Demokrasi Virtual dan Krisis Kebijaksanaan

Publish

4 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
96
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Demokrasi Virtual dan Krisis Kebijaksanaan

Oleh: Suko Wahyudi, Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta 

Demokrasi pada hakikatnya adalah janji luhur mengenai kedaulatan rakyat. Di dalamnya terkandung pengakuan atas martabat manusia, kesetaraan setiap individu, serta komitmen untuk menempatkan kebijaksanaan di atas kepentingan sesaat. 

Demokrasi sejak awal dipahami sebagai ruang bersama tempat gagasan diuji, perbedaan dipertemukan, dan keputusan diambil dengan pertimbangan yang matang. Namun, seiring dengan perubahan zaman, demokrasi menghadapi tantangan baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya: demokrasi virtual.

Demokrasi yang semula lahir dari perjumpaan fisik, diskusi, dan musyawarah di ruang-ruang nyata, kini beralih ke ruang maya. Media sosial menjadi forum utama, algoritma menjadi penentu arus informasi, dan layar-layar gawai menjadi panggung perdebatan politik. Partisipasi rakyat seakan meluas tak terbendung, karena setiap orang berhak bersuara tanpa perlu melewati gerbang institusi atau birokrasi. 

Namun perlu disadari, keterbukaan semacam ini tidak serta-merta membawa kedewasaan demokrasi. Sebaliknya, ia justru menyingkap paradoks baru: kualitas demokrasi kian menurun ketika pilihan politik lebih banyak ditentukan oleh viralitas ketimbang kebijaksanaan.

Viralitas dan Hilangnya Substansi

Viralitas adalah hukum baru di era digital. Ia menentukan arah opini publik bukan berdasarkan kebenaran atau nilai substantif, melainkan berdasarkan intensitas penyebaran dan daya tarik emosional. Apa yang paling sering dibagikan dianggap penting, apa yang paling banyak ditonton dianggap benar, apa yang paling ramai diperbincangkan dianggap mewakili suara rakyat. 

Padahal, kebenaran tidak selalu sejalan dengan popularitas, dan kebijaksanaan sering kali berjalan sunyi, jauh dari sorotan kamera. Di sinilah letak persoalan mendasar: demokrasi virtual menciptakan logika yang terbalik, di mana yang bergaung lebih keras lebih dianggap bernilai, meskipun sering kali kosong dari makna.

Dalam dunia politik yang terikat pada logika viralitas, substansi tergeser oleh penampilan, kedalaman gagasan kalah oleh kelincahan retorika, dan program kebijakan yang matang kalah oleh slogan singkat yang mudah diingat. 

Para politisi pun beradaptasi dengan cepat terhadap irama baru ini. Mereka belajar bahwa kunci kemenangan tidak selalu terletak pada kemampuan menyusun strategi pembangunan, melainkan pada keterampilan menciptakan konten yang menggugah perasaan. Politik pun berubah menjadi arena pertunjukan, tempat setiap gerak dan kata dipoles agar tampak menarik di mata kamera, meski tanpa jaminan makna yang sejati.

Polarisasi dan Kerapuhan Demokrasi

Indonesia mengalami fenomena ini secara nyata. Setiap kali momentum politik tiba, media sosial menjadi riuh, seakan-akan nasib bangsa ditentukan oleh siapa yang paling ramai diperbincangkan di jagat maya. Debat calon pemimpin direduksi menjadi potongan-potongan singkat yang lebih mengedepankan dramatisasi daripada isi. 

Janji-janji politik lebih banyak dipertimbangkan berdasarkan kemasan visual ketimbang perhitungan rasional. Viralitas mengubah wajah demokrasi menjadi sekadar permainan citra, mengikis ruhnya yang seharusnya berorientasi pada kebijaksanaan.

Lebih jauh lagi, algoritma media sosial memperkuat kecenderungan ini dengan menciptakan gelembung informasi. Orang hanya melihat apa yang sesuai dengan kecenderungannya, hanya mendengar apa yang ingin ia dengar, dan hanya mempercayai apa yang memperkuat keyakinannya. 

Dialog yang mestinya menjadi roh demokrasi justru tereduksi, karena perbedaan tidak lagi dipandang sebagai bahan percakapan, melainkan sebagai pemicu permusuhan. Polarisasi politik pun semakin dalam, memperlemah kohesi sosial yang menjadi fondasi kebersamaan bangsa.

Jika fenomena ini dibiarkan, demokrasi berisiko kehilangan jiwanya. Demokrasi bukan lagi arena rasionalitas publik, melainkan arena pertarungan emosi. Rakyat yang seharusnya menjadi subjek politik justru berubah menjadi objek manipulasi. Suara rakyat tidak lagi lahir dari refleksi mendalam, melainkan dari dorongan sesaat akibat terpaan isu viral. Masa depan bangsa pun dipertaruhkan pada arus opini yang dangkal, mudah berubah, dan rapuh.

