YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam Al-Qur’an, tepatnya di Qs Maryam [19] ayat 15 dan 33, memiliki implikasi yang berkelindan. Tapi, disebut Muhammad Saad Ibrahim, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ayat 15 berpokok pangkal pada Nabi Yahya, sementara di ayat 33 sendiri merujuk dengan Nabi Isa.
“Muatannya sama. Hanya untuk Nabi Yahya, bukan ungkapan Nabi Yahya sendiri, yang intinya sama dengan ayat 33 yang justru diungkapkan sendiri oleh Nabi Isa,” katanya saat Kajian Majelis Diktilitbang (Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan) PP Muhammadiyah, Selasa (23/12) secara daring.
Di sini Saad lebih spesifik menyoroti ayat 33. Dalam Tafsir Ath-Thabari, ayat ini menitiberatkan pada jaminan keamaan dari Allah kepada Nabi Isa dari cengkeraman setan dan tentaranya tatkala dilahirkan sebagaimana cengkeraman tersebut terjadi pada bayi yang baru lahir.
“Jadi setiap bayi-bayi yang lahir langsung dalam istilahnya ath-tha’nu (tusukan, cengkeraman, jangkauan) oleh setan di situ,” tuturnya, bersambung dengan tafsir tersebut sebagai keselamatan dari rasa sakit ketika menghadapi kematian.
“Dan pada hari aku dibangkit menjadi hidup kembali pada hari kiamat,” lanjutnya, dengan memvisualisasikan orang-orang lain mengalami hal tersebut ketika melihat keadaan yang mengerikan pada hari itu. “Yang itu disaksikan oleh orang-orang banyak,” sebutnya.
Dengan kata singkat, makna ayat itu, sebut Saad memiliki tiga makna. Pertama, Allah memberikan jaminan keamanan dari cengkeraman setan. Kedua, Allah memberikan perlindungan keamanan ketika kemudian Nabi Isa mengalami situasi keselamatan dari rasa sakit ketika menghadapi kematian. Ketiga, dari kegoncangan dan huru-hara di hari kiamat ketika Nabi Isa dibangkitkan.
“Dari ayat ini, ungkapan salam juga lalu muncul pada kehidupan kita,” ucap Saad. Tersebut di antaranya, dalam dunia akademik, ada ungkapan Dies Natalis (hari kelahiran), Hari Natal. Menyoal konteks kelahiran Nabi Isa, Saad menyingkap, “Semua orang itu ketika dilahirkan dalam keadaan fitrah,” tekannya.
Berdasarkan ayat ini, imbuh Saad, kita diperbolehkan mengucapkan selamat pada kelahiran-kelahiran, “hatta itu kelahiran dari Nabi Isa,” ujarnya. Jadi pada dasarnya, hukum asalnya itu boleh. “Termasuk juga kemudian mengucapkan selamat hari natal,” sebutnya lagi.
Dipertegas sekali lagi oleh Saad di sini, “mengucapkan selamat hari lahir kepada siapa pun, itu boleh.” Tapi, hukum boleh di sini bisa berubah, tergantung kepada konteks.
“Pada dasarnya hukumnya boleh, tapi boleh itu bisa menjadi boleh, tapi jangan dilakukan. Atau boleh tapi dengan syarat. Atau, bahkan tidak boleh. Dan tidak boleh itu bisa juga sampai kepada tingkat yang haram,” tegasnya.
Menukil pandangan Cendekiawan Muhammad Quraish Shihab, dikatakan membolehkan mengucapkan selamat hari natal tapi dengan syarat. “Tidak meyakini bahwa Yesus itu sebagai Tuhan,” jelasnya dengan sangat tegas dan gamblang. (Cris)

