YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Menuju target Net Zero Emission 2060, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara produksi polusi dengan daya serap lingkungan. Menurut dosen Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ir. Tony Khristanto Hariadi, M.T., IPM., upaya tersebut membutuhkan strategi komprehensif yang mencakup sektor industri, transportasi, hingga perubahan gaya hidup masyarakat sehari-hari.
“Net Zero pada dasarnya adalah keseimbangan antara polusi yang dihasilkan aktivitas manusia dengan kemampuan lingkungan menyerapnya, khususnya karbon. Jika polusi lebih besar daripada daya serap, maka kerusakan lingkungan akan semakin parah,” ujar Tony saat ditemui di ruang kerjanya, Sabtu (27/9).
Ia menjelaskan, terdapat dua strategi utama untuk mencapai hal itu, yakni mengurangi produksi polusi atau meningkatkan daya serap lingkungan. Namun keduanya tidak lepas dari tantangan.
“Kalau ingin meningkatkan serapan, berarti harus menanam hutan atau reboisasi. Namun, pertumbuhan penduduk juga menuntut lahan untuk perumahan dan kebutuhan lainnya. Sedangkan untuk mengurangi polusi, salah satunya adalah dengan pengendalian emisi, misalnya melalui industri hijau dan peralihan dari kendaraan pribadi ke transportasi umum,” terangnya.
Sektor transportasi dinilai memiliki peran krusial. Data menunjukkan transportasi menyumbang sekitar 27 persen emisi udara, berada di urutan kedua setelah industri. Karena itu, peralihan moda transportasi dipandang sebagai langkah strategis.
“Kalau kita beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, penurunan emisi bisa mencapai 40–45 persen. Angka ini sangat signifikan. Sayangnya, transportasi umum kita masih belum reliable, sering terlambat dan tidak konsisten, sehingga masyarakat enggan berpindah,” jelas Tony.
Meski demikian, transformasi transportasi ramah lingkungan tidak cukup hanya dari sisi layanan. Sumber energi yang digunakan juga perlu diperhatikan. Saat ini, sebagian besar kendaraan umum di Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil. Peralihan ke kendaraan listrik kerap disebut sebagai solusi, namun tetap memiliki tantangan tersendiri.
“Mobil listrik bukan berarti tanpa masalah. Produksi baterai menumbuhkan industri baru yang juga menghasilkan polusi, ditambah lagi persoalan limbah baterai yang dampaknya belum jelas dalam 10–20 tahun ke depan. Solusi yang lebih efektif adalah transportasi umum berbasis listrik tanpa baterai. Selama listriknya bersumber dari energi hijau, dampaknya akan sangat besar dalam menekan polusi,” paparnya.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, perguruan tinggi memiliki peran penting untuk mendorong perubahan perilaku dan inovasi energi bersih. Tony menyebut civitas akademika dapat turut mendukung upaya pemerintah mencapai Net Zero. UMY sendiri beberapa kali telah menggelar Carbon Footprint Reduction Campaign untuk mengedukasi dan mengajak masyarakat beralih ke transportasi ramah lingkungan seperti sepeda.
Selain itu, menurut Tony, kampus juga perlu menyediakan fasilitas pendukung, seperti koridor pejalan kaki yang nyaman, jalur sepeda yang aman, serta area parkir di pinggir kampus agar kendaraan pribadi tidak mendominasi area utama. Ia menilai langkah kecil semacam ini akan memberi dampak nyata jika dijalankan secara konsisten. (NF)