Husnudzan Berbeda dengan Positive Thinking

Publish

25 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
195
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Husnudzan Berbeda dengan Positive Thinking

Oleh: Hatib Rachmawan, Dosen Prodi Ilmu Hadis FAI, Universitas Ahmad Dahlan

Di tengah hiruk-pikuk interaksi sosial yang semakin kompleks, kita sering mendengar anjuran untuk selalu berhusnudzan, atau berpikir baik terhadap sesama. Di saat yang sama, ada pula anjuran yang tampaknya serupa: positive thinking. Kedua istilah ini kerap disamakan, dianggap sejenis, bahkan ditukar begitu saja dalam praktik kehidupan sehari-hari. Padahal, jika direnungkan lebih dalam, husnudzan dan positive thinking bukanlah hal yang identik. Keduanya lahir dari paradigma yang berbeda dan membawa implikasi yang tidak sama pula.

Banyak orang, karena ingin menjadi pribadi yang berprasangka baik, kemudian menyamakan husnudzan dengan sikap positif. Mereka mengira bahwa dengan menyangka orang lain baik, berarti mereka telah menerapkan positive thinking. Namun, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Ada banyak kasus di mana seseorang tampak baik di permukaan, namun ternyata hanya berpura-pura. Mereka menyembunyikan niat buruk di balik wajah ramah dan kata-kata manis. Maka, tak sedikit pula yang akhirnya tertipu. Tertipu karena menyangka seseorang jujur, padahal dia penipu ulung. Tertipu karena merasa dekat, padahal sedang dimanfaatkan. Dan yang lebih menyedihkan, semua itu terjadi karena sebuah prasangka yang dikira sebagai kebaikan.

Dzan Dalam Al-Qur'an

Mari kita menengok kembali pada Al-Qur'an, sebagai sumber petunjuk utama dalam hidup seorang Muslim. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 12, Allah dengan tegas melarang kita untuk katsīr minaz-zan, banyak berprasangka. Baik itu prasangka buruk (su’udzan), maupun prasangka yang tampaknya baik (husnudzan). Mengapa? Karena prasangka, pada hakikatnya, adalah penilaian yang dibangun tanpa data yang cukup. Ia lahir dari asumsi, dari dugaan, dari apa yang tampak—bukan dari apa yang benar. Dan setiap keputusan yang dibangun atas dasar prasangka, pada akhirnya akan merugikan. Entah merugikan diri sendiri, atau orang lain.

Imam Zainuddin Ar-Razi, dalam karya monumentalnya Muhtar As-Sihah, menjelaskan bahwa dzan adalah "pengetahuan yang tidak diyakini sebab tercampur dengan keraguan." Artinya, dzan bukanlah sebuah kepastian, melainkan campuran antara dugaan dan ketidaktahuan. Maka, baik itu husnudzan maupun su’udzan, keduanya berada di wilayah abu-abu yang tidak bisa dijadikan dasar dalam bertindak. Jika demikian, betapa berbahayanya jika kita menjadikan dzan sebagai fondasi keputusan. Karena bisa jadi, yang kita kira baik hanya sebatas ilusi, dan yang kita sangka jahat, justru orang paling tulus yang kita abaikan.

Dalam Perspektif Psikologi

Dalam pandangan psikologi sosial, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep fundamental attribution error—kesalahan mendasar dalam menilai karakter orang lain. Teori ini, sebagaimana dijelaskan oleh psikolog sosial Lee Ross, menunjukkan bahwa manusia cenderung menilai perilaku orang lain berdasarkan karakter pribadinya, dan bukan berdasarkan konteks situasi. Dengan kata lain, kita terlalu cepat menyimpulkan “dia baik” atau “dia jahat” hanya dari perilaku yang terlihat, padahal bisa jadi perilaku itu muncul karena tekanan atau situasi tertentu. Maka, prasangka baik sekalipun bisa menjadi jebakan jika tidak diimbangi dengan analisis situasional dan nalar kritis.

Di sinilah letak perbedaan mendasar antara husnudzan dan positive thinking. Positive thinking bukanlah prasangka. Ia adalah cara berpikir. Ia merupakan proses mental yang disertai analisis, data, kehati-hatian, dan antisipasi. Seseorang yang berpikir positif akan melihat kemungkinan baik di masa depan, tapi tidak menutup mata terhadap potensi masalah. Ia tetap realistis. Ia tidak naif. Ia tahu bahwa dunia ini tidak selalu seputih kapas, dan tidak semua orang setulus kata-katanya. Maka dari itu, positive thinking justru mendorong seseorang untuk bersikap waspada, antisipatif, dan preventif.

