Serangan Mongol (Bagian ke-3)
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Pada abad-abad sebelumnya, jaringan perdagangan global yang berkembang memungkinkan masyarakat Muslim untuk beradaptasi dan memanfaatkan ide-ide baru dan asing yang memicu zaman keemasan Islam. Dengan demikian, merosotnya peran Jalur Sutra turut menghilangkan kondisi yang menjadikan Dunia Islam memiliki peradaban metropolitan di era rekonstruksi pasca-Mongol. Merosotnya Jalan Sutra secara dramatis mengubah sikap budaya dan cara pikir kaum Muslimin. Pikiran yang dulunya terbuka terhadap dunia luar beralih kepada sikap penolakan terhadap hal-hal luar dan masyarakat Muslim secara luas lebih berfokus ke dalam. Ketika Dunia Islam menutup diri, teologi Asy`ariyah menjadi bagian tidak terpisahkan dari arus utama kaum Muslimin.
Madrasah-madrasah publik yang dibiayai negara yang di masa lalu membantu menyebarkan cita-cita pemikiran rasional digantikan dengan pola pikir eksklusif yang hanya difokuskan pada studi agama, seperti tata bahasa Arab, hadits, dan hukum syariah seperti yang direkomendasikan oleh Al-Ghazali. Konsep Asy`ariyah tentang okasionalisme yang menyangkal keutuhan dunia fisik diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan. Sementara itu studi sains dikecualikan dari kurikulum. Kejumudan sistem pendidikan berlangsung secara bertahap. Pada abad ke-14, para sarjana Muslim mengalihkan fokus mereka dari inovasi ke penemuan praktis.
Satu abad kemudian Eropa telah menggantikan Dunia Islam sebagai pusat pembelajaran dan inovasi. Pencapaian Kristen sudah membalikkan Dunia Islam di bidang sains. Peristiwa-peristiwa besar Eropa, seperti Renaissans, Zaman Penemuan, Reformasi dan bahkan Zaman Pencerahan berlalu tanpa disadari di dunia Muslim. Budaya Islam yang berpikiran terbuka yang pernah menghasilkan perpustakaan, observatorium, dan kota-kota kini telah mengalami kemunduran, dan beralih ke dunia tertutup yang membenci dan memusuhi inovasi. Hingga terjadinya invasi Napoleon ke Mesir pada tahun 1798 masyarakat Muslim baru menyadari bahwa mereka tidak lagi berada di garis depan dunia.
Pertanyaan segera diajukan di mana letak kesalahannya. Di tengah penjajahan Eropa di Timur Tengah, masa depan tampak tidak pasti dan orang-orang Muslim mengidolakan masa lalu. Pada periode ini, penguasa Muslim mencoba membalikkan situasi dengan meminjam teknologi Barat dan ide-ide politik sosial seperti sekularisme dan nasionalisme. Sementara itu sekelompok yang lain percaya bahwa kemuliaan dapat diperoleh dengan kembali ke masa lalu yang murni dan saleh. Mentalitas yang terakhir terbukti tidak dapat mengatasi modernitas. Hal ini tak lebih dari nostalgia mendalam terhadap era Islam klasik tanpa memahami perkembangan historis yang terjadi pada saat itu.
Merosotnya sains dalam masyakarat Muslim disebabkan banyak faktor, yakni ketidakstabilan politik, kemunduran ekonomi, perubahan lingkungan, migrasi massal, dan kurangnya pemikiran kritis karena kemenangan wahyu di atas akal. Ini juga ditambah oleh faktor-faktor lain seperti serbuan Tentara Salib dan pasukan Mongol. Gabungan kondisi ini mengantarkan peradaban Islam pada lintasan kehancuran diri sendiri. Para sarjana Zaman Keemasan Islam juga menganalisis masa lalu untuk memahami dunia mereka. dunia mereka juga.
Sejarawan Al Mas`udi, yang disebut sebagai Herodotus-nya Arab, di abad ke-9 pernah ditanya mengapa sains menurun di kekaisaran Romawi sementara dunia Islam telah berkembang. Dia menjawab, "Orang-orang Yunani dan Romawi kuno membiarkan sains berkembang pesat hingga kemudian mereka mengadopsi agama Kristen. Ketika mereka melakukannya, mereka menghilangkan ilmu-ilmu pembelajaran, menghilangkan jejak-jejaknya dan menghancurkan jalannya" (Ancient Greeks and Romans had allowed the sciences to flourish then they adopted Christianity. When they did so they effaced the science of learning eliminated its traces and destroyed its paths). Sains dikalahkan oleh iman (agama)—Tamat.