Urwatul Wutsqa: Solidaritas Islam dan Fanatisme Kesukuan
Oleh: Hatib Rachmawan (Dosen Ilmu Hadist Universitas Ahmad Dahlan) dan Moh Amirrulloh (Peneliti Dunia Arab)
Kepribadian dan Sosiologis Bangsa Arab
Analisis tentang kondisi individu bangsa Arab menunjukkan dengan jelas bahwa sebagian besar dari mereka memiliki kebanggaan dan cenderung untuk mementingkan ras. Bahkan lebih jauh kebanggan mereka terhadap rasnya membuatnya selalu bertindak gegabah tanpa ada penalaran. Pembelaan kabilah yang berlebihan tanpa argumentasi kuat sebagai salah satu contoh bagaimana kuatnya fanatisme kesukuan dari bangsa Arab. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa fanatisme terhadap ras merupakan naluri alamiah dari setiap manusia yang hidup berkelompok. Namun saya menemukan sebuah kejanggalan dari temuan ini. Hal ini berkaitan dengan bagaimana jika seseorang yang dilahirkan di sebuah wilayah, namun belum sampai dia mampu menganalisis suatu kondisi, dia bermigrasi ke tempat lain dengan kultur sosiologis yang berbeda hingga kemudian dewasa bahkan sampai tua tidak kembali ke tempat asalnya, apakah secara naluri dia akan memiliki kesamaan dengan orang lain yang dari kecil hingga dewasa di tempat asalnya?
Dalam beberapa kasus kita tidak akan menemukan sebuah kecenderungan seseorang yang lahir di tempat yang sering terjadi konflik di dalamnya kemudian orang itu bermigrasi ke tempat lain yang lebih aman akan kembali ke tempat asalnya. Lebih jauh justru orang itu akan hidup damai di tempat barunya dengan harapan dapat menumbuhkan daya penalaran serta ide dan wacana yang dapat menghentikan konflik di tempat asalnya. Dari sini kita dapat menemukan perbedaanya, orang arab yang lahir hingga dewasa di wilayah tersebut cenderung masuk kedalam pusaran konflik, sedangkan orang arab yang bermigrasi ke tempat lain akan cenderung berfikir dan mengupayakan kedamaian di tempat asalnya.
Oleh sebab itu, kami tidak berpendapat bahwa fanatisme ini bersifat alamiah, tetapi mungkin menjadi salah satu karakteristik sementara yang muncul pada setiap individu sebagai respon terhadap kebutuhan. Setiap manusia di mana pun ia berada pasti memiliki kebutuhan, dan untuk mewujudkan kebutuhan itu ada sebuah upaya yang dilakukan. Bayangkan wilayah arab yang awalnya tandus dan kering, tidak banyak pohon bisa tumbuh di wilayah itu, namun beberapa saat kemudian ditemukan sumber daya kuat yang mampu menopang kehidupan hingga beberapa generasi berikutnya, hal apa lagi yang akan dilakukan oleh kepala-kepala suku mereka selain mengerahkan masyarakatnya untuk merebut sumber daya itu, situasi kemudian diperparah dengan minimnya pendidikan moral di wilayah tersebut.
Ketika ambisi besar menguasai sumber daya yang ada kemudian disertai dengan kekuatan maka secara alami akan mendorong prilaku agresif terhadap orang lain yang berupaya juga menguasai sumber daya itu. Akibatnya setelah itu banyak orang terlibat dalam pusaran perebutan sumber daya tanpa lagi peduli kenyataan bahwa mereka dari bangsa yang sama. Setiap kabilah membangun basis dengan harapan dapat memenangkan perebutan itu bahkan hingga membangun aliansi dengan bangsa lain di luar arab berharap dapat mempertahankan sumber daya dari serangan kabilah lain.
Islam dalam Memandang Fanatisme Kesukuan
Persolan fanatisme ini akan lenyap dengan sendirinya, jika kebutuhan itu hilang. Dengan kata lain ketergantungan bangsa arab akan sumber daya melimpah yang datang beberapa saat ini harus lah dihentikan. Memang akan sangat sulit untuk menghentikanya, sebab jiwa-jiwa mereka telah mengakar rasa kecintaan terhadap emas dan perak. Para pemimpin mereka yang terlena akan kemewahan telah melupakan hakikat sejati seorang pemimpin layaknya pemimpin islam terdahulu. Syariat islam tidak dijalankan sebagaimana mestinya, hanya sekedar formalitas untuk menarik massa demi kepentinganya dalam menguasai sumber daya yang ada. Untuk merubah keadaan ini bangsa arab memerlukan seorang pemimpin yang tunduk dan patuh terhadap-Nya, menjalankan otoritasnya dengan adil serta tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan rasnya. Jika hal ini telah terjadi, maka fanatisme terhadap ras akan lenyap berganti dengan kecintaan atas nama islam.
