujung Ramadhan

Oleh: Dzar Fadli El Furqan, Ketua Bidang Kesehatan DPD IMM Sulsel

Ayat populer yang acapkali kita dengarkan tentang puasa termaktub dalam Al-Qur’an, yaitu Q.S. Al-Baqarah (Q.S. 2:183), yang lebih kurang terjemahannya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.". Puasa agar bertakwa. Dalam banyak kesempatan, Prof. Haedar Nashir memberi penjelasan bahwa takwa merupakan ketaatan kepada Allah SWT yang melahirkan kesalehan pada diri sendiri, keluarga, umat, dan bangsa. Prof. Haedar menjelaskan wujud takwa pada diri seorang mukmin adalah terpatrinya keimanan dalam menjalankan rukun Islam dan memiliki jiwa ihsan dalam berbagai dimensi. Ketakwaan ini dapat mencakup dimensi biologis, emosional, sosial, hingga dimensi kesadaran ekologis manusia. Puasa sebagai ibadah utama dalam Islam, dapat menjadi media untuk merestorasi ‘rasa’ kemanusiaan, 

Dalam perspektif konservatif, Edmund Burke menyatakan bahwa agama adalah “prasangka pertama” dalam masyarakat, yang berarti agama adalah dasar bagi kebajikan, moralitas, dan masyarakat yang baik. Burke percaya bahwa hubungan rumah ibadah (agama) dan negara dapat mengurangi penipuan, kekerasan, ketidakadilan, dan tirani dalam pemerintahan. Bagi Burke, masyarakat tidak dapat bertahan tanpa moralitas, dan moralitas tidak dapat tegak tanpa agama. Dalam konteks ini, puasa, sebagai ibadah utama dalam Islam, menjadi bentuk disiplin moral yang memperkuat ketahanan individu dan nilai kebajikan dalam masyarakat. Di tengah era modern yang materialistik, puasa berfungsi sebagai perlawanan terhadap degradasi moral dan hilangnya nilai-nilai spiritual yang mendalam.

Ramadhan bukan hanya sekadar bulan ibadah ritual, tetapi juga dapat menjadi momentum refleksi dan restorasi kemanusiaan. Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, manusia sering kali terjebak dalam kesibukan yang membuatnya lupa pada hakikat dirinya sebagai makhluk yang tidak hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan biologis dan emosionalnya, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial (termasuk lingkungannya). Puasa, lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, menjadi media untuk mengembalikan keseimbangan ini. Dari perspektif biologis, emosional, dan sosial (termasuk ekologis), puasa bisa menjadi ajang restorasi kemanusiaan. 

Spirit Restorasi 

Puasa memberikan kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat dari pola konsumsi yang sering berlebihan. Dengan mengatur pola makan dan membiarkan sistem pencernaan beristirahat, tubuh mengalami detoksifikasi alami yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, puasa juga berkontribusi dalam meningkatkan daya tahan tubuh, mengatur kadar gula darah, dan membantu proses regenerasi sel. Hal ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara makan dan menahan diri adalah bagian penting dari kesehatan manusia yang sering diabaikan.

Dalam perspektif sosial, puasa juga bisa dikaitkan dengan kritik terhadap pola konsumsi kapitalistik yang sering kali mendorong masyarakat ke dalam gaya hidup konsumtif tanpa batas. Marx dalam kritiknya terhadap kapitalisme menekankan bahwa meskipun manusia berperan dalam membentuk sejarah, mereka tidak melakukannya dalam situasi yang sepenuhnya mereka pilih. Puasa bisa menjadi sarana refleksi biologis untuk menyadari bagaimana kebiasaan konsumtif kita dibentuk oleh sistem ekonomi yang mendorong akumulasi tanpa batas.

Puasa tidak hanya mengajarkan kita menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan emosi negatif seperti amarah, ego, dan kesombongan. Dalam kondisi menahan diri, manusia dipaksa untuk lebih sadar terhadap emosinya, belajar mengelola stres, serta membentuk karakter yang lebih sabar dan rendah hati. Dengan demikian, puasa menjadi latihan intensif dalam pengendalian diri, yang pada akhirnya membentuk individu yang lebih tenang, berempati, dan memiliki ketahanan mental yang lebih baik.

Pemikiran dari tokoh sosiologi seperti Pierre Bourdieu tentang habitus bisa memberikan perspektif tambahan bahwa puasa adalah proses rekonstruksi habitus yang membentuk ulang kebiasaan individu agar lebih reflektif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bourdieu berpendapat bahwa "kondisi sosial membentuk cara kita berpikir, tetapi kita juga memiliki kapasitas untuk mengubahnya." Puasa adalah latihan untuk mendekonstruksi kebiasaan lama dan membentuk yang baru.

