In Memoriam Hakim Bismar Siregar : Dari Sipirok Menegakkan Keadilan dengan Hati
Oleh: Haidir Fitra Siagian
(Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar)
Terhitung tiga belas tahun lalu dari hari ini, saya menulis sebuah unggahan di media sosial untuk mengenang seorang tokoh hukum yang sangat menginspirasi, baik bagi kalangan mahasiswa, akademisi maupun praktisi hukum di tanah air. Meskipun saya tidak pernah bertemu langsung dengan beliau, sosoknya meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Unggahan itu saya beri judul: Setia Hingga Akhir, sebagai penghormatan kepada Hakim Bismar Siregar, seorang hakim yang dikenal karena keteguhan nuraninya dalam menegakkan keadilan. Dalam unggahan tersebut, saya juga membagikan artikel yang berjudul Cermin Kebeningan Nurani Hakim, yang kini sudah tidak bisa diakses.
Dalam unggahan tersebut, saya menambahkan sebuah foto seorang pria tua dengan peci hitam dan kacamata, sedang berbicara di depan mikrofon. Awalnya saya lupa siapa beliau. Namun setelah mencari tahu lebih lanjut, saya baru menyadari bahwa itu adalah Hakim Bismar Siregar, hakim agung yang wafat pada 19 April 2012. Saat beliau meninggal, saya tengah berada di Malaysia untuk melanjutkan studi doktoral di Universitas Kebangsaan Malaysia. Banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia telah kehilangan bukan hanya seorang pejabat tinggi peradilan, tetapi juga seorang sosok langka: hakim yang memutuskan perkara dengan hati nurani.
Nama Hakim Bismar Siregar pertama kali saya dengar pada suatu ketika dari komentar Karni Ilyas dalam acara Indonesia Lawyers Club. Karni menyebut Hakim Bismar sebagai "hakim langka" — bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena keberaiannya mendengarkan nurani dalam menegakkan hukum. Kalimat tersebut sangat menggugah hati saya. Sejak itu, saya semakin tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang beliau, yang membuat saya semakin menaruh rasa hormat terhadap beliau.
Hakim Bismar Siregar lahir di Baringin, Sipirok, Tapanuli Selatan pada 15 September 1928. Kebetulan sekali, kampung ini tidak asing bagi saya, karena letaknya yang dekat dengan desa asal kakek saya. Siapa sangka, dari desa kecil inilah lahir seorang tokoh besar yang kelak akan dikenang sebagai penjaga integritas hukum Indonesia. Dari Sipirok terdapat pula beberapa tokoh nasional; Arifin Siregar (mantan Gubernur Bank Indonesia), Hasrul Harahap (mantan Menteri Kehutanan), Raja Inal Siregar (mantan Gubernur Sumatra Utara). Juga pahlawan nasional, Prof. Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan seterusnya.
Dari berbagai sumber yang saya baca, diketahui bahwa perjalanan hukum Hakim Bismar dimulai di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kemudian beliau melanjutkan pendidikan di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat dan Belanda. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, beliau mengabdikam diri di dunia peradilan, dengan karier yang cemerlang hingga menduduki jabatan penting sebagai hakim agung di Mahkamah Agung. Namun, yang membuat Hakim Bismar istimewa bukan hanya gelarnya, melainkan keberaniannya untuk memihak pada keadilan, bukan sekadar mengikuti teks hukum.
Salah satu kasus yang terkenal adalah ketika Hakim Bismar memvonis seorang pria atas dasar "pencurian kehormatan" karena memperdaya seorang perempuan dan meninggalkannya. Hakim Bismar menafsirkan bahwa keperawanan memiliki nilai sosial yang besar, dan tindakan pria tersebut adalah pencurian. Meskiipun putusan ini kontroversial dan dibatalkan di tingkat banding, keberanian Hakim Bismar untuk memperluas tafsir hukum demi keadilan menginspirasi banyak orang. Dalam kasus lain, Hakim Bismar juga menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada seorang kepala sekolah yang mencabuli siswinya — dari hanya tujuh bulan menjadi tiga tahun penjara. Keputusan ini adalah keputusan yang langka, yang mencerminkan keberpihakan beliau pada perlindungan anak jauh sebelum isu ini menjadi sorotan publik.
Hakim Bismar dikenal dengan pendekatannya yang humanis terhadap hukum. Ia percaya bahwa hukum harus selalu berhubungan dengan konteks sosial. Dalam ceramah dan tulisannya, ia sering menekankan pentingnya "hukum yang hidup dalam masyarakat". Ini adalah sebuah pendekatan yang mengabungkan aturan tertulis, kebijaksanaan lokal, dan suara hati. Bagi Hakim Bismar, hukum bukan hanya soal peraturan yang berlaku, melainkan bagaimana hukum tersebut berfungsi dalam realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Setelah pensiun dari Mahkamah Agung pada 1995, semangat Hakim Bismar untuk mengabdi tidak pernah padam. Beliau tetap aktif menulis, memberikan kuliah, dan terlibat dalam berbagai kegiatan hukum. Salah satu kontribusinya yang penting adalah keterlibatannya dalam mendirikan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di pengadilan, sebuah inisiatif untuk memberikan akses keadilan bagi masyarakat yang kurang mampu. Selain itu, beliau menulis sejumlah buku yang menjadi warisan pemikirannya, seperti Membangun Hukum yang Hidup, yang membahas tentang pentingnya hukum yang adaptif dengan perubahan sosial dan Integritas dalam Hukum, yang mengajak pembaca untuk memandang hukum dari perspektif moral dan etika.
Di usia senjanya, Hakim Bismar tetap menunjukkan kepeduliannya terhadap keadilan. Beliau pernah datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali Yafie untuk memberikan dukungan moral dalam kasus Bank Century. Tindakan ini menunjukkan bahwa komitmen beliau terhadap keadilan tak pernah surut, meskipun sudah pensiuan. Melalui seluruh kiprahnya, Hakim Bismar Siregar tak pernah benar-benar berhenti dari tugas moralnya. Terus berada di barisan depan dalam perjuangan menegakkan hukum yang adil,bersih, dan berpihak pada yang lemah.
Kini, tiga belas tahun setelah kepergiannya, warisan pemikiran dan semangat perjuangannya masih dikenang. Dalam dunia yang sering kali tergoda oleh kompromi, Hakim Bismar Siregar tetap menjadi mercusuar, mengingatkan kita bahwa keadilan sejati memerlukan keberanian, empati, dan integritas.
Jika Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dikenal memiliki Baharuddin Lopa sebagai jaksa dengan integritas yang sangat tinggi, Sumatra Utara pun memiliki Hakim Bismar Siregar yang memiliki integritas serupa sebagai hakim. Kedua sosok ini sering disandingkan sebagai figur terhormat dalam dunia peradilan Indonesia, dihormati bukan hanya karena kedudukan mereka, tetapi juga karena komitmnen mereka yang kuat dalam menegakkan keadilan. Catatan : artikel ini disarikan dari berbagai sumber. ***.
Samata Gowa, 19 April 2025