Oleh: Muhammad Iqbal Rahman
(Sekertaris Majelis Tabligh PDM Kabupaten Mojokerto & Ketua Umum Pimpinan Daerah IPM Kabupaten Mojokerto)
Dakwah adalah bagian terbesar dari aktivitas Buya Hamka. Hal ini dilakukannya karena menurutnya, dakwah adalah salah satu bagian penting dari kehidupan seorang muslim, walaupun banyak muslim menganggap bahwa dirinya belum cukup bekal untuk berdakwah. Dakwah dapat dilakukan baik dengan tangan serta lisan. Dan selemah-lemahnya iman adalah dengan melakukan dakwah melalui hati. Secara umum, dakwah Buya Hamka ditujukan kepada seluruh masyarakat muslim di Indonesia, namun ia juga mengkhususkan dakwahnya untuk para penguasa. Walaupun ia dikenal sebagai seorang ulama yang pernah menduduki jabatan resmi negara yakni menjadi Ketua Umum MUI, namun hal tetsebut tidak menggoyahkan prinsip dakwah yang dianutnya. Ia tetap berpegang teguh pada tuntunan dakwah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Oleh sebab inilah, maka membahas tentang dakwah menurut Buya Hamka dinilai relevan untuk dijadikan rujukan bagi dai untuk kondisi saat ini.
Menurut Buya Hamka, Dakwah bermakna “mengharap,” yakni dakwah yang berasal dari hamba kepada Allah. Dakwah ini disebut juga dengan doa. Pengertian Dakwah ini termaktub dalam Surah al-Baqarah ayat 186: Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Bahkan dalam buku yang berjudul Kepemimpinan Islam dan Dakwah, yang ditulis oleh Khatib Pahlawan Kayo menyatakan bahwa Buya Hamka memaparkan bahwa salah satu tujuan dakwah ialah untuk mengetahui hakikat manusia tentang arti sebenarnya hidup ini yakni dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Selain itu, dakwah juga bertujuan untuk membawa madu dari kondisi yang gelap gulita kepada kondisi yang terang menderang. Dalam hal ini Buya Hamka juga mengacu pada Surah Ibrahim ayat 1 yang berarti: “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Dalam buku tersebut, Buya Hamka memaparkan bahwa hakikat materi dakwah adalah menyampaikan kebajikan yang dapat dilaksanakan melalui amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf berarti menyeru, menganjurkan, menjelaskan bagaimana pekerjaan baik yang wajib dikerjakan. Adapun pokok utama materi yang akan didakwahkan dapat dikategorikan kepada lima hal, yakni:
1. Menjelaskan tentang aqidah islamiyah, yaitu pokok-pokok kepercayaan islam atau disebut juga dengan rukun iman. Dasar aqidah Islam itu adalah Tauhid yang termaktub dalam Al Quranul karim.
2. Menjelaskan tentang ar-risalatul Muhammadiyah atau maksud utama diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT kepada manusia.
3. Menjelaskan tentang sunnah Rasulullah SAW yang termaktub dalam hadits.
4. Menjelaskan tentang sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, perjuangan, suka duka, rintangan dalam menegakkan agama Allah serta kesetian para sahabat dalam membela dan mempertahankan ajaran Rasulullah SAW.
Syarat-Syarat Dai Menurut Buya Hamka
Syarat yang berkaitan dengan pengetahuan/keilmuan
Syarat yang berkaitan dengan kepribadian
Nilai-Nilai Dakwah Menurut Buya Hamka
Buya Hamka memaparkan bahwa dakwah Islam didirikan di atas 43 nilai yang membedakannya dengan aktifitas lain. Nila-nilai inilah yang seyogyanya menjadi panduan bagi semua dai dalam melakukan dakwahnya. Berikut 43 nilai dakwah menurut Buya Hamka.
Dari kutipan nilai dakwah Buya Hamka di atas dapatlah dipahami bahwa ia memahami dakwah sebagai tugas kenabian yang harus dilakukan berdasarkan tuntunan Rasulullah Saw, yakni dengan meneladani cara berdakwah beliau beserta para sahabat, baik yang berkaitan dengan subtansi materi, etika, metode, maupun kepribadian yang harus dimiliki dai dalam menyampaikan dakwah itu sendiri. Di sisi lain,dakwah tidak hanya dipahami sebagai aktivitas yang hanya terbatas pada profesi formal semata, namun bersifat subtansi dan termanivestasi dalam berbagai bentuk kegiatan kebajikan, baik melalui pengajaran, perdagangan, bahkan dalam perpolitikan yang dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan oleh semua kaum muslimin.
Metode Dakwah Buya Hamka
Metode Dakwah Hikmah
Hikmah berarti kebijaksanaan, yaitu berdakwah dengan mempergunakan dengan akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih agar dapat menarik perhatian orang lain terhadap agama Islam. Kata hikmah berbeda dengan filsafat, karena pada dasarnya kata ini mempunyai makna yang lebih halus dari filsafat itu sendiri. Bila filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya serta telah tinggi pendapat logikanya, maka hikmah dapat dipahami oleh semua orang, baik orang yang belum maju kecerdasannya maupun bagi orang yang pintar.
Buya Hamka menambahkan bahwa meliputi seluruh manusia, menurut perkembangan akal, fikiran dan budi pekerti. Metode bil hikmah dapat diterima oleh orang yang berfikir sederhana, dapat pula mencapai kepada yang lebih tinggi dan lebih cerdas sebab yang dipanggil di samping fikiran adalah perasaan dan kemauan.
Oleh sebab itu ayat-ayat Al-Quran jika diterangkan oleh orang yang ahli dapat diterima oleh orang fikirannya yang paling sederhana dan sarjana ahli yang berilmu tinggi. Menyampaikan dakwah dengan metode hikmah merupakan cara dalam melaksanakan amar ma’ruf.
Metode Mauizhatul Hasanah
Mauizhatul Hasanah dapat diartikan dengan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik yang disampaikan sebagai nasehat. Diantara contoh mauizhatul hasanah adalah pengajaran yang diberikan oleh ayah dan ibu dalam mendidik anak-anaknya, pengajaran pada lembaga pendidikan Islam, pengajaran pada pengajian dan majelis-majelis dan lain sebagainya.
Buya Hamka mengemukakan bahwa memberikan peringatan/ teguran dengan cara yang baik merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah SWT. Perintah ini jelas tergambar dalam Al-Quran yaitu dalam surat Thaaha ayat 44: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Metode Mujadalah Billati Hiya Ahsan
Mujadalah billati hiya ahsan adalah berdiskusi, bertukar fikiran, berbantah dengan cara yang baik. Metode ini dilakukan bila dai dalam kondisi terpaksa menghadapi perbantahan yang tidak dapat dielakkan lagi. Misalnya bila ada seseorang yang masih kufur dan belum mengerti Islam, lalu dengan sesuka hatinya mengeluarkan celaan terhadap Islam, maka orang ini wajib dibantah dengan cara yang sebaik baiknya (sopan santun dan tidak dibarengi dengan kebencian), disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga ia kemudian dapat menerima kebenaran islam.
Demikian beberapa uraian dakwah dalam perspektif Buya Hamka. Semoga kita bisa menerapkan pilar pilar dakwah yang sudah di ajarkan oleh Ulama kita bersama. Dengan harapan, agar ada perubahan dan pencerahan untuk ummat dan bangsa.