Puasa juga merupakan media yang memperkuat kesadaran sosial. Ketika seseorang merasakan lapar, ia lebih mampu memahami penderitaan mereka yang kurang beruntung. Dari sinilah lahir semangat berbagi, baik dalam bentuk sedekah, zakat, maupun kebiasaan berbuka bersama yang mempererat hubungan sosial. Ramadhan membangun rasa persaudaraan dan mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya dalam kepemilikan, tetapi juga dalam memberi dan berbagi dengan sesama.

Puasa, yang seharusnya mengajarkan pengendalian diri, sering kali justru berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi selama Ramadhan. Sebagai contoh, banyak orang terjebak dalam perilaku konsumtif yang berlebihan, seperti membeli makanan dalam jumlah besar yang akhirnya terbuang sia-sia. Fenomena food wasting, menjadi hal yang umum terjadi di bulan Ramadhan, meskipun tujuan puasa adalah untuk mengajarkan kesederhanaan. Makanan yang berlebih sering kali dibuang setelah berbuka, yang berkontribusi pada masalah sampah dan limbah yang memperburuk kondisi lingkungan, seperti peningkatan gas rumah kaca akibat pembusukan makanan.

Selain itu, perilaku belanja berlebihan, terutama dengan adanya diskon besar-besaran, juga menambah jejak ekologis, mengarah pada konsumsi barang-barang yang tidak diperlukan. Ini meningkatkan sampah kemasan plastik dan limbah konsumsi lainnya. Ironisnya, meskipun puasa mengajarkan kesederhanaan, masyarakat justru terjerat dalam perilaku konsumerisme yang merusak lingkungan.

Jika dipahami dengan baik, Ramadhan sebenarnya bisa menjadi momentum yang tepat untuk menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dengan kesadaran bahwa hidup yang dicontohkan oleh Rasulullaah SAW adalah kehidupan penuh kesederhanaan. Seperti prinsip mengambil makan secukupnya saat berbuka, disbanding menyantap makanan berbuka seorang diri dengan berbagai jenis menu, sebaiknya kita menyedekahkannya kepada mereka yang lebih membutuhkan. Dalam puasa volume sampah juga, kita bisa belajar untuk terbiasa membawa wadah untuk membeli takjil dalam rangka mengurangi penggunaan disposable plastic.

Tidak perlu membeli makanan atau barang secara berlebihan hanya karena terpengaruh oleh diskon dan promosi Ramadhan. Selain mengurangi pengeluaran, belanja secukupnya juga membantu mengurangi sampah dan konsumsi energi yang tidak perlu.

Dengan demikian, puasa bukan hanya sebuah ibadah ritual-spiritualistik semata, tetapi juga sarana restorasi yang melibatkan dimensi biologis, emosional, sosial, dan ekologis. Ia mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan dalam hidup, menghargai sumber daya alam, serta memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan sosial. Ramadhan bukan titik akhir, tetapi titik awal perjalanan untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan bertanggung jawab. Setelah Ramadhan berlalu, kita dihadapkan pada tanggung jawab untuk terus mengaplikasikan nilai-nilai yang telah dipelajari dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari, menjaga bumi, sesama, dan diri kita sendiri.

Sebagaimana Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa kesadaran kritis adalah langkah awal menuju pembebasan, Ramadhan seharusnya menjadi ruang bagi kita untuk membangun kesadaran baru: bahwa kita tidak hanya berpuasa untuk diri sendiri, tetapi juga untuk merekonstruksi realitas sosial yang lebih adil dan manusiawi.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Pada bulan Ramadhan, ada shalat....

Suara Muhammadiyah

13 March 2024

Wawasan

Menyelamatkan Homo Digitalis dari Kehidupan Inersia Oleh: Agusliadi Massere Era digital hari ini a....

Suara Muhammadiyah

12 November 2023

Wawasan

Anak Saleh (26) Oleh: Mohammad Fakhrudin  "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh mela....

Suara Muhammadiyah

16 January 2025

Wawasan

Jangan Sekadar Ber-IMM, Jadikan Tulisan Sebagai Karya Utama Oleh: Fathan Faris Saputro Dalam dunia....

Suara Muhammadiyah

28 November 2023

Wawasan

Prestasi dalam Keluhuran Akhlaq Oleh: Yudha Kurniawan, Ketua Pimda 02 Tapak Suci Bantul   Bel....

Suara Muhammadiyah

14 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah