Tauhid Lingkungan: Menyemai Gerakan Kultural untuk Merawat Semesta
Oleh: Hening Parlan
Syahadat adalah kalimat pembebasan. Ketika seorang Muslim mengucapkan “Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah,” maka ia tidak hanya bersaksi dengan lisan, tetapi juga meneguhkan kesetiaan pada nilai-nilai keesaan Tuhan. Tauhid bukan sekadar pengakuan bahwa Allah itu satu, tetapi juga kesadaran bahwa seluruh ciptaan—manusia, hewan, tumbuhan, air, dan udara—berada dalam satu kesatuan ciptaan Allah. Maka, merusak lingkungan sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap makna syahadat itu sendiri.
Dalam konteks inilah, hari ini, 26 Oktober 2024 saya berbicara di Pengajian Ranting Muhammadiyah Bintaro yang diselenggarakan di rumah Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, seorang tokoh dan pemikir Muhammadiyah yang disegani. Pengajian tersebut dihadiri sekitar tiga puluh peserta yang terdiri dari pengurus Muhammadiyah, Aisyiyah, serta anggota dan simpatisan.
Tema yang diminta panitia adalah Islam dan Lingkungan, namun saya spesifik mengambil tema Tauhid Lingkungan—sebuah gagasan yang menautkan iman, akal, dan tindakan ekologis. Saya sampaikan bahwa menjaga bumi adalah bentuk penghambaan kepada Allah—ibadah yang tak hanya diwujudkan dalam salat dan puasa, tetapi juga dalam upaya menjaga keseimbangan alam.
Diskusi dimulai dengan menjelaskan bahwa tauhid tidak berhenti di wilayah akidah, tetapi menuntut aksi nyata. Alam semesta adalah tanda-tanda kebesaran Allah SWT, dan manusia diberi amanah sebagai khalifah di bumi. Karena itu, menghormati dan merawat ciptaan Tuhan adalah wujud kesetiaan kepada-Nya.
Dari sana, percakapan berlanjut pada tantangan lingkungan masa kini: ketergantungan terhadap energi fosil yang mencemari, urgensi efisiensi energi dan transisi menuju energi surga (energi bersih dan berkeadilan), krisis pengelolaan sampah, kerusakan laut, perubahan suhu yang ekstrem, dan munculnya berbagai penyakit akibat rusaknya ekosistem. Saya sampaikan bahwa seluruh krisis itu bukan hanya akibat kesalahan teknologi, melainkan juga akibat krisis spiritual—putusnya kesadaran manusia atas keterhubungannya dengan alam.
Tanggapan peserta begitu beragam dan mendalam. Buchori Muslim, pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jakarta, mengungkapkan bahwa ia kesulitan mencari referensi lingkungan yang khas Muhammadiyah. Ia menilai perlunya pengembangan literatur dan narasi keislaman yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan, agar gerakan mahasiswa dapat berakar pada nilai-nilai Islam berkemajuan.
Sementara itu, Dr. Andar Nubawa menekankan pentingnya memberi ruang bagi generasi muda untuk membangun ecosociopreneurship—usaha sosial berbasis lingkungan yang berkeadilan. Menurutnya, dukungan kelembagaan dari Muhammadiyah amat penting agar ide dan kreativitas anak muda bisa tumbuh menjadi gerakan nyata.
Saya menyampaikan bahwa persoalan lingkungan adalah urusan seluruh dimensi kehidupan manusia. Karena itu, langkah-langkah menuju perubahan tidak bisa ditempuh secara linier dan birokratis. Gerakan struktural—kebijakan, peraturan, sistem—memang penting, namun sering kali rumit dan lamban. Sebaliknya, gerakan kultural mampu menyentuh akar kesadaran masyarakat: membangun nilai, mengubah cara pandang, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab spiritual terhadap alam.
