Wabah Penyakit, Siksa dan Hukuman dari Tuhan?

Publish

4 October 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1070
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Wabah Penyakit, Siksa dan Hukuman dari Tuhan? 

Oleh: Mukhlis Rahmanto, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Wabah corona (covid 19) yang dipindai awalnya di Wuhan Cina akhir tahun 2019, kini meluas dan menyebar global ke seluruh penjuru dunia. Penyebarannya yang masif didukung oleh struktur globalisasi dimana hubungan antar manusia, lewat perjalanan (migrasi) dan komunikasi di berbagai wilayah di muka bumi yang semakin mudah, cepat dan bahkan tanpa sekat. Pun wabah penyakit dalam beragam jenisnya telah dikenal dalam sejarah manusia, termasuk dalam sejarah Islam dan muslim sendiri.

Sehingga nash-teks sumber keagamaan Islam, baik Al-Qur’an maupun Hadits, jika ditelisik banyak merekam mengenai bencana wabah dalam beragam informasi dan responnya, hingga menjadi panduan muslim dalam memandang dan menyikapi kejadian penyebaran wabah kini. Tentu dibutuhkan pemahaman yang menyeluruh, dikarenakan fenomena wabah ini, tidak hanya melibatkan cara dan sudut pandang agama saja, namun juga sains-ilmu pengetahuan, dimana salah satu karakteristik ajaran Islam adalah agama yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal ini sains kesehatan. 

Namun di tengah-tengah kita selalu muncul problematika klasik, salah satunya justifikasi dan begitu mudahnya menilai dengan pasrah, bahwa wabah ini adalah hukuman dari Allah kepada manusia karena kebanyakan berbuat mungkar, maksiat dan pelanggaran-pelanggaran lain dari aturan dan hukum-Nya. Sekilas memang benar sikap ini jika kita hanya membaca secara lahiriyah teks-nash semisal hadits di bawah ini, tetapi akan kita dapati bentuk narasi pemahaman dan pandangan lain jika kita mau mengelaborasinya secara menyeluruh dengan mengkaitkannya pada teks-nash lain sebagai satu bentuk kaidah pemahaman hadits yang disusun para ulama. 

عَنْ عَائِشَة أُمُّ الْمُؤْمِنِيْنَ قَالَتْ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَن الطَّاعُوْنِ، فَأَخْبَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُه ُاللهُ عَلَى مَن يَشَاءُ، فَجعَلَهُ رَحْمَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِن رَجُلٍ يَقَعَ الطَّاعُوْنُ فيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيُبُهُ إلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِ الشَّهِيدِ (رواه البخاري)

Dari Aisyah Ummul Mukminin berkata: aku bertanya pada Rasulullah Saw tentang tha’un (wabah), beliau memberitahuku bahwa (wabah) adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, maka Dia menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman, maka tidaklah seseorang yang berada di tengah wabah lalu ia tinggal di rumahnya dengan penuh sabar dan ikhlas, ia mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi (menimpa) kecuali Allah telah menulis (ketetapannya), kecuali (baginya akan mendapat) pahala syahid (HR. Al-Bukhari)

Hadits di atas diriwayatkan oleh Aisyah ra., istri baginda Nabi sekaligus perawi terbanyak setelah Abu Hurairah ra. dan terekam dalam Shahih al-Bukhari kitab at-Tib (kedokteran) no. 5734. Hadits di atas memberikan informasi pada kita bahwa wabah pernah terjadi pada masa Nabi, dikenal sebagai wabah shirawaih, yang jika dikonfirmasi terjadi sekitar tahun 627 M dimana bermula muncul di kota Mada’in (Irak sekarang) (Dols: 1974), hingga Aisyah kemudian menanyakan hakikat tentang wabah ini terkait dengan kehendak Allah. 

Sekilas, wabah penyakit diidentikan dengan azab yang dalam alam pikiran kita sebagai seorang muslim, dimana langsung mengacu maksudnya pada hukuman dan siksaan sebagaimana ditimpakan pada umat-umat terdahulu. Namun jika ditelisik, kata azab berasal dari kata a-za-ba, yang maknanya banyak-beragam, salah satunya sebagaimana dalam penggalan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, as-safaru qith’atun minal-‘azab, safar (bepergian) itu bagian dari siksa.

Hal itu dikarenakan si musafir mengalami keadaan sulit (menjadi tersiksa) untuk makan, tidur-istirahat, yang berbeda ketika sedang tidak bepergian. Di sini keadaan tersiksa berasal dan timbul dalam diri manusia. Pun ada juga yang berasal dari luar, salah satunya ketika dikaitkan dengan hukuman dari Tuhan ketika manusia melanggar ketetapan Allah, semisal dalam Al-Qur’an, surat Luqman [31]: 6-7, bahwa mereka yang menggunakan perkataan-lisan tidak pada tempatnya (lahwal-hadits) yang berakibat menyesatkan manusia lain, maka ia akan mendapatkan azab yang menghinakan. 

Oleh karena itu, azab diidentikan dengan keadaan yang menyulitkan manusia, seperti merasakan sakit, gangguan marabahaya, kerusakan hingga kematian. Dalam hadits di atas, para ulama kemudian memahami bahwa wabah akan menjadi semacam siksaan bagi mereka yang tertimpa yang biasanya menimpa manusia secara umum, dengan tidak mengenal apakah dia ingkar (kafir) ataupun beriman. Yang menjadi perbedaan di sini adalah penjelasan dari Nabi dalam memandang dan menghadapi bencana (wabah), meskipun sama-sama merasakan sakit (orang mukmin dan kafir), namun Nabi menginginkan mukmin memandangnya sebagai sebuah rahmat karena dapat menjadi pengantar dan wasilah mendapatkan kenikmatan dan keutamaan dari Allah SWT.

Dimana kita sebagai muslim dianjurkan untuk bersabar dan berikhtiar untuk menghilangkan penyakit (siksa) itu, bahkan bagi mereka yang menjadi korban dan meninggal, dijanjikan pahala syahid sebagai bentuk meninggal yang paling utama. Setiap kejadian, baik dan buruk, bagi seorang muslim harus dinilai baik dengan berlandaskan pada asas agama bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah SWT adalah kebaikan. Hal ini sesuai hadits riwayat Muslim, ‘ajaban li-‘amril-mukmini inna amrahu kullahu khairun, bahwa segala urusan-perkara orang mukmin itu menakjubkan karena semuanya adalah kebaikan. 

Rahmat sendiri menurut Ar-Raghib al-Asfahani adalah belas kasih kebaikan untuk orang yang tersayang, artinya Allah memberikan yang terbaik bagi mereka hamba yang ia sayangi. Sifat rahmah Allah akan membentuk sebuah sikap yang merupakan tujuan puncak dalam Islam, yakni kebaikan dan keadilan (QS. al-An’am [6]: 54). Dalam konteks sekarang salah satunya, kita diminta untuk stay at home ketika wabah melanda dengan melaksanakan shalat berjamaah lima waktu di rumah, yang biasanya di masjid, yang dengan demikian kita mendapat pahala jamaah di rumah. Ringkasnya, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, Badhlu al-Ma’un fi Fadhli at-Tha’un, bahwa wabah adalah rahmat, ujian serta kesyahidan. 

Terkait dengan bahasan azab atau siksaan yang dimaksudkan dan memastikan sebagai hukuman atas perbuatan buruk manusia khususnya dalam konteks wabah pandemi ini, hemat penulis yang demikian termasuk perkara gaib dimana hanya Allah SWT sajalah yang dapat dan berhak paling mengetahui, apakah wabah ini sebagai hukuman atau bukan. Mereka yang (dengan mudah) menilai wabah ini adalah bencana, azab-siksa dan hukuman dari Allah menyandarkan pada beberapa nash-teks agama, antara lain sebuah riwayat di bawah ini: 

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ (رواه ابن ماجه)

Telah bercerita pada kami Mahmud bin Khalid ad-Dimasqy, Sulaiman bin Abdirrahman Abu Ayub dari Ibnu Abi Malik dari ayahnya dari Atha bin Abi Ribah dari Abdulah bin Umar berkata, kami menghadap Rasulullah Saw lalu beliau bersabda: “Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara; jika kalian terkena lima perkara ini, aku mohon perlindungan pada Allah agar kalian tidak mendapatinya, (yaitu): (a) Perbuatan keji (semisal zina, khamr, judi, perampokan) tidaklah dilakukan di suatu kaum (masyarakat, bangsa) dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar wabah penyakit tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang terdahulu yang telah lewat;

(b) Orang-orang tidak mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan susah, dan kezaliman pemimpin-penguasa; (c) Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan; (d) Orang-orang tidak membatalkan perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka; (e) Dan selama para pemimpin (negara, masyarakat) tidak berhukum dengan kitab Allah, dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan di antara mereka” (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya kitab al-Fitan bab al-‘Uqubat no. 4019, namun jika ditelisik validitasnya, beberapa ahli hadits seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Badhlu al-Ma’un fi Fadhli at-Tha’un, melemahkannya (dhaif) dikarenakan seorang rawi Ibnu Abi Malik yang dinilai dhaif oleh kritikus Ibnu Main. 

Selain itu, para ulama (antara lain Ibnu Taimiyah dan Al-Hafizh al-Muqaddasi) berpendapat bahwa untuk umat Nabi Muhammad Saw hingga akhir zaman tidak ada yang namanya azab secara langsung (al-isti’shal), yang menghancurkan hingga melenyapkan secara langsung suatu umat, seperti yang terjadi pada umat terdahulu (kaum-bangsa Ad dan Tsamud), dimana para Nabi dan Rasul yang diutus saat itu turut pula menyaksikan secara langsung kemungkaran yang diperbuat oleh umatnya serta siksaan tersebut.

Namun untuk umat Islam dan umat Muhammad Saw., sebagai umat terakhir, diberikan rahmat khusus oleh Allah Swt. dengan tidak diazab secara langsung di dunia jika mereka melanggar aturan Allah, namun akan dihisab di hari akhir, dimana umat Muhammad, meskipun sebagai umat terakhir, akan mendapat giliran awal untuk dihisab baru kemudian umat-umat Nabi dan Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, bagi umat Muhammad diberikan kesempatan berupa pintu-pintu untuk bertaubat, kesempatan untuk berjihad melawan kebatilan, dan kesempatan dakwah beramar ma’ruf nahi munkar.

Sumber: Majalah SM No 8 Tahun 2020


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Persyarikatan Krida-Agama: Embrio Muhammadiyah Blunyah Oleh: Mu’arif Salah satu ciri khas ge....

Suara Muhammadiyah

9 November 2023

Khazanah

Serangan Mongol (Bagian ke-2)  Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universita....

Suara Muhammadiyah

19 December 2023

Khazanah

Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas ....

Suara Muhammadiyah

29 April 2024

Khazanah

Aisyah binti Abu Bakar: Wanita Kritis dan Pemberani Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya ....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Khazanah

Nabi Ishak dalam Al-Qur`an dan Alkitab Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Un....

Suara Muhammadiyah

21 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah