Oleh: Suko Wahyudi. PRM Timuran Yogyakarta
Takwa merupakan puncak dari keberagamaan. Ia adalah kesadaran eksistensial yang hadir dalam gerak batin, terwujud dalam amal lahir, dan menjadi ukuran paling hakiki dalam timbangan Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (QS. al-Ḥujurāt [49]: 13)
Namun dalam arus kehidupan dunia yang sarat kepentingan, takwa tak selalu tampil dalam wujudnya yang murni. Ada hal-hal yang menyertainya, tampak seperti bagian darinya, padahal sejatinya merusak substansi takwa itu sendiri. Itulah yang dalam tulisan ini kita sebut sebagai benalu-benalu takwa.
Benalu, dalam dunia tumbuhan, menempel pada pohon inang, menyerap sari makanan, namun tidak memberi manfaat. Ia menyedot kekuatan hidup pohon, hingga perlahan melemah dan mati. Demikian pula benalu-benalu takwa: menempel pada amal-amal kesalehan, menyerap pengakuan sosial, tetapi tidak menghadirkan keikhlasan.
Takwa yang seharusnya bersumber dari hati yang bersih dan niat yang suci, dapat ternoda oleh sikap riya’, sum‘ah, ujub, fanatisme kelompok, serta eksploitasi simbol-simbol agama untuk kepentingan duniawi. Takwa menjadi kemasan, bukan isi. Ia menjadi panggung pertunjukan, bukan jalan kesunyian menuju ridha Ilahi.
Wajah Palsu Kesalehan
Nabi SAW telah memberi peringatan yang tajam tentang penyakit batin yang merusak nilai amal. Dalam hadis riwayat Imam Aḥmad, disebutkan bahwa riya’ adalah “syirik kecil”, dan pelakunya kelak akan mendapati amalnya ditolak karena diniatkan untuk manusia, bukan untuk Allah.
"Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’." (HR. Aḥmad)
Riya’ adalah benalu pertama. Ia menempel pada shalat, puasa, sedekah, dan amal lainnya. Namun ia menggerogoti ruh amal. Niat bukan lagi untuk mencari keridhaan Allah, melainkan mencari pujian, sanjungan, dan perhatian manusia. Ini adalah penyimpangan niat, dan dalam pandangan Islam, niat adalah pondasi segala amal.
Al-Qur’an menegaskan dalam Surah al-Ma’un tentang orang-orang yang shalat, namun hanya untuk pamer:
"Celakalah orang-orang yang shalat, yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya’." (QS. al-Ma‘un [107]: 4–6)
Celaka bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena kehilangan makna shalat. Raga sujud, namun hati sombong. Lisan berzikir, tapi jiwa haus pengakuan.
Fenomena kesalehan semu ini kian marak dalam era digital. Amal kebaikan disebarluaskan dalam bentuk konten. Doa difoto. Sujud direkam. Sedekah dipublikasikan. Apakah semua itu murni karena Allah, atau terselip keinginan untuk terlihat saleh?
Di sinilah pentingnya introspeksi. Amal bukan sekadar tampilan. Allah tidak menilai rupa dan penampilan, tetapi isi hati dan keikhlasan. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian." (HR. Muslim)
Benalu takwa juga muncul dalam bentuk eksklusivisme agama. Orang yang merasa paling benar, lalu merendahkan yang lain. Orang yang merasa telah bertakwa, lalu dengan mudah menghakimi sesamanya. Padahal takwa yang sejati melahirkan rendah hati, bukan tinggi hati.
Takwa bukan alat untuk menjustifikasi kekerasan, permusuhan, atau pemutusan hubungan. Justru takwa melahirkan sikap kasih sayang, toleransi, dan kepekaan terhadap sesama. Rasulullah SAW, yang paling bertakwa, justru menjadi manusia paling lembut, paling pemaaf, dan paling pengasih terhadap umatnya.
Bila takwa digunakan sebagai pembungkus arogansi kelompok, sebagai alat propaganda politik, atau sebagai tameng kepentingan duniawi, maka ia telah berubah menjadi topeng. Takwa yang semestinya menjadi cahaya, berubah menjadi bayangan yang menipu.
Jalan Menuju Takwa yang Murni
Takwa sejati adalah kesadaran utuh bahwa hidup berada di bawah pengawasan Allah. Ia menuntun pada kejujuran, kesabaran, keadilan, dan kebaikan yang terus-menerus. Ia tidak membutuhkan pengakuan manusia, sebab orientasinya semata-mata kepada Allah.
"Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amalnya? Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. al-Kahfi [18]: 103–104)
Ayat ini menohok nurani. Ada orang yang sibuk beramal, namun ternyata amalnya sia-sia. Mengapa? Karena niatnya keliru. Amal dilakukan bukan untuk Allah, tetapi untuk kesombongan spiritual.
Maka, langkah pertama dalam membersihkan benalu-benalu takwa adalah muhasabah (introspeksi). Tanya kepada diri sendiri: untuk siapa aku beramal? Apakah amal ini membawa aku lebih dekat kepada Allah, atau justru menjauh karena sibuk mencari pujian?
Langkah kedua adalah ikhlas. Ikhlas adalah inti dari semua amal. Ia bukan sekadar kata, tetapi perjuangan batin. Ikhlas adalah ketika amal dilakukan, meskipun tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat, tidak ada yang memuji. Cukup Allah sebagai saksi.
Langkah ketiga adalah tazkiyatun nafs, penyucian jiwa. Jiwa yang bersih tidak mudah terpedaya oleh godaan dunia. Ia tidak haus validasi. Ia tenang karena yakin bahwa amal baik tak akan pernah sia-sia di sisi Allah.
Langkah keempat, perbanyak berdoa, sebab tanpa pertolongan Allah, hati manusia mudah tergelincir. Nabi SAW mengajarkan doa:
"Ya Allah, berilah aku petunjuk dan lindungilah aku dari penyakit riya’." (HR. Tirmidzi)
Langkah terakhir, bangun komunitas kesalehan yang substansial. Kesalehan yang menumbuhkan akhlak, bukan sekadar simbol. Komunitas yang saling mengingatkan dalam kebaikan, tanpa menghakimi. Yang saling mendoakan, bukan saling mencela.
Takwa bukan baju, bukan pangkat, bukan sorban. Takwa adalah hati yang hidup, amal yang jujur, dan laku hidup yang penuh kasih.
Dalam tradisi para ulama, takwa didefinisikan sebagai imtina’ anil ma’asi, menjauhi maksiat, dan iqamat al-ta’at, menegakkan ketaatan, serta ikhlas al-niyyah, menyucikan niat. Takwa sejati adalah perpaduan ketiganya. Jika salah satu goyah, maka takwa pun goyah.
Takwa adalah pohon yang menumbuhkan buah keikhlasan, kasih sayang, dan kemanusiaan. Tapi benalu-benalu yang tumbuh padanya akan menggerogoti kekuatan pohon itu. Jika tidak disadari, takwa hanya akan menjadi jargon kosong.
Marilah kita rawat pohon takwa dalam diri kita masing-masing. Cabut benalu-benalunya. Bersihkan ia dengan muhasabah, dzikir, dan amal yang penuh keikhlasan.
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Mā’idah [5]: 27)
Inilah ukuran penerimaan amal dalam Islam. Bukan banyaknya, bukan tampaknya, tetapi karena takwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, yang menjaga niat, menjauh dari riya’, dan membersihkan amal dari segala benalu. Amin.