Ramadhan sebagai Sekolah Prososial
Oleh: Gufron Amirullah, Dosen Uhamka/ Tenaga Ahli Wakil Menteri Kemdiktisaintek RI
Ramadhan Bulan Melatih Jiwa
Puasa Ramadhan 1446 H sebentar lagi akan berakhir. Kita dilatih memiliki pola pembiasaan menahan lapar dan haus dari fajar hingga waktu maghrib tiba. Ramadhan meredam dan menghadang tentara setan, amarah dan syahwat. Karena marah, manusia akan zalim kepada diri dan orang lain akibat ujub dan kesombongannya. Manusia dengan syahwat akan berjibaku dengan ketamakan dan kekikiran. Prof Haedar Nashir menyatakan, puasa Ramadhan harus mampu membangun sikap hidup tengahan dan tidak berlebihan. Urusan dunia, urusan agama harus dibawa ke titik tengah supaya tidak berlebihan. Karena sesuatu berlebihan sering menimbulkan masalah.
Ramadhan memberikan kesegaran hati menjadi tenteram dengan mengingat-Nya. Ramadhan juga membuat manusia bersandar pada kedekatan-Nya, munculah nafsu muthmainnah.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّة
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya,” (QS. al-Fajr : 27-28).
Kesempatan menjadi Pribadi Peduli
Menahan diri, hidup hemat, dan tidak boros buah dari esensi puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan dapat dijadikan sebagai ajang introspeksi. Lulusan madrasah Ramadhan akan lebih bijak menghindari hidup berlebihan. Tidak sepatutnya bagi kita yang memiliki kuasa untuk pamer kemewahan.
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ
Ramadhan menjadi sangat strategis untuk mentarbiyah diri dengan rasa empati dan kepedulian sosial yang membuncah, sebagaimana hadis Nabi SAW:
"Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan." (HR. Tirmidzi).
Hadis ini bukan sekadar anjuran, melainkan panggilan jiwa untuk berbagi, untuk meringankan beban sesama. Memberikan navigasi bahwa setiap insan wajib menjadi bagian dari solusi bagi permasalahan umat manusia yang memiliki aksesibilitas rendah.
Hal ini menjadi titik temu di tengah gemuruh dunia yang sering kali menenggelamkan empati, Ramadhan hadir sebagai oase, tempat hati kita disegarkan dengan nilai-nilai islami. Menahan diri dari segala bentuk nafsu, belajar hidup hemat, dan menjauhi perilaku boros adalah wujud nyata dari transformasi diri yang diidamkan.
Empati adalah bahasa universal yang mampu meruntuhkan tembok ketidakpedulian, bahasa yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan jiwa untuk berbuat kebaikan. Di tengah penderitaan saudara-saudara kita yang kurang beruntung, empati adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan mereka, jembatan yang mengantarkan kita pada tindakan nyata untuk meringankan beban mereka.
Ramadhan bukanlah sekadar kenangan indah yang berlalu tanpa bekas, melainkan titik awal dari perubahan nyata. Kepedulian adalah investasi abadi di jalan kebaikan, investasi yang akan memberikan keuntungan berlipat ganda, baik di dunia maupun di akhirat. Memberi senyum dan mengulurkan tangan adalah menanam benih-benih kebaikan, yang tumbuh subur dan bermanfaat bagi banyak orang.
Ramadhan: Madrasah Empati dan Kendali Diri
Perilaku pada manusia bukanlah sesuatu yang bersifat tetap dan tidak dapat berubah. M. Babcock (Kollmuss dan Agyeman, 2002) mengemukakan bahwa perubahan perilaku individu tidaklah mudah dan dipengaruhi oleh berbagai faktor penghambat. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kebiasaan yang sudah mengakar dan ketidaknyamanan ketika mencoba perilaku baru. Menurut Babcock bahwa, cara terbaik untuk mengubah norma-norma dan perilaku adalah melalui pendidikan. Bulan suci Ramadhan menjadi momentum strategis dalam mentransformasi diri melalui pendidikan perilaku prososial yang terarah.
Prososial merupakan sebagai bentuk perilaku yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Perilaku prososial merupakan respons proaktif dan reaktif terhadap kebutuhan orang lain yang berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Grusec, Joan E., Hastings, 2015).
Perilaku prososial membuka ruang mengikis pola hidup individualis di bulan Ramadhan. Kebiasaan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kesenangan pribadi dan keluarga tercerahkan dengan sapuan kasih Allah. Ramadhan bukan sekadar tirai yang memisahkan kita dari nikmat duniawi, melainkan jendela yang membuka lebar kesadaran akan penderitaan sesama. Saat perut kita merintih, dahaga mengeringkan kerongkongan, di situlah kita mulai menapaki jalan sunyi yang dilalui saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Puasa adalah guru yang mengajak kita keluar dari zona nyaman, merasakan sendiri getirnya kekurangan, agar empati bersemi di dalam kalbu. Empati ini bukan sekadar bisikan kasihan, melainkan gelombang aksi nyata, dorongan kuat untuk meringankan beban, berbagi rezeki, dan menyebarkan benih kebaikan.
Puasa Ramadhan adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan sesama, meruntuhkan tembok egoisme dan ketidakpedulian. Melalui puasa, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari limpahan materi, melainkan dari kemampuan kita untuk berbagi, peduli, dan menjadi bagian dari solusi permasalahan umat manusia.
Dengan merasakan sendiri penderitaan, kita tidak hanya memahami, tetapi juga tergerak untuk menulis ulang kisah kehidupan. Puasa mengajarkan kita bahwa setiap suapan yang kita nikmati adalah anugerah, setiap tetes air yang kita minum adalah nikmat yang patut disyukuri. Semoga puasa kita bukan sekadar ritual tahunan, melainkan titik awal dari perjalanan panjang dalam menebar kebaikan dan kepedulian.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya : “Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa. Dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al-Maidah: 2)
Ramadhan: Oasis Kepedulian yang Mengalirkan Berkah
Di setiap sudut masjid, selama Ramadhan yang penuh berkah, terhampar pemandangan yang menyejukkan hati: hidangan berbuka puasa yang disajikan dengan penuh cinta dan keikhlasan. Pemandangan ini seolah mengembalikan ingatan kita pada sosok mulia, Abdurrahman bin Auf, salah satu as-sabiqun al-awwalun, generasi awal yang bergegas menyambut seruan kebenaran. Beliau, yang dahulunya dikenal sebagai Abdu Amru, adalah sahabat yang kedermawanannya melampaui batas.
Kisah sahabat Abdurrahman bin Auf, yang tumbuh subur kekayaannya berkat keberkahan sedekah, menjadi saksi bisu kemuliaan hatinya. Bahkan, penduduk Madinah berseloroh bahwa mereka semua adalah mitra dagangnya. Bagaimana tidak, sepertiga hartanya dipinjamkan tanpa riba, sepertiga lainnya digunakan untuk melunasi utang-utang mereka yang kesulitan, dan sepertiga sisanya dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Kedermawanan ini bukan sekadar memberi, tetapi juga memberdayakan, mengangkat harkat dan martabat sesama.
Di setiap suapan kurma dan seteguk air zamzam yang kita nikmati di masjid-masjid Ramadhan, tersemat teladan Abdurrahman bin Auf. Beliau mengajarkan kepada kita bahwa harta bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk meraih ridha Ilahi dengan berbagi kepada sesama. Semoga semangat kedermawanan beliau terus menginspirasi kita, tidak hanya di bulan Ramadhan, tetapi sepanjang hayat.
Setelah Ramadhan Berlalu
Tantangan terbesar di akhir Ramadhan yang membentang adalah : Bagaimana menjaga nyala api kepedulian ini agar tak redup setelah Ramadhan berlalu. Akankah kita kembali pada rutinitas, membiarkan semangat berbagi tergerus kesibukan duniawi? Teringat pesan Rasulullah SAW, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain." (HR Ath-Thabari).
Oleh karena itu, penting rasanya menjadikan kebaikan Ramadhan bukan sekadar riak musiman. Habit prososial bisa dilakukan sehari-hari dengan cara memulai dari hal-hal kecil. James Clear dalam buku Atomic Habits (2014) menyatakan bahwa kebiasaan manusia dipengaruhi oleh lingkungan dan pola yang diulang secara teratur. Berikutnya James Clear menyatakan bahwa tindakan kecil yang dapat dilakukan setiap hari memungkinkan individu untuk mengubah identitas dan mengembangkan kebiasaan yang lebih positif. Luangkan waktu mendengar keluh kesah tetangga, berikan senyum penuh kasih bagi mereka yang merasa terasing, dan membantu orang yang memiliki kesulitan adalah beberapa cara praktis merawat nilai prososial dalam diri.
Setiap kita memiliki peran besar dalam merawat semangat prososial. Membuat program-program berkelanjutan dan bukan sekadar aksi sesaat menjadi catatat untuk merawat perilaku prososial. Ramadhan dapat kita jadikan titik awal, bukan akhir dari perjalanan kebaikan. Dengan begitu, kepedulian akan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kita, mengalirkan berkah sepanjang hayat, meneladani indahnya akhlak Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Artinya: “Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”. (QS al-Baqarah: 197)
Ramadhan yang cahaya-Nya berkilauan,
Hati yang lama tertidur, kini terbangunkan,
Keberkahan jiwa yang haus, kini terpuaskan,
Derajat tertinggi di sisi Allah, kini diraihkan.