Di Balik Musibah, Cerpen Papi Sadewa

Publish

6 September 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
67
Cerpen Di Balik Musibah

Cerpen Di Balik Musibah

Di Balik Musibah, Cerpen Papi Sadewa

Musim hujan memang hampir berakhir, tapi pagi itu Pak Hasan tidak surut sedikit pun menerobos derasnya hujan. Sungguh tidak biasanya. Sebagai tetangga saya hanya bertanya dalam hati, ada apa dengan beliau? 

Setelah adzan Subuh berkumandang saya segera menuju masjid dengan menggunakan payung begitu pula para tetangga juga menuju masjid untuk berjamaah. Bagi saya, Subuh kali ini ada keanehan. Biasanya Pak Hasan menempati shaf paling depan di tepi sebelah kanan. Dan pulangnya pasti bersama istrinya dengan tetap mengenakan mukena yang sedikit diangkat supaya tidak mengenai tanah. Pemandangan itu di pagi kali ini tidak ada. Ada apa?

“Wah segar–segar bayamnya, Buk?”, tanyaku pada Bu Hasan. 

“Alhamdulillah, Pak”, jawabnya pendek, dengan wajah menunduk, tanpa memandang saya. 

Saya terus meneruskan jalan kaki, menghirup udara segar. Wajah Bu Hasan yang tidak seperti biasanya menjadi pikiranku, jangan–jangan pertanyaanku tadi menyinggung perasaannya. 

***

Sekitar jam 07.00 pagi Pak Hasan tiba di rumah ibunya, Klaten. 

“Siapa ya?”, terdengar suara dari dalam. 

“Kembar, Buk”, Pak Hasan menjawab sambil melepas jas hujan. 

Bu Helmi Pratiwi penasaran dan terus menuju samping rumah menemui bapaknya kembar. 

“Naik apa, mbar?” 

“Naik motor, Buk” 

“Lho!” , Bu Helmi terkejut dan penasaran. 

“Sama siapa?” 

“Sendiri”, jawab Pak Hasan. 

“Lho!”, Bu Helmi semakin curiga, tetapi tidak melanjutkan pertanyaan. Terus kembali masuk rumah dengan dahi mengernyit, tidak ceria lagi. Di ruang makan, sambil mengaduk teh panas Bu Helmi kemudian menyajikan minuman pagi. 

“Mumpung masih panas, monggo diminum untuk menghangatkan tubuhmu”, kata Bu Helmi. 

“Iya, Buk. Alhamdulillah, terimakasih”, sahut Pak Hasan. 

Setelah berbincang–bincang sekitar 10 menit Bu Helmi mempersilahkan bapaknya kembar untuk berganti pakaian yang sedikit basah. Dan kemudian Bu Helmi keluar rumah, menuju warung. 

Di sepanjang jalan, sebagai orang tua Bu Helmi berpikir keras. Anakku ini pasti ada masalah. Sejak pernikahan dengan Ambar Arum setiap menengok ibu pasti berdua apalagi setelah lahir Tegar dan dua adiknya yang kembar. Pertanyaan semakin panjang, kenapa anakku ke sini pagi–pagi, naik motor dan kehujanan. Astaghfirullah semoga aku tetap tabah dan sabar. 

Malam harinya, sambil makan malam Bu Helmi mencoba bertanya, “Gimana usahamu disana, Mas?” 

“Sedang kurang baik, Buk”, jawab Pak Hasan. 

“Kurang baik gimana?”, tanya ibu. 

“Sudah 2 bulan ini, tanaman–tanaman di serang hama, daunnya menguning dan mati ” , jawab Pak Hasan. 

“Oh”, sahut Bu Helmi. 

“Karna itu saya ingin pulang saja menemani Ibu dan bertani di sini saja”, kata Pak Hasan. 

Jawaban terakhir itu membuat Bu Helmi terkejut, kok sesederhana itu. Lalu gimana dengan istri dan cucu-cucuku. Tak disadari air mata Bu Helmi menetes di pipi yang sudah mulai keriput. 

“Ya sudah, Ibu ke kamar dulu. Nanti terus istirahat ya”, begitu tuturnya sambil melangkah ke dalam. 

Tiga bulan berikutnya datanglah istri Pak Hasan dengan empat orang anaknya, saat Hari Raya itu. Barangkali istri Pak Hasan sudah menahan beban batin yang sulit diungkapkan sejak di perjalanan. 

“Maafkan saya, Pak”, kata Bu Ambar sambil mendekap dengan erat sambil menangis sesenggukan.

“Ya, ya”, sahut Pak Hasan dengan raut muka yang datar dan dingin. Kemudian Ana dan Ani langsung meluapkan rindu dan galaunya, mendekap erat – erat bapaknya sambil menangis tersedu – sedu. Pak Hasan hanya memeluk si kembar dengan erat. Tegar dan Kelik sambil menundukkan kepala menjabat tangan bapaknya erat–erat. 

Dari ruang dalam Bu Helmi melihat adegan menantu dan anak–anaknya di ruang tamu, meruntuhkan pertahanan selama ini. Air matanya tumpah membasahi pipi, sesekali diusap dengan ujung bajunya. Oh benar kan pasti ada masalah. Pasti bukan soal pertanian! 

Ternyata perpisahan suami istri itu sungguh berat, khususnya bagi anak–anaknya. Tak luput dari itu orang tua juga menahan beban batin, sekalipun anaknya tidak terus terang terhadap hal yang dialaminya. Apalagi perasaan Bu Ambar setelah ditinggal Pak Hasan harus bekerja keras untuk menghidupi dan membiayai sekolah anak–anaknya. Menjadi sulit memaknai air mata itu derita atau bahagia. Campur aduk lah yang dialami Bu Ambar. 

Setelah 3 bulan Tegar menjalani Diklat Polisi akhirnya diberi kesempatan untuk bertemu dengan orang tuanya. 

“Mana bapak, Buk?”, tanya Tegar setelah melihat ibunya datang sendirian. 

Spontan air mata Bu Ambar meleleh tapi diusahakan menjawab dengan kata yang terbata–bata.  

“Bapak di rumah, Mas”, jawab Bu Ambar menguatkan. 

Tiba–tiba Tegar memeluk dan bersujud di kaki ibunya sambil menangis. Barangkali membayangkan betapa indahnya jika dalam saat bahagia bisa berkumpul dengan kedua orang tuanya, seperti teman–teman yang lain. 

Menjelang akhir tahun, pertengahan Oktober, sekalipun sudah didampingi Tegar tapi Bu Ambar pagi ini sangat merasa bingung. Sebagai wali kedua putrinya tapi kok ditempatkan terpisah dengan wali wisudawan yang lain. 

Kemudian MC memanggil nama Ana Kanomi dan Ani Kanomi untuk maju kedepan. Keduanya mengenakan toga dan selempang Cumlaude. Dada Bu Ambar semakin berdegup dan air matanya menetes. 

“Andaikan ada bapak, alangkah bahagia hidup ibumu, Mas”, bisiknya pada Tegar. 

“Iya, Buk”, sahut Tegar lirih. 

Sesudah beberapa wisudawan khusus diteruskan wisudawan umum yang tidak memakai selempang. Melihat perbedaan tersebut Bu Ambar baru paham, ternyata kedua anaknya digolongkan sebagai mahasiswa berprestasi. Berkembanglah senyumnya dengan mata yang berbinar–binar. 

Pada hari ketiga sesudah kecelakaan itu kami berenam mencari bangsal Kalibiru. Kami bertanya kepada perawat yang piket sore itu dan ditunjukkanlah kamar pasien Ana Kanomi, di bangsal nomer 5. Perawat berpesan agar kami masuk satu per satu. 

Kebetulan saya masuk awal. Keadaan sungguh tak terduga dan mengagetkanku. Saya tidak bisa mengucap apapun, saya hanya menjabat tangan Bu Ambar dan tangan Pak Hasan yang duduk di ranjang pasien. Ia tak beranjak karena tangan kirinya dipegangi anaknya. Ana tidak bisa berbicara karena rahangnya sakit untuk digerakkan. Mungkin akibat benturan dengan batu kemarin. 

Sejak saat itulah Pak Hasan tak mau meninggalkan anaknya dan sepulang dari rumah sakit semua berkumpul kembali di rumah. Begitu pula Bu Helmi juga selalu menunggui cucunya di situ. 

Ah ternyata dengan adanya keretakan rumah tangga kadang kita sulit membedakan anugerah dan musibah, semua bisa menghadirkan air mata. Tapi pasti semua bisa kita ambil hikmahnya.• 

Wates, Maret 2023

Cerpen SM Edisi 09 tahun 2023


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Cerpen Diko Ahmad Riza Primadi Titik dan detik paling aman dunia adalah ketika matahari terbenam. S....

Suara Muhammadiyah

22 July 2023

Humaniora

Hajjah Hamdah: Perempuan Pengerak Berkemajuan Kalimantan Barat Oleh: Dr. Amalia Irfani, M. Si, LPPA....

Suara Muhammadiyah

7 April 2024

Humaniora

Meneladani Ghirah Perjuangan Menghidupkan PCIM-PCIA Malaysia dari Nita Nasyithah Oleh: Windu Wuland....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Humaniora

Washli Sjafie: Nusantarakan Pendidikan Muhammadiyah Kalimantan Barat Oleh: Amalia Irfani Keb....

Suara Muhammadiyah

6 October 2023

Humaniora

Ustad Hima, sebutan akrab yang melekat pada pria kelahiran 1 November 1967 ini. Dia bukan seorang us....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah