Oleh: Nur Ngazizah
“Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum Kiai Haji Ahmad Dahlan menitipkannya. Menitipkan, berarti melanjutkan perjuangan umat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan.”
Itulah pesan-pesan yang diucapkan Siti Walidah tak lama sebelum wafat Siti Walidah meninggal pada 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman,
Siti Walidah diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 042/TK/1971, 22 September 1971. Siti Walidah telah berperan aktif dalam pembebasan kaum perempuan dari kebodohan ke dunia ilmu pengetahuan. Siti Walidah merasakan keterbelakangan kaum perempuan dalam dunia pendidikan. Hati, pikiran, dan tindakan Siti Walidah selalu mengarah pada pembelaan terhadap rakyat kecil. Kebijakannya tertuju pada pemberdayaan masyarakat luas. Membangun rasa nasionalisme dalam persatuan dan kesatuan anak-anak bangsa. Saat itu rakyat Indonesia hidup dalam ketertindasan, keterbelakangan, dan umat Islam Indonesia dihadapkan pada banyak masalah.
Siti Walidah lahir di Desa Pesantren Kauman, Yogyakarat pada 3 Januari 1872. Ia merupakan anak Kiai Penghulu Haji Muhammad Fadhil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim ulama besar disegani masyarakat.
Siti Walidah sejak usia mudanya menghabiskan banyak waktu guna menuntut ilmu agama. Siti Walidah sampai usia remaja belum pernah menikmati pendidikan umum. Pendidikan umum yang dimaksud adalah pendidikan formal yang diselenggarakan Pemerintah Kolonial Belanda. Maklum, saat itu berkembang pemikiran yang diyakini masyarakat luas bahwa sekolah formal hanya untuk laki-laki, tidak untuk kaum wanita. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa memasuki sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Kolonial Belanda bertentangan dengan ajaran agama Islam. Pandangan di atas dinilai Siti Walidah tidak benar. Pendidikan itu dianggap untuk semua kalangan, termasuk untuk kaum wanita. Tidak hanya untuk kaum laki-laki.
Pada 1903, Siti Walidah menikah dengan Ahmad Dahlan. Awalnya suami Siti Walidah bernama Muhammad Darwis, kemudian setelah menuaikan haji dan belajar agama dikenal dengan nama Ahmad Dahlan. Bersama suaminya, Siti Walidah ikut berjuang untuk mencerdaskan masyarakat dengan memberikan pendidikan, baik pendidikan agama atau pendidikan umum. Apalagi setelah Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Islam bernama Muhammadiyah pada 1912.
Walidah selalu ikut serta untuk berdiskusi dan menyampaikan pandangannya bersama tokoh Indonesia lainnya, seperti Jenderal Sudirman, Bung Karno, Kiai Haji Mas Mansur, dan Bung Tomo.
Mendirikan Sopo Tresno dan Aisyiyah
Setelah Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada kemajuan perempuan. Kepiawaian Siti Walidah dalam berorganisasi dirintisnya dalam kelompok pengajian wanita dengan nama Sopo Tresno pada 1914. Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis yang membahas hak dan kewajiban perempuan. Perempuan diharapkan dapat mengetahui dan menerapkan kewajibannya sebagai manusia, istri, dan hamba Allah.
Dan didirikan juga Wal'Ashri, Maghribi School. Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud), dinamakan Wal'Ashri Maghribi School, karena untuk proses pengajarannya dilakukan waktu sesudah salat asar, dan Maghribi School dilakukan setelah salat magrib. Siti Walidah, ingin mengantarkan kaum ibu-ibu tidak hanya cerdas dalam agama. Tapi cerdas berhubungan dengan manusia dan lingkungan sekitar.
Perkembangan Sopo Tresno semakin pesat, kemudian diusulkan menjadi organisasi yang lebih bagus dan berkembang. Pada 21 April 1917, Sopo Tresno menjadi organisasi bernama Aisyiyah. Penamaan Aisyiah merujuk kepada istri Nabi Muhammad SAW, yakni Aisyiah bin Abu Bakar. Di mana Aisyiyah sebagai simbol perempuan cerdas, intelek, dan dianggaop cocok mewakili napas perjuangan bagi kaum perempuan dalam bidang pendidikan.
Pada 1919, Aisyiyah mendirikan sekolah taman anak-anak pertama di Indonesia dengan nama Frobel. Pada 1923, membuat program memberantas buta huruf pertama di Indonesia, baik huruf arab maupau latin. Pada 1928, memelopori Kongres Wanita Pertama. Mendirikan sekolah dasar untuk perempuan dengan nama Volk School (sekolah dasar tiga tahun). Meningkatkan pengetahuan dan mendorong partisipasi perempuan dalam dunia publik. semasa aktif di ‘Aisyiyah, Siti Walidah dikenal sebagai tokoh perempuan yang memiliki pergaulan luas dan terlibat di ranah publik.
Selanjutnya pada tanggal 5 Januari 1922 Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Organisasi yang semakin sistematis itu kemudian mengembangan berbagai program pembinaan dan pendidikan wanita. Beberapa program tersebut antara lain: mengirim siswa praja wanita untuk membina dan mengembangkan puteri-puteri di luar sekolah sebagai kader, mengirim para mubaligah ke kampung-kampung untuk memimpin shalat tarawih, mengadakan kursus agama Islam, serta mengadakan perayaan hari besar Islam.
Modernisasi Pendidikan Islam dan Kaum Perempuan
Siti walidah menekankan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Dengan begitu perempuan mempunyai andil dalam mendampingi suami dan mencetak generasi bangsa yang berilmu dan berakhlak sesuai dengan nafas Islam. Perhatiannya pada pendidikan Islam pun tidak sebatas untuk perempuan—melainkan untuk semua kalangan.
Sebagaimana Ahmad Dahlan, Nyai Dahlan juga menyepakati “catur pusat” pendidikan yang terformulasikan melalui: pendidikan di dalam lingkungan keluarga; pendidikan di dalam lingkungan sekolah; pendidikan di dalam lingkungan masyarakat; dan pendidikan di lingkungan ibadah. Pada konteks ini, Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan dan perombakan mendasar pada sistem pendidikan kala itu. ia melakukan pembaharuan terhadap sistem pendidikan sekolah dan pesantren.
Nur Ngazizah, S.Si., M.Pd, Ketua Divisi Tabligh Digital dan Komunitas MTK PWA Jateng dan Dosen UM Purworejo