Tuah Bangsa; Antara Arogansi Atau Kelemahan Elite Islam

Publish

8 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
144
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Tuah Bangsa; Antara Arogansi Atau Kelemahan Elite Islam

Oleh: Saidun Derani, Kyai Kampung mengajar di UM-Surabaya dan UIN Syahid Jakarta, selain aktivis PWM Banten.

Kata tuah bermakna sakti, keramat, mendatangkan keberuntungan dan keselamatan, memengaruhi atau memberkati supaya baik, keistimewaan, keunggulan, kehormatan dan kemasyhuran. Dapat juga diartikan (Minang) nasib baik, keberuntungan atau anugrah yang diterima seseorang. Kalau digabungkan dengan kata Sakato bermakna bekerja keras atau berusaha dengah bersungguh-sungguh.

Sedangkan di masyarakat Jawa sampai sekarang masih hidup kepercayaan akan adanya anak atau pusaka yang bertuah dan sial; yang sial mendatangkan malapetaka, kata Prof. Slamet Mulyana (2005, 123-124). Dan watak bertuah dan sial ini terutama dikaitkan dengan pusaka keris, burung perkutut, dan cabang bayi. Untuk mengetahui watak itu, pemilik atau calon pemilik mencari sasmita  dengan jalan “Tajuh”.

Tajuh masih banyak dilakukan sampai sekarang dalam masyarakat Hindu Jawa. Jalannya dengan cara mengheningkan cipta yang ditujukan kepada benda yang ingin diketahui wataknya. Jika orang menajuhkan keris, maka keris itu diletakkan di atas kajang tidur. Sesudah dua atau tiga malam, penajuh akan bermimpi. Isi mimpi itu berupa sasmita tentang watak kris yang bersangkutan. 

Tuah sendiri diartikan dengan untung, sakti, keramat, berkah (pengaruh) yang mendatangkan keselamatan, kebahagiaan, dsb, keunggulan, gengsi, kemasyhuran, kata Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)(1993, 1090-1091), yang nir  tentang pemahaman keagamaan itu.

Dalam konteks Islam yang menjadi anutan dan keyakinan mayoriti warga negara Indonesia masalah-masalah semacam ini sudah ada pedoman dan arahnya. Demikian juga dengan masyarakat modern dan pembelajar (kaum intelektual) hal-hal seperti ini selalu dhitung dengan cara berfikir Sunnatullah (nature of law). 

Sehingga dalam alam modern seperti sekarang ini agak aneh memang di Indonesia di mana masyarakatnya bahkan elitenya masih ke Gunung Kawi dikaitkan dengan urusan Pilpres, Pilkada, naik pangkat, penglaris dagangan dan seterusnya. Yah seperti itulah antara percaya dan tidak percaya kehidupan Masyarakat Indonesia modern sekarang ini.

Tulisan ini mencoba mencari akar masalahnya mengapa ampe sekarang pesan pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan (w. 1923), dan Pendiri Nahdhatul Ulama KH. M. Hasyim Asy’ari (w. 1947), selain dorongan tokoh spiritual Iran supaya umat Islam bersatu belum terwujud dalam dunia politik dan ekonomi di bumi Pertiwi yang tercinta ini. Bukankah kehancuran, kekalahan dan kegagalan umat Islam berawal dari berkonflik internal sesama mereka bisa karena faktor arogansi dan bisa juga karena faktor kelemahan elitenya.

Harapan Chairul Tanjung

Ungkapan tuah ini disampaikan Chaerul Tanjung  (CT) seoarang Taipan Muslim yang cukup terpandang dijagad nasional, ketika memberi testimoni pada peringatan ulang tahun Dr. Buya  Anwar Abbas, MM, M.Ag usia yang ke-70 tahun sekaligus louching tiga buku yang diterbitkan “Suara Muhammadiyah” yaitu “Biografi Buya Anwar Abbas”, lalu “ Respon Anak Kampung Untuk Umat, Bangsa, dan Dunia”. Dan terakhir adalah sebuah memories berjudul “Tuhan Tidak Tidur” yang diinisiasi sebuah team diketuai Prof. Sudarnoto Abdul Hakim dengan para anggotanya adalah Saidun Derani, Dr. M. Farid Hamzen, dan Dr. Affrizon Safri, M. Si. Sayang penerbit terlupakan mencantumkan team ini yang sudah bekerja sejak 15 Februari 2024 sampai dengan 15 Februari 2025 bertempat di Aula Cendikia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Sabtu, 15 Februari 2025. Manusiawi saja karena manusia adalah tempat lupa dan kekhilafan.

Kebertuahan Indonesia Merdeka itu sebagaimana disampaikan CT di atas akan wujud adanya kalau Muhammadiyah (MU) dan Nahdhatul Ulama (NU), dua ormas Islam mainstream di Indonesia,  bersyerikat dan berkolaborasi  di Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pilkada (Pemilu Kepala Daerah) maka selesailah urusan Umat Islam dan Bangsa Indonesia yang carut marut seperti sekarang ini. 

Laporan “East Asia and The Pasific Economic Update October 2022”, menyebutkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara yang masuk di daftar  100 negara termiskin seperti Vietnam urutan ke-82, Filipina ke-72, Kamboja ke-46, Myanmar ke-45 dan Timor Leste ke-29. Data Bank Dunia (BD) bahkan merilis kemiskian akut rakyat NKRI sampai 62, 8 % sekitar 194 juta jiwa (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220930123851-100-negara-paling-miskin-di-dunia). Diduga kuat jamaah MU dan NU yang menderita kemiskinan akut ini.

Emang sih menyedihkan membaca angka-angka di atas di tengah sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang subur dan kaya melimpah ruah. Akan tetapi kenyataan rakyatnya hidup susah dan keblangsak. Apa masalahnya sehingga demikian parah bangsa ini dalam hal kesejahteraan ekonomi.

Kemudian pemikiran CT di atas  disahuti dan diresponi dengan candaan ala Nahdhiyin diwakili Dr. KH. Kholil Nafis, kelahiran Madura, dengan menyebutkan bahwa kolaborasi itu  mengambil model MUI tentang mengapa begitu penting masalah wujudnya penyatuan secara politis dan ekonomis umat Islam di Indonesia.

Jauh sebelum testimoni CT sebenarnya Pimpinan Republik Islam Iran telah berpesan ketika Presidennya dijabat oleh Mahmud Ahmadinejad tahun 2005-2013 bahwa cobalah kedua ormas Islam itu-MU-NU- bersatu dalam Pilpres dan Pilkada diharapkan umat Islam akan jauh lebih berperan untuk memajukan bangsa Indonesia sebagaiman telah dicontohkan Kerajaan-Kerajaan Islam pra-kemerdekaan sebelum Indonesia memilih menjadi Nation State tahun 1945.

Tiang Pancang NKRI

Bumi Darus Salam dimaknai dengan bumi yang diberkati dengan gemah ripah loh jenawi dan aman tentram lahir batin para penghuninya. Istilah ini diambil dari Khazanah Islam Rumah Kedamaian. Sebagai contoh adalah nama Kerajaan Aceh disebut dengan “Aceh Darus Salam”, Kerajaan yang Aman dan Damai. 

Dan pada umumnya Kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Nusantara mulai dari ujung Barat sampai Timur selalu dikaitkan dengan kata “Darus Salam”. Sebutlah seperti Kerajaan IslamTernate, Demak, Cirebon, Banten, Mataram, Palembang, Jambi, Pasai, dan Pontianak sebagai permisalan. 

Dan inilah yang diaminkan oleh Prof. Azyumardi Azra (w. 2022) dalam bukunya “Islam Nusantara” terbitan tahun 2002 di mana simbol-simbol Islam menjadi kreatur kerajaan-kerajaan Islam Nusantara seperti yang penulis sebutkan di atas. Dan simbol ini tidak hanya terlihat pada situs kerajaan saja akan tetapi menjadi icon perlawanan untuk membebaskan negeri Nusantara dari penjajahan asing. Dan simbol ini sangat fenomenal ketika menjadi api pembakar ketika terjadi perlawanan pada 10 Nopember 1945 di Surabaya dengan pekikan Bung Tomo “Allah Akbar”.

Tak ada sedikit pun yang meragukan perlawanan yang dipimpin Pangerang Diponogoro (w. 1855) yang nama lengkapnya adalah Bendara Raden Mas Mustahar dikenal dengan Perang Jawa (1825-1830) selama lima tahun sangat merugikan dari aspek keuangan negara dan tantara Belanda. Yang menjadi masalah adalah penulisan Sejarah Nasional mazhab kolonial menyebutkan bahwa perlawanan ini muncul karena persoalan pribadi Sang Pangeran. 

