Tipologi Kader Muhammadiyah dan Regenerasi Kepemimpinan
Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/ Ketua PDM Jakarta Timur
Muhammadiyah sejak awal berdirinya bukan sekadar organisasi dakwah dan pendidikan, melainkan sebuah gerakan kader. KH Ahmad Dahlan menyadari betul bahwa keberlanjutan dakwah tidak bisa hanya bergantung pada figur karismatik, tetapi pada sistem kaderisasi yang mampu melahirkan generasi penerus yang ideologis, kompeten, dan berintegritas. Karena itu, kaderisasi menjadi “nadi” yang menghidupkan gerak Muhammadiyah lintas zaman.
Namun, seiring bertambahnya usia organisasi yang telah lebih dari satu abad, realitas kader Muhammadiyah menjadi semakin beragam. Muhammadiyah tidak lagi dihuni oleh satu tipe kader yang seragam, namun telah berkembang menjadi rumah besar dengan beragam latar belakang sosial, kultural, bahkan ideologis. Dari sinilah lahir berbagai tipologi kader, baik yang tumbuh secara alami dari keluarga Muhammadiyah, yang ditempa melalui organisasi otonom, yang masuk melalui jalur profesional di amal usaha, maupun yang berasal dari luar Muhammadiyah dan kemudian “dinaturalisasi” menjadi kader dan bahkan elite persyarikatan.
Tulisan ini mencoba membaca secara kritis sekaligus reflektif empat tipologi kader Muhammadiyah yang kini hidup berdampingan yaitu kader biologis, kader ideologis, kader pekerja, dan kader naturalisasi. Tipologi ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami dinamika internal Muhammadiyah dalam menjaga kesinambungan gerakan di tengah perubahan sosial yang kian kompleks.
Tipologi pertama yang paling mudah dikenali adalah kader biologis, yakni mereka yang lahir dan tumbuh dari keluarga Muhammadiyah. Sejak kecil, kader jenis ini telah akrab dengan pengajian Muhammadiyah, sekolah Muhammadiyah, masjid Muhammadiyah, bahkan istilah-istilah khas seperti tajdid, amar makruf nahi munkar, dan Islam berkemajuan.
Dalam banyak kasus, kader biologis memperoleh “modal sosial” yang sangat kuat. Mereka mewarisi jejaring, kepercayaan, dan legitimasi simbolik dari orang tua atau keluarga besar yang telah lama berkhidmat di Muhammadiyah. Tidak jarang, nama keluarga menjadi “pintu masuk” ke ruang-ruang kepemimpinan persyarikatan.
Namun, kelebihan ini sekaligus menyimpan potensi problem. Kader biologis berisiko terjebak dalam “pokoknya” Muhammadiyah, yakni menganggap Muhammadiyah sebagai identitas yang otomatis melekat, bukan pilihan ideologis yang disadari. Ketika Muhammadiyah diwarisi seperti nama keluarga, semangat kritis dan kesadaran ideologis bisa melemah.
Di sinilah tantangan utama kader biologis untuk mengubah warisan biologis menjadi kesadaran ideologis. Darah Muhammadiyah harus diiringi dengan pemahaman ideologis dan kesiapan berkhidmat. Tanpa itu, kader biologis hanya akan menjadi pewaris struktural, bukan penggerak ide dan pembaru gerakan.
Berbeda dengan kader biologis, kader ideologis adalah mereka yang “menjadi Muhammadiyah” melalui proses panjang kaderisasi. Mereka tumbuh dari organisasi otonom seperti IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Hizbul Wathon, atau Tapak Suci. Muhammadiyah bagi mereka bukan warisan, melainkan pilihan.
Kader ideologis biasanya memiliki kelekatan emosional dan intelektual yang kuat terhadap Muhammadiyah. Mereka mengenal persyarikatan melalui diskusi, pelatihan, pengkaderan, dan pergulatan pemikiran. Ideologi Muhammadiyah tidak datang secara instan, tetapi dibentuk melalui proses dialektika antara teks, konteks, dan realitas sosial.
Kekuatan utama kader ideologis terletak pada kesadaran gerakan. Mereka relatif tahan banting, memiliki militansi, dan memahami Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid, bukan sekadar organisasi administratif. Karena itu, banyak motor perubahan Muhammadiyah lahir dari kader tipe ini.
Namun, kader ideologis juga menghadapi tantangan tersendiri. Militansi yang tinggi terkadang berubah menjadi eksklusivisme, bahkan romantisme masa lalu. Ada kecenderungan merasa “lebih Muhammadiyah” dibanding kader lain. Jika tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan keluasan pandangan, kader ideologis bisa terjebak dalam konflik internal dan kelelahan struktural.
Tipologi ketiga yang semakin dominan adalah kader pekerja, yakni mereka yang masuk ke Muhammadiyah melalui jalur profesional sebagai karyawan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti guru, dosen, tenaga kesehatan, manajer rumah sakit, staf administrasi, dan sebagainya.
Secara kuantitas, kader pekerja adalah tulang punggung Muhammadiyah hari ini. Ribuan sekolah, ratusan rumah sakit, dan berbagai unit usaha Muhammadiyah tidak mungkin berjalan tanpa mereka. Namun, secara kualitatif, posisi kader pekerja sering berada di wilayah abu-abu antara profesi dan ideologi.
Sebagian kader pekerja memiliki kesadaran ideologis yang kuat dan menjadikan profesi sebagai ladang dakwah. Tetapi tidak sedikit pula yang memandang AUM semata sebagai tempat bekerja, bukan ruang pengabdian. Muhammadiyah hadir sebatas logo di seragam, bukan nilai yang diinternalisasi. Bahkan ada pekerja AUM yang tidak mau berkontribusi untuk aktif di persyarikatan.
Di sinilah tantangan besar Muhammadiyah ke depan: bagaimana menjadikan kader pekerja sebagai kader ideologis tanpa mengorbankan profesionalisme. Kaderisasi tidak boleh berhenti pada pelatihan administratif, tetapi harus menyentuh dimensi nilai dan visi gerakan.
Jika kader pekerja berhasil diintegrasikan secara ideologis, Muhammadiyah akan memiliki sumber daya manusia yang luar biasa kuat yaitu profesional sekaligus ideologis. Sebaliknya, jika gagal, Muhammadiyah berisiko mengalami “korporatisasi tanpa ruh”.
Tipologi terakhir yang semakin sering muncul adalah kader naturalisasi, yakni mereka yang berasal dari luar Muhammadiyah baik dari latar belakang organisasi Islam lain, birokrasi, akademisi, profesional, maupun aktivis yang kemudian direkrut atau “ditarik” menjadi pengurus Muhammadiyah. Kader naturalisasi biasanya memiliki keunggulan pada aspek kompetensi, jejaring, dan pengalaman. Kehadiran mereka sering kali dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan Muhammadiyah, terutama di level strategis.
Namun, kader naturalisasi juga membawa tantangan serius. Tanpa proses internalisasi ideologi yang memadai, mereka berisiko menjadi elite teknokratik yang miskin perspektif Muhammadiyah. Bahkan, dalam beberapa kasus, kader naturalisasi justru membawa nilai dan budaya organisasi sebelumnya ke dalam Muhammadiyah.
Karena itu, naturalisasi kader harus disertai dengan proses inkulturasi ideologis. Muhammadiyah perlu terbuka, tetapi tetap selektif. Inklusivitas tidak boleh mengorbankan identitas. Naturalisasi yang sehat adalah yang memperkaya gerakan, bukan mengaburkan arah.
Keempat tipologi kader tersebut sejatinya bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk disinergikan. Muhammadiyah justru akan kuat jika mampu mengelola keberagaman kader secara cerdas.
Kader biologis menyumbang kesinambungan tradisi, kader ideologis menjaga ruh gerakan, kader pekerja memastikan keberlanjutan amal usaha, dan kader naturalisasi memperluas kapasitas dan jejaring. Tantangannya adalah membangun ekosistem kaderisasi yang adil, terbuka, dan berorientasi nilai.
Kaderisasi Muhammadiyah ke depan tidak cukup hanya mengandalkan jalur struktural, tetapi harus menjadi proses kultural yang hidup di seluruh lini persyarikatan. Ideologi harus dibumikan tanpa menjadi dogma, dan profesionalisme harus dirawat tanpa kehilangan orientasi dakwah.
Muktamar Muhammadiyah sejatinya bukan hanya forum lima tahunan untuk memilih pimpinan, melainkan cermin paling jujur dari wajah kaderisasi Muhammadiyah. Di sanalah seluruh tipologi kader mulai biologis, ideologis, pekerja, hingga naturalisasi bertemu, bernegosiasi, bahkan berkompetisi dalam satu ruang politik-keumatan yang kompleks.
Regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme elektoral Muktamar, melainkan harus dirancang jauh hari melalui ekosistem kaderisasi yang berlapis dan berkeadilan. Beberapa prinsip yang perlu ditegaskan dalam proses regenrasi kepemimpinan ini.
Pertama ideologi sebagai fondasi, bukan aksesori. Siapa pun tipologi kadernya apakah biologis, pekerja, atau naturalisasi harus melalui internalisasi ideologi Muhammadiyah secara serius dan berkelanjutan. Prinsip kedua ialah menjadikan Ortom sebagai Kawah Candradimuka, bukan sekadar formalitas. Organisasi otonom perlu kembali diposisikan sebagai jalur utama regenerasi kepemimpinan, bukan sekadar ruang aktivisme sementara.
Ketiga, menjadikan AUM sebagai ruang kaderisasi, bukan sekadar korporasi. Amal usaha harus menjadi laboratorium nilai Muhammadiyah, bukan hanya institusi profesional yang steril dari ideologi. Keempat, naturalisasi yang selektif dan terbimbing. Keterbukaan Muhammadiyah harus diiringi dengan proses kaderisasi yang ketat, agar pembaruan tidak berubah menjadi pengaburan identitas.
Pada akhirnya, masa depan Muhammadiyah sangat ditentukan oleh bagaimana persyarikatan ini merawat kader-kadernya. Tipologi kader hanyalah alat baca, bukan label permanen. Seorang kader biologis bisa menjadi ideologis, kader pekerja bisa menjadi militan, dan kader naturalisasi bisa menjadi penggerak tajdid asalkan ada kesungguhan untuk melakukan kaderisasi secara internal.
Muhammadiyah yang besar bukanlah Muhammadiyah yang sekadar memiliki banyak amal usaha, tetapi Muhammadiyah yang mampu melahirkan kader-kader yang berpikir, bekerja, dan berjuang untuk kemajuan umat dan bangsa. Di situlah makna sejati kaderisasi sebagai denyut nadi gerakan Islam berkemajuan.

