Zohran Mamdani: Politik Bernurani dan Perlawanan Nyata terhadap Islamophobia di New York
Oleh: Sobirin Malian, Dosen Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Dalam demokrasi Amerika, memang wajar jika dua tokoh seperti Donald Trump dan Zohran Mamdani memiliki pandangan politik yang sangat bertentangan. Donald Trump dikenal sebagai sosok yang konservatif, populis, dan ultra-nasionalis. Ia menentang imigrasi yang tidak terkendali, kritis terhadap perjanjian perdagangan internasional, dan sangat skeptis terhadap kelompok progresif serta ideologi liberal. Trump menekankan kebijakan yang pro bisnis dan anti regulasi dan sering menggunakan retorika keras terhadap lawan politiknya yang mempunyai pandangan lebih progresif atau kiri, termasuk Zohran Mamdani. Trump bahkan pernah menyerukan agar Mamdani ditangkap atau dideportasi karena perbedaan pandangan politik dan latar belakang imigrannya.
Sebaliknya, Zohran Mamdani adalah politisi muda progresif, seorang imigran Muslim yang aktif memperjuangkan keadilan sosial, termasuk isu antikorupsi, pendukung imigran, dan kebijakan-kebijakan sosial progresif seperti pembekuan sewa, fasilitas publik gratis, dan pengurangan ketimpangan melalui pajak. Ia menjadi simbol bagi gelombang baru politik progresif yang ingin menentang status quo politik konservatif yang selama ini diwakili oleh Trump dan para pendukungnya. Mamdani dipandang sebagai lawan utama oleh Trump karena representasinya yang bertolak belakang dengan ideologi Trump, termasuk dalam isu imigrasi dan keadilan sosial.
Jadi, dalam kacamata demokrasi Amerika, perbedaan sikap antara Trump dan Mamdani mencerminkan polarisasi politik yang tajam: Trump mewakili ideologi konservatif dan proteksionis nasionalis, sedangkan Mamdani mengusung agenda progresif, inklusif, dan pro-imigran. Perseteruan ini menjadi cerminan dinamika politik Amerika saat ini yang diwarnai konflik antarwawasan yang mendalam.
Titik Terang Nurani
Kemenangan Zohran Mamdani sebagai wali kota New York menjadi titik terang dalam dunia politik yang kerap dinilai sebagai arena kekuasaan tanpa hati nurani. Lebih dari sekadar simbol politik progresif, Mamdani mewakili suara keadilan dan kemanusiaan yang menolak segala bentuk diskriminasi, terutama Islamophobia yang selama ini menjadi bayang-bayang kelam bagi komunitas Muslim di Amerika dan berbagai belahan dunia.
Islamophobia adalah fenomena diskriminasi dan prasangka yang menempatkan Muslim sebagai sasaran ketakutan, stereotip negatif, dan pengucilan sosial. Prasangka ini sering memicu tindakan tidak adil, mulai dari profil rasial oleh aparat keamanan hingga kekerasan berbasis kebencian. Tidak jarang pula diskriminasi tersebut menutup ruang partisipasi sosial dan politik yang seharusnya terbuka bagi semua warga negara. Dalam konteks itu, kemenangan Mamdani—seorang Muslim keturunan Asia Selatan—memberi harapan bahwa politik dapat menjadi panggung inklusif yang menghapuskan batasan-batasan stigma.
Mamdani membawa politik bernurani ke dalam kepemimpinannya dengan mengedepankan nilai keadilan dan empati. Salah satu langkah nyata yang diambilnya adalah inisiasi program pelatihan kesadaran budaya bagi aparat penegak hukum, yang dirancang untuk memerangi profil rasial dan praktik diskriminatif terhadap Muslim dan kelompok minoritas lain. Kebijakan ini tak hanya meminimalkan ketidakadilan, tapi juga memperkuat rasa aman dan inklusi bagi seluruh warga New York.
Kebijakan proaktif lain yang Mamdani dukung adalah penguatan regulasi terhadap hate crime dan diskriminasi agama. Dengan memperketat mekanisme pelaporan dan penindakan atas tindak kebencian, Mamdani memastikan bahwa kota ini menjadi ruang yang melindungi tiap individu tanpa terkecuali. Ia juga mendorong kampanye edukasi publik yang menggugah kesadaran masyarakat akan kesalahan stereotip negatif terhadap Islam, sekaligus membangun solidaritas antarkelompok yang harmonis.
