JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bulan Ramadhan menjadi sangat mulia karena di dalamnya diturunkan kitab suci Al-Qur’an. Kisah turunnya ini diceritakan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Saad Ibrahim saat Pengkajian Ramadhan 1446 H PWM DKI Jakarta, Ahad (16/3) di Auditorium Djuanda Gedung Dakwah Muhammadiyah DKI Jakarta, Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Saad mengatakan, ketika menerima wahyu yang pertama (Qs al-Alaq [96] ayat 1-5) di Gua Hira, Nabi Muhammad Saw berujar, “Aku tidak bisa membaca”. Ucapan tersebut terulang hingga tiga kali tatkala Malaikat Jibril memerintahkannya untuk membaca.
Kemudian Malaikat Jibril merangkul Nabi dengan sangat kuat—ketika berujar seperti itu sampai ketiga kalinya. Lalu Malaikat Jibril melepaskannya. “Sampai-sampai ketika itu rasanya (Nabi) tidak bisa bernapas,” katanya.
Setelah dilepaskan, barulah Nabi dapat mengikuti bacaan sebagaimana yang disampaikan oleh Malaikat Jibril. “Respons Nabi berbalik 180 derajat. Awalnya “Saya tidak bisa membaca”, tapi setelah itu kemudian lancar. Tentu 5 ayat dari surat Al-Alaq itu,” sebutnya.
Dalam keadaan sunyi dan sepi, tetiba Nabi bersama para sahabat didatangi oleh seseorang yang belum pernah dikenalinya. Kata Saad, orang duduk itu di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi.
“Lalu bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan, dan hari Kiamat. Setelah itu lantas orang itu pergi. Nabi bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kamu siapa yang bertanya tadi? Lalu Nabi memberitahu yang datang tadi Malaikat Jibril yang datang kepadamu dengan maksud mengajarkan tentang agama,” ucapnya.
Saad melanjutkan, proses keseluruhan turunnya wahyu itu selain termaktub di dalam hadis, di sisi yang lain juga terpampang secara eksplisit di Al-Qur’an. Tepatnya tersebut di dalam Qs an-Najm [53] ayat 1-10.
“Malaikat Jibril ada di ufuk (cakrawala) yang semakin mendekat sampai mendekat. Sehingga jaraknya kira-kira dengan Nabi hanya dua busur anak panah,” terangnya.
Akumulasi dari itu semua, beber Saad, wahyu yang diterima Nabi secara komprehensif, memberikan pengajaran penting mengenai hakikat keimanan, ketundukan kepada Allah, serta pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
Kedekatan Jibril dengan Nabi Muhammad bukan sekadar jarak fisik, tetapi juga menandakan intensitas dan kedalaman penyampaian wahyu yang sarat makna. (Cris)