Sang Surya di Fajar Dewata: Nilai-Nilai Sosial Profetik
Oleh: Joko Riyanto,S.Ag, Ketua PDPM Tulang Bawang-Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam UM Metro
Fajar datang dengan langkah lembut di ufuk timur Tulang Bawang - Lampung. Sinar mentari menembus kabut tipis yang menggantung di atas ladang, menyapa hamparan bumi yang pernah dikenal sebagai Fajar Dewata, tanah yang dihuni oleh beragam keyakinan dan budaya. Di antara suara azan yang berpadu dengan kidung suci dan denting gamelan upacara, kehidupan di kampung ini berjalan dalam harmoni. Di sinilah, di bawah langit yang sama, cahaya Sang Surya mulai menyalakan api pencerahan, sebuah sekolah Muhammadiyah berdiri, bukan untuk satu golongan, melainkan untuk semua anak negeri.
Nilai-nilai profetik yang berakar pada semangat kenabian ini tumbuh alami di tengah masyarakat yang plural. Di kampung yang kini disebut Ujung Gunung Ilir, Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung memiliki beragam agama. Islam, Hindu, Kristen, Protestan, Konghuchu dan budha hidup berdampingan dengan rasa saling menghormati. Dari ruang sosial yang penuh warna inilah lahir tindakan-tindakan kecil yang mencerminkan humanisasi (memanusiakan manusia) dan liberasi (membebaskan dari minimnya ilmu pengetahuan).
Namun perjalanan pendidikan di tanah ini tidak selalu berjalan mulus. Sekitar 26 tahun lalu, 20 wali murid dari Kampung ini pernah menghadapi kenyataan pahit ketika anak-anak mereka tidak diterima di sekolah yang cukup jauh di seberang kabupaten yaitu Tulang Bawang Barat, dikarenakan kelas sudah overload. Para wali murid itu lalu hendak menemui Seorang Guru Profesional Bernama Pak Utomo Dalsuswanto, yang kemudian mengajak untuk bermusyawarah mencari jalan keluar.
Dalam langkah penuh kebijaksanaan, Pak Utomo menemui sejumlah tokoh masyarakat kampung seperti Aminudin, Muhammad Nasir ID, Widarto, Eko Sutrisno, Suhardi, Kalam Ramlan, Titik Sapuji, Muhammad Hasim, Sumarsono dan I Wayan Suderta. Musyawarah itu berlangsung dalam suasana kekeluargaan, lalu mereka diberikan izin oleh kepada Kepala Dusun, Pak Gajah (Ketut Punia), dan langkah tersebut mendapat dukungan penuh dari Kepala Kampung Syamsuri Alam.
Beridirilah sekolah SMP Muhammadiyah 1 Menggala, bahkan berdirinya sekolah dengan nama Muhammadiyah itu salah satu usulan dari tokoh Hindu. Sehingga sekolah tersebut diberi akses izin pakai sementara di balai Dusun/Kampung (1999), kemudian berpindah ke halaman masjid, dikarenakan beberapa kontroversi dari masyarakat, sekolah tersebut akhirnya memiliki lahan sendiri di atas tanah salah seorang pendiri Bernama Mbah Syukiar. Dari perjalanan yang Panjang namun disederhanakan ini, lahirlah semangat baru di kampung plural tersebut yaitu semangat bahwa Islam bukan hanya milik umatnya, tetapi milik kemanusiaan rahmatan lil ‘alamiin. Keberadaan sekolah ini menjadi bukti bahwa nilai profetik dapat hidup dalam bentuk nyata: pendidikan yang mencerahkan, kebersamaan yang menumbuhkan, dan iman yang menggerakkan perubahan sosial.
Hari dan bulan pun silih berganti, hingga beberapa tahun kemudian para wali murid dan para tokoh mendesak Muhammadiyah untuk dapat mendirikan sekolah lanjut. Maka berdirilah SMA Muhammadiyah 1 Menggala (2004) dan Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (MBS) Tulang Bawang (2012). Ketiganya kini tumbuh berdampingan dengan masyarakat sekitar, membawa semangat Islam berkemajuan, menjadi rumah ilmu dan moral bagi generasi muda, sekaligus simbol bahwa dakwah tidak selalu harus dengan mimbar, tetapi bisa juga dengan sekolah, pena, dan keteladanan.
Membaca Fenomena Profetik di Fajar Dewata
Dalam pandangan Kuntowijoyo, Islam profetik adalah Islam yang tidak hanya berbicara soal ibadah ritual, tetapi juga tentang perubahan sosial, sebuah upaya untuk mentransformasikan realitas agar lebih manusiawi, adil, dan bermartabat. Di Ujung Gunung Ilir, nilai-nilai ini hadir tanpa harus disebut secara teoritis. Masyarakat di sana telah mempraktikkan semangat profetik itu dalam tindakan nyata.