Jalan Kembali ke Kebijaksanaan

Meski demikian, demokrasi tidaklah kehilangan harapan. Justru dalam menghadapi tantangan ini, peluang perbaikan semakin mendesak untuk diwujudkan. Kunci utamanya terletak pada kemampuan kita untuk tidak menyerahkan demokrasi sepenuhnya pada logika viralitas. Demokrasi harus dikembalikan kepada nilai dasarnya, yakni ruang kebersamaan yang mengutamakan musyawarah, kebijaksanaan, dan tanggung jawab.

Masyarakat perlu dibekali dengan literasi digital yang kokoh. Literasi ini tidak sekadar teknis dalam memverifikasi informasi, melainkan juga etis dalam memanfaatkan kebebasan berekspresi. 

Setiap orang perlu disadarkan bahwa hak bersuara datang bersama tanggung jawab moral: tanggung jawab untuk menjaga martabat orang lain, tanggung jawab untuk tidak menyebarkan kebohongan, tanggung jawab untuk tidak memecah belah. Hanya dengan kesadaran etis semacam ini, demokrasi virtual dapat berubah menjadi sarana pendewasaan bersama, bukan sekadar ruang gaduh tanpa arah.

Pemimpin politik pun dituntut untuk keluar dari jebakan pragmatisme digital. Mereka harus menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari jumlah pengikut di dunia maya, melainkan dari kemampuan menegakkan keadilan di dunia nyata. 

Mereka harus berani menawarkan kebijakan yang mungkin tidak populer dalam hitungan hari, tetapi bermanfaat dalam hitungan generasi. Demokrasi membutuhkan pemimpin yang bersikap sebagai negarawan, bukan sekadar selebritas politik yang pandai memikat kamera.

Media sosial pada dirinya netral, tetapi penggunaan manusialah yang menentukan arahnya. Ia dapat menjadi sumber kebingungan, tetapi juga dapat menjadi sumber pencerahan. Ia dapat memecah belah, tetapi juga dapat memperkuat solidaritas. 

Karena itu, tantangan kita bukan menolak keberadaan media sosial, melainkan membimbingnya agar tetap selaras dengan cita-cita luhur demokrasi. Demokrasi virtual harus diarahkan untuk memperluas akses pengetahuan, memperkaya percakapan publik, dan memperdalam refleksi kolektif.

Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada pilihan kita. Apakah kita membiarkan demokrasi terperosok ke dalam tirani algoritma, ataukah kita mampu meneguhkan demokrasi sebagai sarana menuju peradaban yang adil dan bermartabat? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya terletak pada mekanisme pemilu atau regulasi, melainkan pada sikap kita sehari-hari dalam memandang politik, memanfaatkan media, dan menimbang kebenaran.

Demokrasi sejati hanya akan hidup jika rakyatnya berani menolak godaan viralitas yang dangkal dan memilih jalan kebijaksanaan yang lebih sepi tetapi lebih bernilai. Demokrasi akan kuat jika pemimpinnya memahami bahwa kekuasaan bukan panggung pertunjukan, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan sejarah. Demokrasi akan bermakna bila ruang publiknya bukan sekadar pasar opini, melainkan forum yang menumbuhkan kecerdasan, mempertemukan perbedaan, dan merajut keadilan.

Dengan demikian, demokrasi virtual tidak harus menjadi kuburan bagi kebijaksanaan, tetapi dapat menjadi ladang baru bagi tumbuhnya peradaban politik yang lebih dewasa. Syaratnya adalah kesediaan kita untuk menata kembali arah, mengendalikan diri dari euforia viralitas, dan menegakkan martabat manusia sebagai tujuan tertinggi. 

Demokrasi, pada akhirnya, bukanlah tentang siapa yang paling populer, melainkan tentang siapa yang paling bertanggung jawab. Bukan tentang suara siapa yang paling keras, melainkan tentang suara mana yang paling bijaksana.

Jika kebijaksanaan kembali ditegakkan sebagai penuntun, demokrasi virtual dapat menjadi kesempatan emas, bukan ancaman. Tetapi bila viralitas terus dibiarkan menjadi penentu utama, maka demokrasi akan kehilangan jiwanya dan berubah menjadi tirani algoritma. Tugas kita sebagai bangsa adalah memilih jalan yang benar, meski lebih sulit, demi masa depan yang lebih beradab.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menasihati Tetangga yang Mengalami Stres Oleh: Mohammad Fakhrudin Uraian di dalam kajian ini merup....

Suara Muhammadiyah

31 July 2025

Wawasan

Bahasa Indonesia di Era Digital: Antara Kreativitas dan Kelestarian Oleh: Dzar Al Banna, M.A., Koor....

Suara Muhammadiyah

10 August 2025

Wawasan

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia   Hari Pen....

Suara Muhammadiyah

13 May 2025

Wawasan

Ber-'Aisyiyah Sepanjang Usia Dr Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak, LPPA PWA Kalbar  Berkese....

Suara Muhammadiyah

20 May 2024

Wawasan

Zaman Asumsi dan Kaburnya Kebenaran Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta Kita hidup di zaman....

Suara Muhammadiyah

7 August 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah