Oleh: Hening Parlan
Di antara denting lonceng gereja pada Minggu pagi, lantunan doa di wihara saat dupa dinaikkan, serta panggilan adzan dari masjid, Sang Surya ternyata juga berkumandang. Bukan dalam bentuk lagu mars semata, tetapi dalam langkah-langkah kecil, nyata, dan konsisten menjaga bumi bersama-sama. Inilah jihad ekologi lintas iman yang hidup, terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur.
Sejak 2021, Eco Bhinneka Muhammadiyah telah menjadi ruang belajar bersama bagi perempuan muda dan pemuda lintas iman di Banyuwangi. Kegiatan EcoBhinneka Banyuwangi dikoordinir oleh Mbak Winda mbak Lia dari Nasyiatul ‘Aisyiyah. Mereka bergerak menanam pohon, membersihkan sungai, membuat biopori di halaman rumah ibadah, dan mendaur ulang sampah plastik menjadi ventilasi roster. Dari Glagahagung hingga Purwoharjo, mereka menunjukkan bahwa menjaga bumi adalah bagian dari iman dan ibadah.
Kepala Desa Glagahagung, Mimin Budiarti, menyatakan dengan penuh rasa syukur, “Manfaat dari Eco Bhinneka ini nyata, dari pengelolaan sampah hingga kerja bakti lintas iman yang sebelumnya sulit dilakukan, kini menjadi budaya.” Pernyataan ini bukan sekadar formalitas, melainkan bukti bahwa masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari aksi kolektif lintas iman.
Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah, Ariati Dina Puspitasari, mengapresiasi langkah ini sebagai bagian dari Gerakan Keluarga Tangguh melalui pendekatan Eco Family. “Perempuan adalah penjaga bumi dari rumahnya. Ketika mereka terlibat, maka keluarga menjadi bagian dari jihad ekologi ini,” ungkapnya.
Program ini juga melahirkan komunitas Anak Muda Eco Bhinneka Blambangan (AMONG) yang menjadi ruang kolaborasi lintas iman. Anak-anak muda Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, KonghuChu dan Muslim bergandengan tangan untuk merawat bumi, menepis sekat prasangka, dan memperkuat ukhuwah sebagai sesama warga bangsa.
Tokoh Kristen, Pak Wiyono, menegaskan, “Kita semua menghirup oksigen yang sama. Kalau kegiatan positif seperti ini terus dikembangkan, banyak peristiwa menyedihkan di tempat lain bisa dicegah.” Ia menambahkan bahwa kegiatan Eco Bhinneka perlu diperluas agar semakin banyak jemaat aktif menjaga lingkungan.
Tokoh Katolik, Pak Widodo, menyebut militansi Eco Bhinneka sebagai teladan nyata. “Kalau semua kecamatan memiliki program seperti ini, Dinas Lingkungan Hidup akan sangat terbantu,” ujarnya, seraya berharap Eco Bhinneka dapat menjadi gerakan berkelanjutan dan terstruktur di setiap wilayah.
Tokoh Buddha, Pak Eka, mengaku awalnya merasa sungkan, namun kehadiran Eco Bhinneka membuka ruang silaturahmi yang tulus. “Sekecil apa pun yang kami lakukan, manfaatnya terasa. Yang paling penting adalah persaudaraan lintas iman ini,” tuturnya dengan mata berkaca.
Di lapangan, jihad ekologi ini terwujud dalam kegiatan biopori di halaman gereja, wihara, dan masjid, penanaman pohon di Hutan Karetan, serta pelatihan pembuatan sabun organik dan ventilasi roster dari plastik bekas. Semua kegiatan dilakukan bersama-sama oleh lintas iman, menciptakan ruang aman untuk berdialog sambil bekerja. Mereka perlu turun ke lapangan, menjadi teladan, dan menunjukkan bahwa identitas keagamaan dapat berjalan seiring dengan identitas universal sebagai warga bangsa. Dan Muhammadiyah adalah rumah besar untuk seluruh umat, yang menjadi jalan kebaikan untuk semua.
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyuwangi, Dr. Muhlis Lahudin, menambahkan refleksi mendalam, “Beragama itu sajadah luas. Bukan hanya urusan pribadi, tapi juga urusan bersama untuk kemaslahatan bumi.” Baginya, merawat kerukunan dan lingkungan adalah bentuk nyata dari rasa syukur dan ibadah.
Komitmen ini semakin kuat dengan kehadiran 100 kader Green Nasyiatul Aisyiyah di seluruh Indonesia, yang kini mulai bergerak di 34 provinsi dengan semangat jihad ekologi yang mengakar. Tidak hanya berfokus pada sampah dan tanaman, mereka juga mulai merambah isu ekonomi sirkular, kesejahteraan Perempuan, dan berbagai isu lainnya.
Program ini akan dilanjutkan dengan SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) selama dua tahun ke depan dengan akan memperkuat kepemimpinan anak muda lintas iman dalam merespons krisis iklim dengan perspektif keadilan iklim dan ekofeminisme.
Tidak hanya dukungan moral, gerakan ini juga mendapat perhatian dan sokongan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah. Kepala UPT Pengelolaan Persampahan Kabupaten Banyuwangi, Amrullah, menyatakan bahwa Eco Bhinneka menjadi bagian penting dalam strategi Banyuwangi Hijau yang mengedepankan sampah sirkular dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Lebih jauh, program ini menjadi inspirasi nasional yang relevan dengan kondisi darurat iklim dan sampah di Indonesia. Melalui kolaborasi lintas iman, pesan “menjaga bumi adalah bagian dari iman” menjadi nyata dan hidup, bukan sekadar wacana.
Hari ini, Sang Surya tidak hanya berkumandang di halaman masjid, tetapi juga di gereja dan wihara. Ia berkumandang melalui langkah-langkah kecil yang penuh cinta dan konsistensi, dalam genggaman tangan para perempuan muda, pemuda lintas iman, dan masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga bumi.
Banyuwangi menjadi saksi bahwa jihad ekologi bukan milik satu agama, tetapi milik semua umat manusia. Karena bumi adalah rumah bersama, dan merawatnya adalah ibadah yang paling universal.
Semoga langkah ini menjadi inspirasi, agar di setiap kota dan desa di Indonesia, Sang Surya juga berkumandang di gereja, wihara, dan rumah-rumah, dalam bentuk aksi nyata menjaga bumi, sebagai bentuk syukur dan ibadah kita semua kepada Sang Pencipta.
Hening Parlan, Ibu rumahtangga, anggota Muhammaidyah yang saat ini bergiat dalam isu lintas agama dan lingkungan hidup. Tulisan ini adalah catatan dari perjalanan EcoBhinneka Banyuwangi, 11 – 13 Juli 2025.