Pertama, nilai humanisasi (amar ma’ruf) terlihat dari cara masyarakat menerima kehadiran sekolah Muhammadiyah tanpa rasa curiga. Mereka memahami bahwa pendidikan adalah hak semua anak, dan bahwa pengetahuan tidak mengenal batas agama. Terbukti juga beberapa siswa-siswi dan bahkan guru di SMP dan SMA Muhammadiyah ada yang mengisi dari agama Hindu. Dan anak-anak dari keluarga non-Muslim pun tak jarang datang melihat kegiatan sekolah seperti ekstrakurikuler marching band, bahkan ikut serta dalam kegiatan sosial yang diselenggarakan. Sekolah menjadi ruang perjumpaan, bukan pemisahan.
Kedua, nilai liberasi (nahi munkar) hadir dalam upaya membebaskan masyarakat dari minim pendidikan dan satgnasi kegiatan sosial pemberdayaan. Sebelum sekolah itu berdiri, banyak anak kampung yang hanya lulus SD lalu berhenti belajar. Dengan berdirinya SMP Muhammadiyah, kesempatan terbuka luas. Dari sinilah muncul generasi baru: anak-anak kampung yang kini menjadi guru, pegawai, wirausahawan, bahkan sebagian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dan bahkan sekarang banyak alumni-alumni yang dulu dari SMA Muhammadiyah menjadi guru di perguruan Muhammadiyah di Kampung Ujung Gunung Ilir. Artinya Islam tidak hadir dengan simbol dominasi, tetapi dengan kekuatan ta’dib yakni pendidikan yang membebaskan.
Ketiga, nilai transendensi (tu’minu billah) tampak dari semangat keikhlasan dan kesadaran spiritual yang menyertai perjuangan para pendiri. Tidak ada kepentingan pribadi dalam membangun sekolah ini. Mereka berjuang bukan untuk kemegahan bangunan, tetapi untuk masa depan anak-anak. Dari sini kita belajar bahwa Islam profetik bukan sekadar gagasan teoretis, melainkan spiritualitas sosial yang hidup dalam keseharian.
Perjalanan Dakwah Kultural Muhammadiyah
Muhammadiyah sering dipahami sebagai gerakan modernis, namun dalam konteks Ujung Gunung Ilir, ia hadir secara kultural dan dialogis. Tidak ada paksaan untuk masuk Islam, tidak ada penolakan terhadap tradisi setempat. Dakwah Muhammadiyah di kampung ini mengambil bentuk pendidikan dan keteladanan moral, sebagai wujud ikhtiar tersebut para tokoh pendiri memberikan label pada sekolah tersebut berupa sekolah unggul dan berakhlak dan sampai detik ini dasar filosofis tersebut masih dipakai dikarenakan memiliki nilai historis yang kuat.
Ketika sekolah pertama kali berdiri, sebagian masyarakat Hindu membantu dalam bentuk tenaga dan bahan bangunan. Mereka melihat semangat gotong royong yang tidak membeda-bedakan agama. Bahkan, pada acara peringatan hari besar, masyarakat lintas agama sering hadir bersama, menunjukkan wajah toleransi yang hangat. Terlihat saat bulan suci Ramadhan, siswa-siswi yang beragama Islam melaksanakan kegiatan wajib berupa pesantren kilat, dilain sisi yang beragama Hindu melaksanakan pasraman.
Disinilah pendidikan menjadi sarana dialog yang paling efektif. Guru-guru Muhammadiyah mengajarkan nilai-nilai keislaman tanpa memandang rendah tradisi lain. Sementara masyarakat non-Muslim menghargai kedisiplinan dan kejujuran yang diajarkan di sekolah tersebut. Hubungan itu menciptakan ekosistem sosial yang damai, di mana agama bukan sumber sekat, melainkan sumber motivasi untuk berbuat baik.
Inilah yang disebut sebagai dakwah kultural yakni dakwah yang tidak berhadapan secara frontal dengan budaya, tetapi masuk ke dalamnya dengan nilai-nilai universal Islam. Model dakwah seperti ini selaras dengan semangat wasathiyah atau moderasi beragama yang diajarkan Rasulullah: membawa kebaikan, menebar rahmat, dan menjaga kedamaian.
Dari Sekolah ke Pesantren: Meneguhkan Islam Berkemajuan
Dua dekade setelah berdirinya SMP Muhammadiyah 1 Menggala, geliat pendidikan Islam di Ujung Gunung Ilir semakin kuat. Masyarakat menyadari pentingnya pendidikan lanjutan, hingga pada tahun 2004 lahirlah SMA Muhammadiyah 1 Menggala. Sekolah ini menjadi jembatan bagi para siswa untuk melanjutkan cita-cita yang lebih tinggi.
