YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Dosen Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pegiat budaya Yogyakarta, Prof. Dr. Sidik Jatmika, M.Si., menyoroti upaya menjaga perdamaian di Yogyakarta yang selama ini dibangun melalui pendekatan kebudayaan. Menurutnya, berbagai persoalan di daerah “istimewa” ini kerap diselesaikan dengan cara yang unik, yakni melalui humor dan kearifan budaya lokal.
Pandangan tersebut disampaikan Sidik dalam diskusi kerukunan pemuda antarumat beragama yang diinisiasi oleh komunitas Interfaith Youth Hub bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Pemerintahan (Lab IP) UMY. Kegiatan ini berlangsung pada Sabtu (13/12) di Lab IP UMY, Gedung Ki Bagus Hadikusumo E2 lantai 1.
Di hadapan peserta yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan, Sidik menjelaskan bahwa Yogyakarta, meskipun memiliki potensi konflik yang tinggi, tetap mampu mempertahankan identitasnya sebagai simbol perdamaian. Hal itu, menurutnya, tidak lepas dari cara masyarakat Jogja merespons masalah dengan pendekatan yang halus dan tidak konfrontatif.
“Tertawa karena orang Jogja itu sopan dan suka bercanda. Budaya karena orang Jogja banyak yang lebih takut pada hukum alam daripada hukum yang dibuat manusia,” ungkapnya.
Ia memberikan contoh penerapan “hukum alam” dalam kehidupan sehari-hari, seperti penanganan masalah buang air kecil sembarangan. Alih-alih menggunakan sanksi formal, masyarakat justru menaruh sesajen di titik-titik tertentu. Cara tersebut terbukti efektif karena pelaku merasa sungkan dan enggan mengulangi perbuatannya.
Dalam pemaparannya, Sidik juga mengangkat kekayaan narasi budaya masyarakat Jogja yang ia rangkum dalam salah satu karyanya. Ia membaginya ke dalam lima jenis cerita, yakni lelucon masyarakat istana, lelucon masyarakat umum, lelucon tentang Indonesia mini, lelucon tentang mahasiswa, serta lelucon tentang Jogja sebagai kota internasional. Menurutnya, humor-humor tersebut berfungsi sebagai sarana kritik sosial sekaligus perekat harmoni.
Ia kemudian menyinggung filosofi khas Jogja, “Memayu hayuning bawana,” yang bermakna merawat keindahan dan kelestarian dunia. Filosofi ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan hubungan, baik antara manusia dengan Tuhan maupun hubungan antarsesama manusia.
Sidik juga mengajak peserta melihat tata ruang Yogyakarta sebagai simbol tubuh manusia. Gunung Merapi di utara dianalogikan sebagai kepala, Keraton sebagai perut, dan Alun-alun Selatan sebagai ruang keluarnya serta mengalirnya kebudayaan Jogja setelah melalui proses pemaknaan.
Materi ditutup dengan ungkapan Jawa “Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake” yang berarti menyerang tanpa pasukan dan menang tanpa merendahkan. Filosofi ini mencerminkan nilai yang dipegang teguh masyarakat Jogja, yakni menghindari sikap mempermalukan orang lain di ruang publik serta tidak mempertontonkan kelebihan secara berlebihan. Nilai-nilai inilah yang, menurut Sidik, menjadi fondasi kuat perdamaian berbasis budaya di Yogyakarta. (FU)


