Syukur dalam Perspektif Fisika Quantum

Publish

30 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1053
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Syukur dalam Perspektif Fisika Quantum

Oleh: Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng 

Pada mulanya ketika saya mendapatkan percikan inspirasi di kamar mandi, judulnya adalah “Rasa Syukur dalam Gelombang Elektromagnetik”. Atas pertimbangan memori dan pikiran sahabat pembaca agar mudah terarah pada pembahasan dalam tulisan ini dengan tatapan pertama pada judul, saya mengubahnya menjadi “Syukur dalam Perspektif Fisika Quantum”. Saya yakin, terma “Fisika” lazim dipahami atau lebih familiar ketimbang “elektromagnetik”. Bahkan, ini dipahami sejak masih sekolah dasar. 

Saya yakin jika sahabat pembaca memiliki referensi awal meskipun sedikit atau tidak terlalu mendalam, maka pembahasan ini akan menarik. Hal itu disebabkan karena dilihat dari judul saja ada dua poin substansial yang berada dalam ruang kajian yang berbeda. Satu berada dalam ranah agama, dan satunya lagi berada dalam wilayah ilmu pengetahuan dan/atau sains. Dalam wilayah pemikiran, keduanya bisa saja diintegrasikan, sebagaimana pandangan Ian G. Barbour yang pernah dikutip oleh M. Amin Abdullah (2020), bahwa hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi empat corak: Konfilik, Independen, Dialog, dan Integrasi. 

Selama ini rasa atau perasaan syukur hanya dipahami—termasuk manfaatnya—dengan basis keyakinan dan sekaligus sebagai perintah atau ajaran agama yang ditegaskan melalui beberapa ayat dalam al-Qur’an. Meskipun, beberapa di antara kita telah merasakan hikmah dan manfaat dari rasa syukur.

Saya belum sempat mencari secara detail ada berapa jumlah atau berapa kali kata “syukur” terungkap dalam al-Qur’an. Namun, jika melihat dari Kamus Pintar Al-Qur’an karya Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., ada 13 ayat yang menjelaskan dan menegaskan tentang pentingnya rasa syukur, dan bahkan ada diksi mempertanyakan dan ancaman jika ada yang enggan bersyukur. Kita bisa buka dan membacanya pada surah dan ayat-ayat ini: (2:152), (4:147), (14:7), (16:78), (16:121), (22:36), (27:19), (27:40), (28:73), (36:73), (39:66), (56:70), dan (93:11).

“Dan ingatlah juga, tatkala Tuhanmu memaklumkan ‘Sesungguhnya jika mau bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’”. Ini salah satu yang ditegaskan dalam QS. 14/7.

Secara sederhana dari Arvan Pradiansyah (2010) kita bisa memahami, bersyukur adalah sebuah proses berhenti sebentar di setiap momen dan menikmati momen tersebut. Sebelum membaca karya Arvan dan ternyata relevan, saya memahami bahwa bersyukur itu adalah perasaan yang sangat subjektif dan bersifat relatif. Percikan rasa syukur dari setiap orang sangat tergantung dari kepribadian seseorang dalam menilai sesuatu, 

Bersyukur bukan hanya percikan verbal secara lisan di bibir dengan ucapan hamdalah tetapi melampaui dari itu, perasaan mendalam yang lahir dari kesadaran atas kenikmatan yang standardnya berdasarkan ukuran diri masing-masing. Pemantik rasa syukur pada dasarnya bukan ditentukan oleh faktor eksternal tetapi lebih bersifat internal. Dan sebaliknya, dan itu yang akan kita bahas justru rasa syukur memengaruhi dimensi eksternal.  

Hari ini, kita sedang berada dalam kondisi kehidupan yang dikitari dengan dinamika, dialektika, pergumulan, dan pergulatan  ilmu pengetahuan, teknologi, sains, dan kecendrungan berpikir rasional dan bahkan tidak sedikit yang postivistik. Dan ini semua ikut memengaruhi cara manusia dalam bersikap, bertindak, mengambil keputusan, dan bahkan dalam menilai sesuatu. Terkadang untuk mengungkap kebenaran suatu ajaran atau pemahaman, apatah lagi bermaksud agar orang lain bisa ikut memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan, membutuhkan perangkat  dan metode pemahaman lain. 

Tanpa bermaksud untuk merendahkan persoalan keyakinan dan ajaran agama, saya yakin semakin kokoh keyakinan dan pemahaman agama yang dimiliki jika bisa pula dibuktikan kebenaranya melalui pendekatan rasionalitas, ilmiah, dan sains. Alasan inilah sebenarnya yang yang menyemangati saya untuk ingin menyelesaikan tulisan ini setelah mendapatkan percikan inspirasi. 

Agar bisa memahami kebenaran rasa syukur melalui perspektif Fisika Quantum atau bagaimana rasa syukur menjadi bagian dari gelombang elektromagnetik, saya yakin kita harus terlebih dahulu menerobos, melumpuhkan, dan membongkar keyakinan kita tentang dualisme atau keterpisahan antara materi dan pikiran atau materi dan energi. Pemahaman dan keyakinan ini sebagai efek dari pemahaman Fisika Klasik yang lazim pula dikenal dengan Fisika Newton yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Rene Descartes dan Sir Isaac Newton. Bahkan melalui pandangan ini atom pun dipahami sebagai hal yang bersifat material yang dikenal pula dengan “Atom Klasik”. 

Mengapa kita perlu membongkar pemahaman di atas? Pada substansinya pemahaman di atas menegaskan tidak ada hubungannya antara pikiran atau energi dengan realitas empirik atau materi yang mengitari kehidupan kita. 

Pasca fisika klasik atau dikenal pula dengan fisika newton, ditemukanlah fisika quantum. Secara sederhana fisika quantum—berbeda dengan fisika klasik—yang menegaskan salah satunya bahwa pikiran dan materi tidak lagi terpisah. Bahkan Dr. Joe Dispenza menegaskan bahwa keduanya (baca: pikiran dan materi) secara intriksi berhubungan, karena pikiran subjektif memproduksi perubahan-perubahan dalam dunia fisik dan objektif yang bisa diukur. 

Dispenza juga menegaskan bahwa di level subatomik, energi merespon penuh (mindful attention) Anda dan menjadi materi. Selain itu Dispenza memandang berdasarkan hasil temuannya “Kita terkoneksi dengan segala sesuatu di Medan [atau level] quantum”. 

Dalam medan quantum di mana semua saling terkoneksi tanpa ada batasan, setiap diri bisa memengaruhi realitas yang akan terjadi dan/atau memengaruhi dimensi material sesuatu. Dan tentu saja kemampuan memengaruhi hal material ini diawali dengan memengaruhi dimensi subatomik material tersebut dalam medan quantum. 

Kemampuan diri kita untuk memengaruhi realitas atau hal material di luar diri, jika kita mendalami pandangan Dispenza ketika gelombang elektromagnetik yang kita pancarkan selaras atau antara sinyal listrik dan daya magnetis yang kita pancarkan ke medan quantum itu selaras. Perlu kita pahami bersama bahwa pikiran kita mampu mengirimkan sinyal listrik (elektrik), sedangkan perasaan membangkitkan daya magnetis.

Pikiran yang memancarkan sinyal elektrik dan perasaan yang membangkitkan daya magnetis harus memancarkan gelombang yang selarasa agar mampu menjadi gelombang elektromagnetik yang kita pancarkan ke alam semesta pada medan quantum mampu memengaruhi realitas dan hal material di luar dari kita. Sederhananya bisa dibahasakan seperti ini, terkait keselerasan yang dimaksud: Jika kita berpikir ingin menjadi cerdas, tetapi perasaan kita masih selalu mengatakan pada diri sendiri kita bodoh, maka ini tidak selaras, sehingga tidak bisa menjadi gelombang elektromagnetik yang dahsyat; dan contoh lainnya, ketika kita berpikir banyak cara untuk menjadi kaya, tetapi perasaan kita masih saja merasa miskin atau tidak cukup, maka kita sulit mencapai kekayaan tersebut. Jadi harus selaras antara pikiran dan perasaan.

Lalu di mana ruang relevansi dan kedahsyatan rasa syukur di balik gelombang elektromagnetik yang berasal dari pikiran dan perasaan tersebut. Saya yakin, sebagai contoh saja, kita bisa berpikir banyak cara bagaimana kita bisa menjadi kaya tanpa dipengaruhi atau dihalangi oleh situasi dan kondisi sebenarnya yang kita alami. Tetapi, kita akan kesulitan untuk merasa kaya jika keadaan yang sebenarnnya menegaskan berlawanan atau paradoks atau memang kita masing dalam kondisi miskin dalam barometer material-duniawi atau ukuran dunia dan kapital.

Solusinya agar perasaan kita bisa senantiasa merasa kaya atau cukup adalah bersyukur. Sebagaimana yang telah ditegaskan di atas bahwa bersyukur itu bukan dipengaruhi oleh faktor eksternal tetapi oleh faktor internal. Barometer atau ukuran sangat bersifat subjektif dan relatif  atau sangat tergantung pada diri kita masing-masing. 

Menjaga perasaan untuk selalu bersyukur kita bisa meminjam beberapa poin substansial yang dimiliki Arvan: pertama, fokus pada yang telah dimiliki, bukan pada yang diinginkan; kedua, fokus pada kelebihan, bukan pada kekurangan; ketiga, ketiga mendapatkan rahmat, tanyakan “mengapa saya”; keempat, ketika mendapatkan musibah tanyakan, “pelajaran berharga apa yang bisa saya dapatkan dari peristiwa ini”. 

Kelima, Bayangkan segala sesuatu tidak ada, atau sebelum kita tidak memiliki apa-apa; keenam, masukilah atau fokus pada masa kini; dan ketujuh, menjelajahi semua potensi yang dimiliki. Minimal ketujuh poin substansial yang diungkapkan oleh Arvan akan membuat kita selalu bersyukur sehingga kita akan memiliki perasaan yang membangkitkan daya magnetis atau gelombang yang selaras dengan sinyal elektrik yang dipancarkan pikiran ketika kita berpikir sedang ingin menjadi “cerdas” dan/atau “kaya”. 

Merujuk pada pemikiran Erbe Sentanu, ternyata rasa syukur pun itu berada dalam zona ikhlas yang efeknya sangat dahsyat. Saya pun sepakat bahwa keikhlasan terhadap segala sesuatu yang kita terima dan alami, itu pun cara terbaik untuk tetap menjaga ritme syukur, sehingga perasaan kita akan senantiasa membangkitkan daya magnetis yang akan selaras dengan sinyal elektrik yang dilahirkan oleh pikiran-pikiran yang kita miliki. 

Marilah kita untuk senantiasa memancarkan pikiran dan perasaan yang selaras agar melahirkan gelombang elektromagnetik yang dahsyat dan bisa memengaruhi realitas maupun material mulai dari medan quantum. Jika di dalam lebih jauh, meskipun dalam tulisan ini, kita sedang tidak membahasnya maka akan bermuara pada “tauhid” atau “ketauhidan” atau minimal pada salah satu dimensi tauhid yang disebut unity of creation (satu kesatuan penciptaan) apa yang ada di alam semesta ini tanpa kecuali yang ada pada diri kita masing-masing. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Dr Amalia Irfani, MSi, Dosen IAIN Pontianak, Sekretaris LPP PWM Kalbar Judul diatas hanya tig....

Suara Muhammadiyah

12 September 2024

Wawasan

Ramadhan dan Normalisasi Polarisasi Politik Akhmad Khairudin, M.B.A., Majelis Ekonomi PCM Turi Pem....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Agaknya kita yang telah menjalani Ramadhan beberapa hari ini harus menguku....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Wawasan

Vonis Ringan Koruptor Bukan Sekadar Tidak Adil Karena Membahayakan Eksistensi Bangsa Oleh: Immawan....

Suara Muhammadiyah

10 December 2024

Wawasan

Oleh: Drh. H. Baskoro Tri Caroko Bekerja adalah suatu keadaan yang diinginkan oleh semua orang. Kar....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah