Syawalan Muhammadiyah Sulbar, Titik Temu Spirit Kebersamaan dan Islam Berkemajuan
Oleh: Furqan Mawardi, Ketua Lembaga Pengembangan Cabang Ranting Masjid dan Pesantren PWM Sulawesi Barat
Pada hari Kamis, 17 April 2025, Lantai tiga Universitas Muhammadiyah Mamuju tak lagi hanya sekadar ruang aula. Ia menjelma menjadi ruang hati, tempat ratusan orang berkumpul bukan sekadar untuk bersalaman, tapi menyambung rasa, mempererat tekad, dan menyusun kembali semangat selepas Ramadhan.
Inilah Syawalan 1446 H. Suasana yang hangat, penuh canda, saling sapa dan tentu saja peluk ukhuwah. Muhammadiyah Sulawesi Barat bekerja bersinergi dengan Universitas Muhammadiyah Mamuju menggelar kegiatan ini sebagai bentuk nyata, bahwa selepas puasa bukanlah waktu untuk melepas semangat, tapi justru momentum memperteguh langkah, memperkuat silaturahmi.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadir sekitar 300 warga Muhammadiyah dari berbagai penjuru Sulawesi Barat. Dari paling ujung Utara Pasangkayu, Majene, Mamuju Tengah hingga paling selatan Polewali Mandar, dan tentu tuan rumah Mamuju sendiri. Semua bersatu dalam satu simpul, merajut ukhuwah,
Ketua PWM Sulbar, Kyai H. Wahyu Mawardi, dalam sambutannya tak bisa menyembunyikan rasa haru dan syukurnya. Ia menyampaikan perkembangan menggembirakan betapa Muhammadiyah di Sulawesi Barat kini telah memiliki kepengurusan lengkap di seluruh kabupaten, bahkan telah merambah hingga tingkat cabang dan ranting. Ini bukan sekadar data administratif, ini adalah bukti dari kerja dakwah yang shabar, gigih, dan istiqomah. "Semua ini adalah karena buah dari keshabaran dari para mengurus, begitu banyak orang yang lulus ujian, namun tidak semua bisa lulus dalam keshabaran.”
Keshabaran adalah salah satu sifat yang paling penting bagi seorang mukmin, karena dengan keshabaran, seseorang dapat mencapai derajat yang tinggi disisi Allah, Demikian pesan imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah
Di antara titik-titik harapan yang bersinar paling terang adalah tumbuhnya lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sekolah dan pesantren dan bertumbuh serta Kampus-kampus berkembang. Dua nama mencuat yang yakni Universitas Muhammadiyah Mamuju dan Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Polewali Mandar.
Apalagi besoknya di tanggal 18 April Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Polewali Mandar akan melaksanakan peletakan batu pertama untuk pembangunan kuliah bersama, tentu ini menandakan bahwa pendidikan di Sulawesi Barat akan makin maju dengan keberadaan gedung baru ini kelak.
Sementara Universitas Muhammadiyah Mamuju, kini menjadi satu-satunya perguruan tinggi di Sulawesi Barat yang membuka program pascasarjana prodi manajemen, dengan predikat akreditasi "Baik Sekali". Sebuah capaian monumental yang membungkam skeptisisme, bahkan dari lembaga-lembaga besar sekalipun.
Ceramah Pencerahan: Islam Berkemajuan
Acara semakin bermakna dengan hadirnya Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Ir. H. Abd. Rakhim Nanda, S.T., M.T., IPU, yang beliau juga merupakan Sekretaris Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah Mamuju. Dalam tausiyahnya, beliau menyampaikan enam pilar penting untuk mewujudkan Islam berkemajuan, sesuai dengan amanat muktamar Muhammadiyah:
1. Ikhlas: Pondasi Utama dalam Bermuhammadiyah
Di tengah lantunan doa yang menggema dan senyum-senyum hangat yang saling bersahutan, Insinyur Rahim Nanda membuka pesan pertamanya dengan nada yang dalam: "Tidak akan ada kemajuan tanpa keikhlasan." Sebuah kalimat yang sederhana, namun terasa mengguncang dada. Betapa tidak, di era ketika segala sesuatu diukur dengan pamrih dan penghargaan, beliau mengingatkan bahwa kekuatan Muhammadiyah justru terletak pada ketulusan para pejuangnya.
Ikhlas, dalam pandangan beliau, bukan sekadar niat yang tersembunyi di hati. Ikhlas adalah energi spiritual yang mendorong seseorang untuk terus berbuat, meskipun tak terlihat dan tak dipuji. Itulah keikhlasan ala Muhammadiyah—mengabdi tanpa berharap imbalan duniawi, menggerakkan roda dakwah dengan harapan hanya satu: ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an: "Wa maa umiruu illaa liya’budullaaha mukhlishiina lahud-diina hunafaa..." (QS. Al-Bayyinah: 5), bahwa manusia diperintahkan untuk menyembah Allah dengan penuh keikhlasan dalam agama.