Jika kita melihat lebih jauh, kita akan menemukan rahasia mengapa umat islam di berbagai penjuru dunia tidak mempertimbangkan identitas berdasarkan ras dan menolak segala bentuk fanatisme terhadap ras. Inilah yang kemudian menjadi kebanggan umat islam terdahulu hingga dapat membangun peradaban yang menghegemoni kala itu. seseorang yang bergama islam, ketika keyakinanya telah tertanam kuat di dalam jiwanya, maka orang itu akan berjuang dan melakukan apapun untuk kebanggaan islam tanpa memperdulikan rasnya. Sehingga dari sini kemudian terjalinlah sebuah ikatan yang lebih universal.
Setiap kebanggaan dan keistimewaan sesorang yang diperoleh dari klaim keturunan maka ia tidak akan memiliki pengaruh apa pun dalam melindungi dan menjaga hak-haknya maupun kehormatannya, justru sebaliknya ia akan mendapatkan celaan sebab kebanggaanya. Rasulullah bersabda : ‘Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme, bukan termasuk golongan kami orang yang berjuang dengan dasar fanatisme, dan bukan golongan kami yang mati demi membela fanatisme.’
Al-Qur’an secara jelas menegaskan hal ini, seperti firman Allah, ‘Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa’ (Q.S. Al-Hujurat : 13). Berdasarkan hal ini jika kita melihat bagaimana prosesi pemilihan khalifah pasca wafatnya Rasulullah, para pemimpin islam tidak diangkat berdasarkan kesukuan, atau mewarisi kekuasaan dari orang tua mereka, melainkan diangkat sebagai pemimpin berdasarkan kepatuhanya terhadap syariat dan mampu menegakkanya.
Islam di Pusaran Kekuasaan
Kekuasaan umat islam seharusnya diberikan kepada mereka yang pantas dan sesuai dengan sejauh mana mereka mematuhi hukum-hukum ilahi dan mengikuti petunjuk-Nya serta menjauhi kepentingan pribadi. Dalam sejarah kekuasaan islam sejak dahulu setiap kali pemimpin umat islam berupaya menjauhkan syariat dari kekuasaan, maka muncul lah basis-basis gerakan penolakan terhadapnya, yang kemudian kembali muncul sebuah narasi-narasi berdasarkan ras yang ingin mengambil alih kekuasaan sehingga perpecahan umat pun kembali terjadi.
Kenyataan ini telah berlangsung lama bahkan sejak beberapa abad yang lalu. Sejauh perjalanan itu masyarakat muslim tidaklah menganggap penting ikatan antar ras, melainkan hanya melihat kepada kesatuan agama. Sehingga tidaklah mengherankan kesultanan Ottoman dapat bertahan berabad-abad meskipun bukan dari kabilah Arab, atau bahkan orang Persia yang memiliki wilayah luas di era sebelumnya mau menerima kepemimpinan dari bangsa Arab. Tidak nampak rasa ketidaksukaan mereka meski dipimpin oleh orang yang bukan berasal dari kabilah atau bangsanya. Hal ini jika kita pahami substansinya seorang pemimpin islam tidaklah harus berasal dari ras tertentu melainkan diukur dari seberapa ketakwaan seseorang terhadap-Nya, serta seberapa kuat ia menjalankan syariat. Jika pemimpin itu mampu menjalankan syariat islam, menegakkan keadilan, dan memberikan kebebasan umat dalam menyampaikan kebenaran-Nya maka kekuasaannya akan kuat dan mampu bertahan, sebaliknya jika pemimpin itu justru menyimpang dari syariat, berlaku sewenang-wenang maka umat islam pasti akan terpecah-pecah, pemberontakan terjadi dimana-mana, bahkan lebih buruk umat islam saling berebut menjadi penguasa meski harus meminta bantuan bangsa lain yang berbeda agama.
Keadaan umat islam saat ini membuat hati umat islam di seluruh dunia mengalami jeritan mendalam. Seandainya saja penguasa-penguasa kecil di wilayah islam lebih sabar dalam menjalankan syariat dan tidak terpengaruh oleh keistimewaan kosong dalam menggapai kedudukan tinggi hingga mau diperdaya oleh negar-negara barat yang jelas berbeda keyakinan denganya, maka yakinlah kekuasaan islam akan semakin luas. Apa yang dilakukan oleh penguasa kecil di wilayah arab sejatinya merupakan bentuk penyimpangan syariat yang membuat seluruh umat islam mengalami kesulitan. Lebih jauh wilayah islam lain harus merelakan kekuasaanya diambil oleh bangsa lain. Padahal para penguasa kecil itu hanya harus mengikuti jejak-jejak khalifah terdahulu dengan mengedepankan kepentingan berlandaskan syariat serta menyampingan ego pribadi. Jika penguasa itu berlaku demikian percayalah dia tidak perlu mengalami kesulitan, mengeluarkan biaya perang, atau bahkan meminta bantuan negara besar para kolonial untuk mempertahankan kekuasaan. Semoga Allah memberikan kita petunjuk ke jalan yang benar.
Keterangan: Tulisan ini diterjemahkan dan disadur dari kitab Urwatul Wutsqa bab الجنسية والديانة الإسلامية karya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.