Psikolog ternama, Martin Seligman, dalam teori Learned Optimism-nya menjelaskan bahwa berpikir positif bukan berarti mengabaikan masalah atau bersikap denial, melainkan melatih diri untuk melihat peluang dan bertindak efektif di tengah tantangan. Seligman menekankan pentingnya optimisme yang rasional—yakni harapan yang ditopang oleh fakta dan strategi yang konkret. Inilah yang membedakan antara sekadar berprasangka baik dengan berpikir positif yang sehat.

Bayangkan seseorang yang sedang menjalin kerja sama bisnis dengan temannya sendiri. Karena bersikap positive thinking, dia tidak lantas percaya buta. Ia akan tetap menyusun nota kesepahaman (MoU), membuat perjanjian hitam di atas putih, menetapkan batas waktu dan tanggung jawab masing-masing. Bukan karena ia tidak percaya, tapi justru karena ia berpikir ke depan. Ia paham bahwa manusia bisa berubah. Ia tahu bahwa hubungan baik hari ini tidak menjamin tidak ada konflik esok hari. Maka, ia menyiapkan diri. Ia menciptakan sistem yang melindungi kedua belah pihak, tanpa kehilangan semangat positif.

Sebaliknya, seseorang yang salah kaprah memahami husnudzan, bisa saja mengabaikan langkah-langkah penting itu. Karena merasa dekat, merasa kenal, dan menyangka temannya jujur, ia pun melupakan prosedur. Ia tidak membuat perjanjian. Ia membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Dan saat masalah datang, saat janji tidak ditepati, ia hanya bisa terkejut, lalu menyesal. Dan anehnya, sebagian dari mereka malah merasa bersalah karena telah “tidak berprasangka baik.”

Psikolog Albert Ellis bahkan mengingatkan bahwa berpikir irasional—termasuk dalam bentuk kepercayaan tanpa dasar—bisa menjadi akar dari kecemasan, frustrasi, dan penderitaan. Dalam pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), Ellis mengajak orang untuk menguji pikiran-pikirannya secara kritis. Apakah ini logis? Apakah ini berdasarkan bukti? Ataukah ini hanya prasangka yang menyamar sebagai “sikap baik”?

Bagaimana Menyikapi Dzan

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi ini? Apakah kita tidak boleh lagi berhusnudzan? Bukan begitu. Husnudzan tetap dibutuhkan, terutama dalam menjaga hati agar tidak mudah su'udzan, agar tidak tergelincir dalam buruk sangka yang mencemari jiwa. Namun, husnudzan bukan alat pengganti nalar. Ia bukan alasan untuk menutup mata terhadap fakta. Husnudzan adalah adab hati, bukan pengganti logika. Maka, ia harus bersanding dengan positive thinking, bukan menggantikannya.

Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan prasangka, baik buruk maupun baik. Kita membutuhkan cara berpikir yang matang, sadar, dan berbasis data. Kita perlu menjadi pribadi yang optimis namun realistis, yang berhati lembut namun bersikap waspada. Karena kebaikan sejati bukanlah tentang selalu melihat yang baik, tetapi tentang mampu melihat kenyataan dengan jernih, lalu meresponnya dengan bijak.

Maka, mari kita jaga hati dengan husnudzan, dan arahkan pikiran dengan positive thinking. Dua hal ini, jika dipadukan dengan tepat, akan menjadikan kita pribadi yang kuat secara mental, dan bijak dalam bertindak. Bukan lagi pribadi yang mudah tertipu, tetapi pribadi yang tetap berbaik sangka, tanpa kehilangan akal sehat.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Anak Saleh (22) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

19 December 2024

Wawasan

Anak Saleh (1) Oleh: Mohammad Fakhrudin Ada tiga hal yang berpahala mengalir terus meskipun pelaku....

Suara Muhammadiyah

26 July 2024

Wawasan

Jihad Ekonomi Muhamadiyah Kalbar Oleh: Amalia Irfani Selalu banyak kebaikan yang akan di dapat saa....

Suara Muhammadiyah

1 October 2023

Wawasan

Praktik Baik Universitas Muhammadiyah Kupang Bina Desa Berkemajuan Oleh: Uslan, Ph.D, Ketua Prodi S....

Suara Muhammadiyah

10 December 2023

Wawasan

Memperingati Milad Muhammadiyah  ke-111 dan Milad UHAMKA ke-66 Oleh: Harinaredi, M.Pd Kesadar....

Suara Muhammadiyah

18 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah