Sumberdaya Alam untuk Dimanfaatkan
Allah memberi anugerah luar biasa kepada manusia dan seluruh makhluk hidup lainnya dengan memberikan tempat tinggal berupa alam yang cocok untuk ditempati sekaligus diolah sebagaimana mestinya. Antara lain Bumi dengan seluruh kandungan isinya, termasuk segala jenis mineral dan tambang. Allah dengan Rahman dan Rahim-Nya memerintahkan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang diberi akal-pikiran sebagai khalifah di muka bumi (khalifat fil-ardl) untuk mengolah atau membangun alam dengan seluruh isinya secara bertanggungjawab untuk kemakmuran hidup, serta tidak boleh merusaknya (QS Hud: 60; Al-Baqarah: 11 dan 30; Al-‘Araf: 56; Ar-Rum: 41).
Karenanya menjadi sia-sia dan tidak menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi jika manusia tidak memanfaatkan alam dengan isinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup sebagaimana diperintahkan Allah. Manusia diangkat menjadi khalifah itu justru antara lain untuk memakmurkan bumi dan alam semesta, yang berbeda dengan para Malaikat yang memang ditugaskan Allah hanya untuk menjalankan tugasnya dengan kesucian dirinya. Manusia wajib berurusan dengan segala hal ihwal dunia untuk dimakmurkan dan ladang beramal kebaikan untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat kelak (QS Al-Qashash: 77). Manusia tidak boleh sama dengan Malaikat, yang tidak terikat dengan urusan-urusan duniawi dan ragawi, apalagi menjauhi dan anti dunia dengan segala urusannya.
Air, tambang, tumbuhan, hutan, dan segala isi bumi dalam konteks bernegara bahkan harus diolah pemerintah untuk sebesar-besarnya hajat hidup rakyat. Pemerintahan Negara di Indonesia memiliki kewajiban konstitusi, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”. Artinya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bumi Indonesia dengan seluruh isinya mesti dimanfaatkan secara bertanggungjawab untuk kemaslahatan bersama.
Sebaliknya yang dilarang Allah kepada manusia ialah merusak alam dengan seluruh isinya yang menimbulkan bencana di muka bumi atau “fasad fil-ardli”. Manusia dilarang merusak lingkungan, hutan, lautan, flora, fauna, dan segala ciptaan Allah. Alam mesti dimanfaatkan secara masalahat tapi jangan dihabiskan dan dirusak karena dapat membawa bencana bagi kehidupan. Maka jangan berlebihan dalam mengolah alam dengan seluruh isinya. Manusia selain dilarang merusak, juga dilarang rakus yang menyebabkan kerusakan dan bencana di muka bumi (QS Al-Isra: 16). Merusak dan rakus itulah yang tidak dibolehkan oleh ajaran Islam.
Insan Muslim secara individu maupun kolektif dalam mengolah dan membangun kehidupan di alam semesta mesti mengikuti tujuan syariat Islam yaitu menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga harta (hifdz al-mal), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga agama (hifdz al-din) dalam satu kesatuan yang utuh dan saling terkait. Bila ditambahkan sebagai ijtihad, penting juga menjaga alam atau ekosistem (hifdz al-‘alam). Syariat Islam membolehkan dan meniscayakan manusia mengolah alam demi kemaslahatan hidup bersama.
Kehati-hatian atau keseksamaan dalam memanfaatkan dan mengolah alam sangat diperlukan dengan melakukan segala sesuatunya secara benar, baik, dan tersistem yang sebaik-baiknya. Namun bukan berarti kaum muslim termasuk Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menjauhi dunia dan tidak mengolah alam dengan seluruh isinya, yang membuat kehidupan direbut oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Jika segala sesuatunya dilakukan dengan benar, baik, dan sistem yang akuntabel disertai niat yang lurus untuk kemaslahatan umum maka mengolah alam menjadi keniscayaan hukumnya. Kata Jalaluddin Rumi, jika orang-orang saleh apatis dari dunia, maka jangan disalahkan bila yang berkuasa ialah tangan-tangah zalim.
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2024