YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Suasana menjelang berbuka di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) semakin semarak dengan digelarnya Kajian Menjelang Berbuka ke-13 hari Kamis (13/03) pada bulan Ramadan ini. Acara yang berlangsung pada hari ke-13 Ramadan tersebut menghadirkan Dr. Yoyo, S.S., M.A. Wakil Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) UAD bidang SDM, Keuangan, Kehartabendaan, dan Administrasi Umum. Ia membawakan materi bertajuk Sastra, Makna, dan Pesan Ilahi, yang mengupas peran sastra dalam menyampaikan nilai-nilai Islam.
Yoyo mengawali kajian dengan pemaparan mengenai kedudukan sastra dalam budaya Arab sebelum Islam. Ia menjelaskan bahwa bangsa Arab memiliki tradisi sastra yang kuat, terutama dalam bentuk puisi yang diperlombakan di Pasar Ukaz. Puisi terbaik bahkan mendapatkan kehormatan untuk digantungkan di pintu Ka'bah, menunjukkan betapa tinggi nilai sastra di tengah masyarakat Arab saat itu.
Ia mengatakan bahwa Islam membawa revolusi dalam dunia sastra melalui Al-Qur'an. Sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an hadir dengan keindahan bahasa yang tak tertandingi, menantang para penyair Arab untuk menandingi satu ayat atau satu suratnya, namun tidak ada yang mampu melakukannya. Hal ini menjadi bukti bahwa Al-Qur'an bukan sekadar sastra biasa, melainkan firman Allah yang mengubah tatanan sosial dan budaya bangsa Arab.
"Al-Qur'an bukan hanya menandingi syair-syair Arab jahiliyah, tetapi juga mengarahkan sastra agar tidak sekadar indah, melainkan juga memiliki nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan ketuhanan," paparnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa setelah Islam datang, sastra memiliki fungsi yang lebih luas, bukan hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai media dakwah. Islam memberikan arah baru dalam berkarya sastra, yaitu menyuarakan nilai-nilai moral, keadilan, dan ketakwaan. Banyak penyair Muslim yang kemudian menggunakan syair mereka untuk menyebarkan ajaran Islam dan melawan kebatilan.
"Sastra dalam Islam tetap diperbolehkan, selama digunakan untuk menyuarakan kebaikan, keadilan, dan dakwah Islam. Tidak seperti pada masa jahiliyah yang sering digunakan untuk mengejek atau mencaci maki," tambahnya.
Yoyo juga menyinggung dampak Al-Qur'an terhadap perkembangan bahasa Arab. Berkat Al-Qur'an, bahasa Arab tetap lestari dan menjadi bahasa yang menyatukan lebih dari 22 negara Arab saat ini. Ia menjelaskan bahwa banyak bahasa di Timur Tengah yang telah punah, namun bahasa Arab tetap bertahan dan berkembang karena Al-Qur'an menjadi pegangan utama umat Islam di seluruh dunia.
Dulu, bahasa Arab bukanlah bahasa yang digunakan oleh semua negara di Timur Tengah. "Hanya Yaman dan wilayah Hijaz yang memang sejak awal berbahasa Arab," ujarnya. Namun, seiring penyebaran Islam, bahasa Arab berkembang menjadi bahasa sastra, puisi, dan diplomasi. Akhirnya, bahasa ini digunakan secara resmi oleh 22 negara Arab. "Bahasa Arab menjadi bahasa resmi pada era Daulah Abbasiyah, yang berarti setelah masa pemerintahan Umayyah," jelasnya.
Yoyo kemudian menguraikan letak geografis negara-negara Arab. "Di atas Arab Saudi ada Irak, lalu di bagian Teluk terdapat Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain. Iran bukan negara Arab karena mereka berbahasa Persia, begitu pula dengan Turki yang menggunakan bahasa Turki." Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dunia Arab terdiri dari 22 negara, membentang dari Suriah dan Irak di utara hingga Sudan di selatan, serta Mesir, Libya, Aljazair, dan Maroko di barat.
Salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam yang turut memanfaatkan puisi dalam dakwah adalah Imam Syafi'i. "Imam Syafi'i banyak menggunakan puisi untuk menyampaikan pesan-pesan ilahiah," katanya. Puisi-puisi beliau mengandung pesan tentang kesabaran, ketaatan kepada Tuhan, keadilan, menjaga lisan, dan pentingnya harta yang halal. Yoyo menambahkan, "Beliau menghafal Al-Qur'an sebelum usia empat tahun dan menguasai hampir seluruh ilmu agama sebelum genap berusia 21 tahun."
Dalam perjalanan intelektualnya, Imam Syafi'i banyak berpindah tempat. "Beliau lahir di Gaza, kemudian belajar di Makkah, Madinah, Baghdad, hingga akhirnya wafat di Mesir," terangnya. Makamnya di Kairo, tepatnya di Kota Fustat, sering dikunjungi peziarah, terutama pada bulan Ramadan. Salah satu karyanya yang terkenal adalah 'Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i', yang berisi kumpulan puisi penuh hikmah.
Sebagai contoh, salah satu puisinya berbunyi: "Jagalah lisanmu, wahai manusia. Jangan sampai ia menyengatmu seperti ular, sebab banyak orang yang terbunuh oleh lisannya sendiri." Menurut Yoyo, puisi ini mengingatkan tentang pentingnya menjaga ucapan agar tidak menyakiti orang lain. "Dulu ada seorang dekan atau pemimpin yang kata-katanya begitu berpengaruh hingga orang-orang segan mendengarnya. Namun, di akhirat, lisannya justru menjadi sebab azab kubur baginya," katanya.
Di bagian akhir, Yoyo menyoroti kondisi negara-negara Arab pasca-revolusi Arab tahun 2010. "Negara-negara ini mengalami kehancuran besar akibat konflik internal," ujarnya. Selain isu Palestina, perpecahan antara Sunni dan Syiah menjadi faktor utama instabilitas di Timur Tengah. "Lihatlah Irak, Suriah, Libya, semuanya masih belum stabil hingga saat ini," tambahnya.
Fenomena ini turut menjadi inspirasi bagi para sastrawan Arab dalam menulis novel yang menggambarkan kehancuran dunia Arab. "Ada novel berjudul 'Al-Kafirah' karya Ali Badr, yang mengkritik bagaimana istilah 'kafir' kini digunakan untuk menghakimi sesama Muslim. Dulu di Irak, kata kafir tidak pernah digunakan antar sesama Muslim, tetapi sekarang, karena perbedaan pandangan, orang mudah melabeli orang lain sebagai kafir," jelas Yoyo.
Ia juga menyebut novel 'Frankenstein fi Baghdad' karya Ahmad Sa’adawi yang mendapatkan penghargaan dunia. "Novel ini menggambarkan bagaimana kekacauan di Irak telah menciptakan 'monster' yang merenggut nyawa banyak orang," katanya. Sastra menjadi cara bagi penulis untuk merefleksikan penderitaan masyarakat akibat perang dan konflik sektarian.
"Dulu, pada abad ke-10, Baghdad adalah pusat peradaban dunia di bawah kekhalifahan Abbasiyah. Tapi sekarang, semua itu tinggal kenangan," ujarnya menutup pembicaraannya. (Giti)