Kisah keberhasilan Mamdani juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang pribadinya yang akrab dengan tantangan stereotip dan diskriminasi. Sejak kecil, ia mengalami bias yang kerap ditemui oleh komunitas Muslim dan minoritas lainnya. Namun, pengalaman itu menguatkan tekadnya untuk memperjuangkan keadilan sosial dan menghadirkan politik yang tidak hanya berorientasi pada ambisi kekuasaan, melainkan berbicara lewat kasih sayang dan keberpihakan pada yang tertindas.
Kepemimpinan Mamdani sekaligus menjadi pelajaran penting bahwa politik inklusif dapat melawan narasi Islamophobia yang memecah-belah kehidupan sosial. Ia mengingatkan bahwa keberagaman adalah jantung kekuatan sebuah masyarakat besar dan kompleks seperti New York—tempat jutaan orang dari berbagai latar belakang hidup berdampingan.
Dampak Sosial Kepemimpinan Mamdani
Dampak kepemimpinan Mamdani sudah mulai terasa nyata di berbagai lapisan masyarakat New York, terutama bagi komunitas Muslim dan minoritas yang selama ini mengalami marginalisasi. Program pelatihan kesadaran budaya dan anti-diskriminasi bagi aparat penegak hukum telah menurunkan angka insiden profil rasial dan kekerasan berbasis kebencian. Aparat keamanan kini lebih dilengkapi untuk melayani komunitas secara adil dan berempati, menciptakan hubungan yang lebih konstruktif antara warga dan pemerintah.
Selain itu, masyarakat yang selama ini merasa takut dan terpinggirkan mulai merasakan ruang publik yang lebih aman dan inklusif. Kebijakan Mamdani menghasilkan peningkatan partisipasi aktif warga Muslim dalam kehidupan sosial dan politik kota, memberikan mereka suara yang dihargai dan didengar. Solidaritas antar kelompok etnis dan agama pun memperkuat jaringan sosial yang mendukung keharmonisan dan pengertian antar komunitas.
Program edukasi dan kampanye anti-Islamophobia turut membantu menurunkan sentimen negatif dan stereotip yang selama ini mengakar di masyarakat. Ini membukakan jalan bagi dialog yang lebih terbuka dan pengakuan atas keberagaman budaya sebagai aset berharga kota New York. Secara keseluruhan, pendekatan politik bernurani Mamdani mulai membentuk masyarakat yang tidak hanya lebih adil tetapi juga lebih manusiawi dan saling menghormati.
Dalam hal kebijakan sosial, Mamdani juga fokus pada pengurangan kesenjangan ekonomi yang berdampak besar pada komunitas minoritas, termasuk Muslim. Ia mendukung program-program pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial yang inklusif dan diprioritaskan untuk daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Dengan demikian, Mamdani tidak hanya mengatasi diskriminasi dalam bentuk sosial budaya, tetapi juga mengangkat tantangan struktural yang memperkuat segregasi dan marginalisasi.
Di bidang pendidikan, ia mendorong integrasi kurikulum yang lebih inklusif dan representatif, memperkenalkan kelas-kelas yang mengenalkan keberagaman dan menghargai semua latar belakang budaya dan agama. Lewat langkah ini, generasi muda diajak untuk hidup dalam harmoni dan menolak narasi kebencian sejak dini.
Selain itu, ia memperkuat kemitraan dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang berkonsentrasi pada hak-hak minoritas dan advokasi anti-diskriminasi. Kota New York di bawah kepemimpinannya menjadi contoh model kolaborasi kemitraan publik-swasta dalam mengelola kota yang beragam secara efektif dan berkeadilan.
Kisah Zohran Mamdani bukan hanya kisah seorang politisi sukses. Ia adalah manifestasi dari sebuah harapan bahwa politik bisa menjadi kekuatan perubahan yang benar-benar manusiawi dan adil. Melalui keberanian menentang Islamophobia dan diskriminasi, ia mengajak dunia melihat bahwa perjuangan keadilan dan kemanusiaan tidak mengenal batas agama dan identitas.
Politik bernurani yang diusung Mamdani menghadirkan contoh bagaimana seorang pemimpin yang berani, empatik, dan berkomitmen, mampu membangun jembatan pengertian, memberantas stigma, serta memberi ruang yang setara bagi semua orang di tengah keberagaman.
Di tengah tantangan global dan lokal yang semakin pelik, suara Mamdani menegaskan kepada kita bahwa nurani politik bukan hanya idealisme kosong, tapi landasan nyata bagi masa depan inklusif dan damai. Ia memberi bukti bahwa perubahan sejati dimulai dari kepemimpinan yang berpihak pada keadilan sosial dan kemanusiaan universal.