Penulisan sudah membantah masalah ini didasarkan data baru ditemukan bahwa motive perlawanan ini karena faktor nasionalism sebagai Raja Jawa di mana rakyatnya mengalami kerusakan akhlak yang sangat parah dan penderitaan yang luar biasa hebatnya akibat kebebasan penjualan candu (narkoba) yang diberikan Belanda kepada Pedagang Cina dan pajak jalan yang dikuasakan kepada swasta (lihat Saidun Derani, Nasionalisme Bangsa: Manafsir Ulang Perang Diponogoro (https://www.trasberita,com/nasionalisme-bangsa-menafsir-ulang-peristiwa-perang-diponogoro)

Jika merunut ke belakang 80 tahun yang lalu, tepatnya 22 Oktober 1945, para ulama dipimpin Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari di Jombang, Jawa Timur, melakukan musyawarah bersama utusan Praklamotor Soekarno- Hatta, Jend. Soedirman, seorang alumni Guru dan Pelatih Hizbul Wathon (HW) Muhammadiyah, untuk menyelamatkan Proklmasi yang belum lama diproklamirkan. NICA Belanda yang dibonceng pasukan Sekutu dipimpin Inggris melakukan provokasi dan ingin menganeksasi kembali Indonesia.

Salah satu keputusan musyawarah itu bahwa NKRI adalah negara Dar al-Islam dilihat dari jumlah penduduknya. Dan karena Dar al-Islam, maka seluruh umat Islam wajib membela dan mempertahankan tumpah darah NKRI dari rongrongan negara lain, apatah lagi dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Perhatikan juga karya peneliti Amerika,  Kewin W. Fogg, “Indonesia’s Islamic Revolution”, tahun 2020, walaupun tak semua pendapatnya penulis aminkan dan hasil penelitian Saidun Derani, dkk ,” Hizbullah: Kontribusi Untuk NKRI” tahun 2021. Kedua studi ini memperlihatkan betapa dahsyat pengaruh atau dampak fatwa “Rosolusi Jihad” tahun 1945 itu terhadap umat Islam dalam membela dan mempertahankan proklamasi NKRI sehingga Belanda terpaksa duduk di meja perundingan yang berujung pada pengakuan international terhadap Kemerdekaan Indonesia.

Dalam konteks inilah kita memahami fatwa Mbah Hasyim bahwa tanah, air dan udara harus dikelola umat Islam (Indonesia secara umum yang dipercayakan kepada pemeriantah yang syah) dan jangan dipercayakan kepada bangsa asing mengelolanya karena memang bumi NKRI adalah milik umat Islam. Dan ini jelas terpatri dalam UU Dasar 1945 pasal 33, bahwa seluruh kekayaan NKRI harus diurus dan dipergunakan seluas-luasnya bagi kepentingan bangsa.

Belum lagi perjuangan rakyat Sumatera diwakili Aceh Dar as-Salam (1873 sd 1904), Sumatera Barat (1803 sd 1838), Sumatera Selatan (1942 dan tahun 1947), Rakyat Kalimantan 1859 sd 1906), Sulawesi Selatan (Perang Makasar 1666-1669, Perang Tondano 1661-1664 dan 1808-1809),Perang Bone (1824, dan 1859-1860), Perang Maluku Utara Pattimura (1817), Perang Rakyat Ternate (1550-1588), Perang Rakyat Tidore ( 1529 dan tahun 1536) melawan penjajahan asing di bumi Nusantara.

Paparan di atas penulis pikir cukuplah memberi bukti betapa hebat dan antusiaisme kaum Muslim Nusantara dalam mempertahankan kedaulatan tanah tumpah darah mereka dan ketika masa-masa krusial Indonesia membutuhkan persatuan Kerajaan-kerajaan Islam ini Bersatu menjadi bagian dari NKRI karena percaya akan dipimpin dengan baik dan benar. Menegakkan keadilan dan mensejahterakan rakyat tanpa pandangan ras dan agama (lihat Mosi Integral Moh. Natsir, 3 April 1950).

Fakta NKRI  

Pada tulisan dengan judul “Politik Oligarki dan Masa Depan Pancasila”, 13 Desember 2021 di Trasberita,  penulis telah mengatakan dengan menukil pernyataan Ir. Ciputra bahwa Asset NKRI dimiliki sebagian besar kelompok tertentu yang beliau contohkan salah satunya pada kepemilikan poperti.

Secara teoritis bahwa kelompok yang menguasa asset bangsa maka kelompok itulah yang akan mengatur perjalanan bangsa itu. Bukan para Gubes, Doktor, DPR, Legislatif, Eksekutif, Tokoh Agama, Akademisi, Polri, dan TNI. Bagaimana pula dengan kepemilikan minerba dan manufacktur yang lain.

Lalu menurut Ketua MUI Buya Anwar Abbas jika terjadi kepemilikan asset bangsa sebagian besar hanya dipegang sekelompok etnis dan atau orang tertentu saja, maka ada kecendrungan terjadi tirani minoritas yang akan menimbulkan persoalan bangsa yang serius. 

Dalam hubungan inilah menurut sebagian besar pendapat peserta diskusi di atas bahwa kelemahan umat Islam di atas  akibat dosa kolektif yang tidak menjalankan amanah yang Allah berikan kepada mereka. Solusinya adalah meminta ampunan Allah dari segala dosa yang pernah dilakukan baik tampak nyata maupun yang tersembunyi, dan kedua, mengharap ridha, rahmat, barokah anugrah,  dan kasih sayang Allah Swt.

Mengapa demikian bahwa Allah telah menitipkan kepada umat Islam amanah (air, darat dan udara) supaya dikelola dengan  baik dan benar. Kenyataan di masyarakat ketiga titipan itu dijual dan dimiliki umat yang lain. 

Perhatikan bangunan-bangunan bersifat kantoran bisnis dan sosial yang ada di kota-kota besar  NKRI, khususnya yang ada di wilayah Jabodetabek misalnya dan sekarang tanah Ibu Kota Nusantara siapa ownernya.  Bukankah ini merupakan salah satu titipan Allah kepada umat Islam yang sekarang sudah berpindah tangan. Menyedihkan. Belum lagi asset bangsa yang lain baik liquid dan non-liquid dikuasai hanya 5 % kelompok  tertentu. Mengkhawatirkan masa depan bangsa ini, tegas Ir. Ciputra.

Sebenarnya dalam Rahim Ibu kita berjanji kepada Allah akan menjaga Amanah itu (Al-‘Araf: 172).  Sebab itu Allah mendorong supaya pemeluk Islam   sebagai Khalifah untuk merawatnya. Tidak berbuat kerusakan  di muka bumi. Tidak menzalimi  diri sendiri dan  keluarga. Tidak melalaikan kewajiban sebagai warga negara karena NKRI ini milik  umat Islam. 

Fakta integritas di atas  wujud dan bentuknya supaya menjaga, memelihara, lalu mengembangkan  (dalam arti luas) agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Kelima hal itu wajib diikhtiarkan menjadi sebuah keharusan untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrowi (sa’adatuddaraini) sebagai tujuan bergama Umat Islam.  

Inilah hajat yang sering diminta Nabi Muhammad dalam Surah Al-Baqarah, ayat 201: “ Ya Rabb berikanlah kami kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di Akhirat” ketika ditanya sahabat Abu Darda doa apa yang sering dibaca (w. 625). Ini artinya Allah Swt melarang Umat Islam loba hutang di dunia dan miskin pula kehidupan Akhirat.

Makna surat Al-‘Araf ayat 172 di atas  Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci. Sebenarnya kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan atau Majusi. Hadis ini memberi warning (peringatan) kepada kita bahwa melahirkan anak itu susah  dan akan lebih susah lagi memeliharanya. 

Memelihara di sini diartikan  mendidik imannya  menjadi kuat dan wajib diberi ilmu pengetahuan yang luas. Alquran mengatakan : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan ilmu beberapa derajat”  (al-Mujadilah, ayat 11). Jadi beriman dan berilmu pengetahuan merupakan kata kunci satu paket menjaga Amanah Allah.  

Kunci kedua menjaga Amanah Allah dengan memaksimalkan resources yang diberikan (hidung, mata, kaki, tangan, mulut, kuping, lidah, aqal, qalbun) melalui ketaatan menjalankan apa-apa yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Dengan tulus melaksanakan perintah-Nya, maka Allah Swt  akan memberikan Ridha,  Rahmat, Barokah, Anugrah  dan Kasih Sayang-Nya. 

Banyak hadis Nabi menerangkan bahwa menyantuni anak yatim, menolong fakir miskin,  membantu ibnu sabil dan berjuang fi sabilillah, membangun infra-struktur jalan, bersatu dan jangan berpecah belah, memiliki asset  liquid dan non-liquid (Baitul Mal), mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, berkata benar dan santun, berbaik dengan tetangga, menjaga alam lingkungan, mengembangkan ekonomi dan financial ummat, semua ini merupakan jalan-jalan Allah menurunkan Ridha, Rahmat, Barokah, Anugrah, dan Kasih Sayang-Nya kepada kaum Muslimin. 

Aspek kedua inilah mengapa Allah menyuruh umat Islam menguasai ilmu pengetahuan (IPTEK) yang sementara ini tertinggal jauh dari umat yang lain. Jadi jangan heran kalau sekarang kita melihat, mendengar dan merasakan bahwa umat Islam menjadi umat konsumen, menjadi umat pegawai, dan menjadi bangsa konsumen bukan bangsa produsen, bukan menjadi tuan  di negeri sendiri, dan menjadi follower. 