Namun semangat dakwah dan pendidikan itu tidak berhenti di situ. Tahun 2012, berdirilah Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (MBS) Tulang Bawang. Keberadaan pesantren ini menjadi simbol baru peradaban Islam yang modern, profesional, dan mencerahkan. Para santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga ilmu umum, teknologi, dan kepemimpinan. MBS tumbuh di tengah lingkungan non-Muslim tanpa konflik, bahkan justru mendapat dukungan moral dari masyarakat sekitar.
Pada sisi lain berdirinya Pondok Pesantren Modern MBS Tulang Bawang ini adalah sebagai wadah perkaderan persyarikatan Muhammadiyah, terkhususnya di Daerah Tulang Bawang. Para pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulang Bawang waktu itu, melihat kondisi Amal Usaha Muhammadiyah yang sudah siap untuk program perkaderan secara berkelanjutan adalah Pimpinan Cabang Muhammadiyah Menggala.
Walau demikian, tidak menutup cita-cita luhur pesantren denagn tujuan utama berdirinya pesantren Muhammadiyah adalah untuk mewujudkan manusia beriman, berilmu, berakhlak mulia, dan mandiri, yang mampu menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa. Pesantren ini dirancang sebagai wadah pembinaan generasi muda agar memiliki keseimbangan antara spiritualitas dan intelektualitas, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan zaman dengan semangat tajdid (pembaruan).
Islam, Pluralisme, dan Cita-Cita Kemanusiaan
Kampung yang dahulu disebut Fajar Dewata kini telah berubah wajah. Jalan-jalan diperkeras, rumah-rumah semakin rapat, dan anak-anak berangkat sekolah dengan seragam biru-putih, putih abu-abu dan aja juga yang memakai jas dengan sangat rapi. Namun, satu hal yang tetap abadi: semangat kebersamaan lintas iman.
Sekolah Muhammadiyah di kampung ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang sosial untuk mempertemukan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan. Dalam kegiatan sosial, seperti gotong royong, santunan anak yatim, dan bakti lingkungan, masyarakat lintas agama sering turun bersama. Dalam konsep Islam Berkemajuan hal ini sesuai dengan nilai ukhuwah Basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) dihidupkan secara nyata, tanpa banyak slogan. Dan Ukhuwah Wathaniyah (Persaudaraan Kebangsaan) sebagai wujud masyarakat yang bernegara untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Inilah wajah Islam yang ramah, bukan marah. Islam yang tidak eksklusif, tetapi mewujudkan islam inklusif membuka ruang bagi perjumpaan. Dalam konteks inilah, Muhammadiyah di kampung plural seperti Ujung Gunung Ilir berhasil menjadi agen rekonsiliasi sosial dan moral, menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin di tengah realitas majemuk Indonesia.
Fajar yang Terus Menyala
Lebih dari dua puluh lima tahun telah berlalu sejak SMP Muhammadiyah 1 Menggala berdiri. Dari sebuah bangunan sederhana di balai desa, kini berdiri lembaga pendidikan yang menjadi kebanggaan masyarakat Tulang Bawang. Dari tangan-tangan tulus para pendiri seperti Aminudin, Muhammad Nasir ID, Widarto, Eko Sutrisno, Suhardi, Kalam Ramlan, Titik Sapuji, Muhammad Hasim, Sumarsono I Wayan Suderta dan Sukiyar, serta beberapa pemangku pemerintahan kampung Syamsuri Alam dan Ketut Punia hingga tumbuhlah generasi baru yang membawa harapan baru.
Fajar Dewata telah berubah menjadi Ujung Gunung Ilir, namun sinar fajar itu tak pernah padam. Ia terus menyala dalam bentuk dedikasi para guru, semangat para santri, dan doa masyarakat yang percaya bahwa ilmu adalah cahaya kehidupan. Di kampung ini, kita belajar bahwa Islam tidak harus mendominasi untuk mempengaruhi. Ia cukup hadir dengan ketulusan, bekerja dengan keikhlasan, dan berbicara dengan keteladanan. Itulah makna sejati dari Islam transformatif: iman yang bergerak, ilmu yang berdaya, dan amal yang mencerahkan.
Dan di bawah sinar Sang Surya yang terbit dari Fajar Dewata, kita menyaksikan bukti nyata bahwa dakwah Islam berkemajuan tidak hanya bisa hidup di tengah perbedaan, tetapi justru berkembang karena keberagaman itu sendiri. Peristiwa itu menjadi sisi lain dari sejarah lahirnya sekolah Muhammadiyah di Ujung Gunung Ilir, bukan sekadar cerita administratif, melainkan kisah tentang cahaya nilai profetik yang terus menyala. Dari situ tampak bahwa pendidikan lahir dari nurani masyarakat yang peduli terhadap masa depan anak-anaknya.