Dalam ruang aula yang penuh sesak itu, terasa aura keheningan saat beliau mencontohkan bagaimana seorang guru Muhammadiyah di pelosok desa yang terus mengajar meski tanpa upah yang layak, adalah cerminan dari ruh keikhlasan itu sendiri. Maka, siapa pun yang hari ini bergerak di Muhammadiyah—baik di amal usaha, ortom, maupun struktur organisasi—hendaknya menjadikan ikhlas sebagai bahan bakar utama dalam setiap langkah perjuangan.
2. Mengabdi: Jalan Kemuliaan Seorang Khalifah
Pesan kedua yang disampaikan menggugah kesadaran tentang hakikat hidup: mengabdi. “Hidup ini bukan untuk menimbun pujian, tetapi untuk menyebar manfaat,” ucap beliau, mengutip semangat QS. Adz-Dzariyat: 56: "Wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun" (Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku). Pengabdian adalah bentuk tertinggi dari ibadah. Dan Muhammadiyah adalah ladang subur untuk menanam pengabdian itu.
Beliau menggambarkan bahwa dalam Muhammadiyah, mengabdi berarti menghadirkan solusi. Menjadi guru bukan sekadar mengajar, tapi mencetak akhlak generasi. Menjadi pimpinan bukan untuk berkuasa, tapi menjadi pelayan umat. Menjadi relawan bukan untuk dikenal, tapi menjadi perpanjangan kasih Allah di bumi. Pengabdian dalam Muhammadiyah adalah ekspresi nyata dari makna khalifah fil ardh pemimpin di muka bumi yang menjadikan hidup sebagai sarana menyemai kebaikan bagi semesta.
Pengabdian yang dibungkus keikhlasan akan menjadi bekal abadi yang tak pernah sia-sia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." Maka, siapa yang ingin mulia, hendaknya ia mengabdi. Dan Muhammadiyah telah membuktikan: semakin mengabdi, semakin tinggi derajatnya di mata umat dan di hadapan Tuhan.
3. Menjadi Umat Ijabah: Terus Belajar dan Bertumbuh
Dengan suara yang mantap dan penuh semangat, beliau menyampaikan pesan ketiga: pentingnya menjadi umat ijabah, yakni umat yang senantiasa merespon seruan kebaikan dengan belajar, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam. “Umat terbaik bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling lembut hatinya menerima kebenaran,” ujar beliau.
Beliau menjelaskan bahwa umat ijabah adalah mereka yang tidak berhenti menuntut ilmu, terus memperdalam pemahaman agama, dan terbuka terhadap pencerahan baru. Mereka tidak hanya puas dengan label sebagai muslim, tapi berjuang menjadi muslim sejati yang mengakar dalam iman dan amal. Seperti firman Allah: "Fa’tabiru yaa ulil abshar..." (QS. Al-Hasyr: 2) ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berpikir.
Pesan ini terasa begitu dalam ketika beliau menyinggung pentingnya menjadikan setiap rumah, sekolah, dan masjid Muhammadiyah sebagai pusat pembelajaran Islam berkemajuan. Karena di era digital yang penuh distraksi ini, hanya umat yang terus belajar yang akan mampu bertahan, berkembang, dan memberi arah bagi masyarakat. Maka jadilah umat ijabah yang senantiasa menjawab seruan kebaikan, bukan umat iradah yang hanya menunggu takdir tanpa usaha.
4. Dakwah dan Tabligh: Setiap Kita adalah Penyampai Kebenaran
Pesan keempat menggugah kesadaran kolektif bahwa setiap warga Muhammadiyah adalah dai. Dakwah bukan monopoli ustadz, tabligh bukan tugas eksklusif mubaligh. Setiap orang yang memahami kebenaran, wajib menyampaikannya sesuai kemampuannya. "Ballighu ‘anni walau aayah..." (Sampaikan dariku walau satu ayat), sabda Nabi SAW yang menjadi landasan kuat pesan ini.
Dalam suasana yang semakin menghangat, beliau menegaskan bahwa dakwah Muhammadiyah tidak boleh berhenti di mimbar. Dakwah harus merambah ke ruang kelas, ruang kerja, layar gadget, meja birokrasi, dan bahkan ke ladang-ladang tani. Di manapun warga Muhammadiyah berada, di situlah tabligh harus hadir. Dakwah yang menyejukkan, mengedukasi, dan menyemangati masyarakat untuk menjadi lebih baik.
Beliau mengajak setiap peserta syawalan untuk merenung, sudahkah kita menyampaikan kebaikan hari ini? Sudahkah kita menjadi cahaya di tempat kerja kita, di lingkungan RT kita, di media sosial kita? Karena dakwah yang efektif bukan tentang banyaknya kata, tapi tentang kekuatan keteladanan. Maka, marilah terus kita hidupkan semangat tabligh sebagai denyut nadi gerakan Muhammadiyah.
5. Ridha Allah sebagai Puncak Cita-Cita: Di Atas Segala Ambisi Dunia
Tatkala suasana ruangan mulai hening, dan para peserta larut dalam makna pesan-pesan sebelumnya, Insinyur Rahim Nanda melanjutkan dengan pesan kelima yang terasa menukik tajam ke relung jiwa: “Apapun yang kita lakukan di Muhammadiyah, jangan sampai melupakan satu hal: apakah Allah ridha dengan apa yang kita kerjakan?”
Ucapan itu seakan mengetuk kesadaran semua hadirin. Ridha Allah—itulah mahkota dari seluruh amal dan pengabdian. Semua jabatan, proyek, kegiatan, bahkan capaian hebat sekalipun, tak ada artinya jika tak mengantarkan pada ridha Ilahi. Sebaliknya, amal yang kecil tapi tulus bisa menjulang tinggi bila Allah berkenan menerimanya. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Beliau menggambarkan betapa bahagianya orang-orang yang hidupnya diarahkan hanya untuk mencari ridha Allah. Mereka tenang, tidak silau dengan pujian, dan tak guncang oleh cercaan. Gerak mereka teguh, karena yang mereka kejar bukan kursi, bukan jabatan, bukan popularitas, tapi senyum Allah. Dan di Muhammadiyah, kita diajarkan untuk menjadikan amal sebagai jalan menuju ridha-Nya, bukan sekadar pencapaian duniawi.
Dengan nada yang menggetarkan, beliau menutup bagian ini dengan pesan yang sangat menyentuh: “Jika nanti kita kembali ke haribaan Ilahi, tidak ditanya berapa banyak yang kita capai, tapi apakah semua itu membuat kita makin dekat kepada-Nya?” Sebuah refleksi yang menuntut kejujuran terdalam bagi siapa pun yang berjuang di jalan dakwah ini.
6. Bahagia dalam Bermuhammadiyah: Mengukir Senyum dalam Lelah dan Letih
Pesan terakhir terasa seperti pelipur lara, penguat jiwa, sekaligus semacam pelengkap dari seluruh mozaik perjuangan yang telah digambarkan sebelumnya. “Jangan lupa bahagia dalam bermuhammadiyah,” ujar beliau, disambut senyum dan tawa kecil para hadirin. Ada kehangatan dalam kalimat itu, seperti seorang ayah yang mengingatkan anak-anaknya untuk tetap menikmati perjalanan, meski jalan itu penuh tanjakan dan liku.
Bermuhammadiyah bukan hanya soal rapat, laporan, program, dan keputusan-keputusan penting. Lebih dari itu, Muhammadiyah adalah rumah persaudaraan. Sebuah ruang untuk berbagi beban, merayakan keberhasilan, dan saling menguatkan dalam kelelahan. Insinyur Rahim Nanda mengajak semua untuk menikmati proses berjuang di Muhammadiyah dengan hati yang gembira, karena bahagia itu ibadah.
Dalam momen ini, beliau juga menekankan pentingnya menciptakan suasana yang ceria dan membahagiakan di setiap forum dan pertemuan Muhammadiyah. Jangan biarkan dakwah menjadi beban yang membuat orang enggan datang. Jadikan setiap pertemuan sebagai ajang saling menyemangati. Setiap musyawarah sebagai arena saling menginspirasi. Dan setiap kegiatan sebagai ladang silaturahim yang menumbuhkan cinta.
Beliau menutup dengan satu kalimat penuh makna: “Kalau kita bisa tersenyum dalam lelah, itu artinya kita sedang berada di jalan yang benar.” Hadirin pun terdiam, lalu tepuk tangan pun bergema seolah ingin berkata, "Benar, kami lelah, tapi kami bahagia. Karena kami berada di jalan Muhammadiyah."
Enam pesan ustadz Insinyur Rahim Nanda itu bukan sekadar untaian kata-kata dalam pidato seremoni. Ia menjelma menjadi cambuk kesadaran, pelita arah perjuangan, dan peluk spiritual bagi seluruh warga Muhammadiyah yang hadir kala itu. Syawalan pun bukan sekadar acara tahunan, tetapi menjadi titik temu ruhani tempat kita semua diingatkan kembali akan makna hadir kita di gerakan ini.
Jika kita renungkan, maka setiap pesan itu laksana pilar-pilar bangunan yang meneguhkan kita: ikhlas, mengabdi, belajar, berdakwah, mengejar ridha Allah, dan menjemput bahagia di jalan dakwah. Semoga pesan itu tak hanya bergema di aula Syawalan, tetapi mengalir hingga ke hati, lalu menggerakkan kaki, tangan, dan pikiran kita untuk terus ber-Muhammadiyah dengan hati yang ikhlas, langkah yang tulus, dan wajah yang berseri.