Kita harus berpikir positif dan terus bergerak. Setiap langkah kecil bernilai jika berangkat dari niat ibadah: menghemat air, memilah sampah, menanam pohon, hingga menyuarakan keadilan ekologis di ruang publik. Semua itu bagian dari laku tauhid yang konkret.
Dalam diskusi, Prof. Dr. Ai Fatimah Nur Fuad dari UHAMKA mengingatkan bahwa kesadaran ekologis di Muhammadiyah belum mendapat ruang utama. Banyak kegiatan seperti Darul Arqam, AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan), maupun kegiatan KKN dan pengajian kampus, belum banyak memasukkan perspektif lingkungan. Padahal, isu ini bisa menjadi media dakwah yang sangat relevan bagi generasi muda. Pendidikan lingkungan berbasis nilai Islam perlu menjadi bagian integral dari kurikulum dan budaya akademik Muhammadiyah.
Saya menambahkan bahwa sejak 2015, Aisyiyah telah memulai kampanye Green Aisyiyah dengan semangat Eco Jihad. Gerakan ini kemudian dikembangkan bersama Pemuda Muhammadiyah, IMM, IPM, dan Nasyiatul Aisyiyah (NA). Bahkan, NA mengadopsi gerakan EcoBhinneka Muhammadiyah, yang menggabungkan nilai keberagaman, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan. Namun saya juga jujur mengakui, implementasinya belum sepenuhnya konsisten. Kadang naik, kadang turun, bahkan terlupakan. Banyak pihak masih terpaku pada kegiatan yang bersifat seremonial atau mercusuar. Padahal, gerakan lingkungan membutuhkan keberlanjutan, konsistensi, dan keberanian untuk bekerja di akar rumput.
Bagi saya, yang terpenting bukan seberapa besar acaranya, tapi seberapa dalam nilai agama yang terserap dalam tindakan. Gerakan lingkungan akan kuat jika bertumpu pada spiritualitas. Tanpa itu, ia hanya menjadi proyek tanpa jiwa.
Menutup pengajian, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim memberikan pesan yang sangat berharga: bahwa tidak perlu menunggu sistem atau struktur untuk bergerak. Gerakan lingkungan bisa dimulai dari bawah—dari kampus, sekolah, ranting, bahkan dari rumah-rumah jamaah. Gerakan kultural dan grassroot adalah kunci untuk menumbuhkan kesadaran ekologis yang otentik. Dan sebagai BPH Uhamka beliau mendukung agar kampus Uhamka segera mengimplementasikan kegiatan lingkungan di berbagai kegiatan.
Dan di akhir pertemuan, ada satu kalimat yang membuat saya terharu. Seorang senior Muhammadiyah Bintaro berkata, “Kalau seseorang bertauhid tapi tidak peduli lingkungan, itu sama saja seperti orang kafir.”
Kalimat itu menyentak kesadaran kami semua. Bahwa iman tanpa tanggung jawab ekologis adalah keimanan yang kering.
Lalu, seseorang menambahkan, “Hening, kenapa ini kebetulan pejuang lingkungan di Muhammadiyah ini Bernama Hening. Dan nama ‘Hening’ itu sendiri penuh makna—jernih, tenang, membawa kejernihan bagi gerakan ini, semoga tercapai cita - citanya.”
Saya menunduk, terharu. Ucapan itu bukan pujian, tapi doa. Semoga makna hening itu benar-benar hidup—menjadi sumber kejernihan, keteduhan, dan keteguhan untuk terus berjuang bagi bumi dan kemanusiaan, dan aku teringat Bapakku, Parlan - Al Fatihah.
Dari Bintaro hari ini, saya kembali percaya: bahwa Tauhid Lingkungan adalah jalan spiritual menuju peradaban berkemajuan yang rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi manusia dan semesta.
Hening Parlan, Wakil Ketua MLH PP Muhammadiyah, LLH PP ‘Aisyiyah dan Koordinator GreenFaith Indonesia