Dalam konteks ini Allah Swt menegur keras umat Islam (supaya hati dan jiwanya hidup) dalam Surat Al-A’raf, ayat 168: “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat)  yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar kembali (kepada kebenaran)”.  “Kami coba” diartikan dengan malapetaka, kemalangan dan atau cobaan/ujian karena tidak menjaga Amanah yang Allah titipkan kepada mereka.

Demikianlah, fakta NKRI sekarang apalagi periode reformasi, umat Islam belum menjadi pemain utama di rumahnya sendiri dan sementara ini menjadi “pecundang” di sektor  ekonomi dan financial serta politik. Sebenarnya banyak solusi dan cara bisa dikembangkan umat Islam pada  sektor ekonomi dan financial serta politik sehingga dapat mengalahkan raksasa-raksasa ekonomi yang sudah mapan. 

 Ada kesan bahwa tokoh-tokoh ormas Umat Islam meanstrim di NKRI “dibuai” dengan jabatan-jabatan yang “empuk” (Dewan Pengawas Syariah dan komisaris-komisaris di BUMN misalnya) yang tidak perlu berfikir keras dan serius dalam masalah ekonomi dan financial pribadinya akan tetapi menerima manfaat (cuan) yang cukup  bahkan berlebih berupa honor/gaji bulanan plus ada uang komisi/bonus tahunan tanpa harus berfikir dan bekerja keras.

Akibatnya para “tokoh ormas umat ini” karena sudah merasa cukup dan berlebih dengan apa yang diterima sehingga diduga kuat “malas” untuk berfikir lebih keras dalam upaya pengembangkan sektor  ekonomi dan financial ummat, apalagi politik.  

Padahal kita tahu umat Islam seperti ormas Islam NU dan Muhammadiyah memiliki Captive Market pasar yang jelas. Sayang sekali justru uangnya  diberikan kepada ummat yang lain mengelolanya, kata Ketua PWM Banten pada suatu kesempatan Safari Ramadhan tahun 1443 H di PDM Tangsel.  

Ke depan dan sekarang penulis pikir sudah waktunya ormas-ormas Islam (para elitenya) khususnya MU dan NU -ormas Islam yang lain juga-, memperhatikan pengembangan sektor ekonomi dan financial, tanpa melupakan aspek politik. Tinggalkan menjadi umat konsumen terus menerus dengan cara menjaga amanah yang diberikan Allah. Sebab itu elite ormas Islam harus berfikir strategis dan tak berfikir kaleng-kaleng melihat masa depan NKRI ini.

Penulis mengingatkan elite umat Islam kembali memegang erat Amanah yang menjadi tanggungjawabnya dengan kerja ikhlash, kerja cerdas, kerja keras dan kerja tuntas. Jadilah Ummat Pemenang bukan pengikut dan sebuah keharusan kritik internal atau muhasabah dengan pendekatan SWOT sangat diperlukan. 

Masukan yang diberikan Tokoh Spiritual Iran dan Gaungan Chairul Tanjung yang mengutip Pernyataan Anwar Abbas di atas perlu menjadi agenda kerja elite ormas Islam dalam konteks penguasaan asset-asset NKRI untuk mewujudkannya dalam Pilpres.  Buanglah jauh-jauh sikap arogansi sektoral elite Islam dan mulailah malu kepada umat yang sering di atas “Mimbar” menyatakan umat yang terbaik, justru elitnya tak berani mewujudkannya. 

Masalahnya kenyataan di lapangan masih ditemukan ormas Islam mau Muktamar saja masih meminta dana talangan dari kelompok “sekuler” yang secara ideologi memiliki agenda tersendiri. Mari membangun dari dalam kekuatan umat sendiri melalui ketawadu’an elite muslimnya untuk  bersatu sebagaimana dipesan para pendiri MU dan NU di atas.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ayat-Ayat Takdir yang Disalahpami Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andal....

Suara Muhammadiyah

10 July 2024

Wawasan

Oleh: Racha Julian Chairurrizal Dalam sejarahnya, manusia adalah makhluk yang selalu bisa beradapta....

Suara Muhammadiyah

2 December 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Al-Qur`an diturunkan secara ber....

Suara Muhammadiyah

12 April 2024

Wawasan

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy Delapan puluh tahun Indonesia merdeka bukanlah angka yang kecil. Ia ada....

Suara Muhammadiyah

21 August 2025

Wawasan

Peringatan Hari Anti Korupsi Bukan Hanya Sehari Oleh: Royyan Mahmuda Al Arisyi Daulay, S.H.,M.H., ....

Suara Muhammadiyah

10 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah