Ketika Keadilan Dunia Dikunci Hak Veto Negara-negara Adikuasa

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
115
Amerika - China

Amerika - China

Oleh: Kumara Adji Kusuma

Ketika dunia berdiri di atas puing-puing Perang Dunia II, lahirlah sebuah harapan besar: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi ini dimaksudkan sebagai tumpuan perdamaian dan keadilan global, sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa yang gagal mencegah dua perang dunia. Namun seiring waktu, idealisme itu berkali-kali dihantam oleh kenyataan keras: sistem kekuasaan yang timpang, terpusat pada segelintir negara yang memegang hak istimewa—hak veto.

Hak veto merupakan kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis. Dengan satu suara "tidak", negara ini dapat membatalkan keputusan yang didukung mayoritas negara anggota, bahkan jika 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan sepakat. Dengan kata lain, satu negara dapat menggagalkan upaya bersama seluruh dunia, hanya demi kepentingan nasionalnya.

Seperti halnya baru baru ini pada 4 Juni 2025, Amerika Serikat kembali menggunakan hak veto untuk memblokir rancangan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyerukan gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen di Gaza. Padahal, resolusi itu sudah didukung oleh 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB.

Di awal sejarahnya, hak veto dirancang demi stabilitas. Para pendiri PBB menyadari bahwa jika negara-negara besar tidak merasa aman dalam sistem internasional, mereka bisa bertindak di luar sistem itu—melakukan agresi, membentuk aliansi tandingan, bahkan menciptakan tatanan baru. Maka, demi mencegah konflik besar, disusunlah sistem kompromi: kekuatan besar diberikan hak istimewa agar mau tetap terlibat. Namun, delapan dekade kemudian, hak veto justru menjadi hambatan utama bagi tercapainya keadilan dan perdamaian dunia yang lebih setara.

Palestina: Kisah yang Terhenti oleh Satu Kata "Tidak"

Tak ada contoh yang lebih nyata tentang ketimpangan ini selain kasus Palestina. Sejak deklarasi negara pada tahun 1988, Palestina terus berjuang mendapatkan pengakuan penuh di kancah internasional. Pada 2012, Majelis Umum PBB memberikan status "negara pengamat non-anggota" kepada Palestina—status yang dimiliki Vatikan—dengan dukungan 138 negara. Namun status ini tetap tidak memberikan hak suara dalam sidang Majelis maupun keanggotaan penuh dalam organisasi-organisasi PBB lainnya.

Untuk menjadi anggota penuh, Palestina memerlukan dua hal: rekomendasi dari Dewan Keamanan dan persetujuan dua pertiga dari Majelis Umum. Rintangan utama selalu ada pada tahap pertama: rekomendasi Dewan Keamanan. Setiap kali mayoritas anggota Dewan mendukung, satu negara, yaitu Amerika Serikat, mengangkat tangan dan berkata “tidak”.

Terakhir, pada 18 April 2024, Palestina kembali mengajukan permohonan menjadi anggota penuh PBB. Sebanyak 12 dari 15 anggota Dewan Keamanan menyatakan dukungan, dua abstain, dan satu negara—AS—menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan upaya tersebut. Dengan satu kata “tidak”, harapan puluhan juta rakyat Palestina kembali tertahan. Proses yang mestinya menjadi peneguhan legitimasi internasional justru berubah menjadi pentas politik unilateral.

Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, juga kerap menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi yang mengecam pembangunan permukiman ilegal di wilayah pendudukan, mengecam kekerasan terhadap warga sipil Palestina, bahkan menolak penyelidikan atas potensi kejahatan perang di Gaza. Padahal, laporan berbagai lembaga independen—termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International—telah memuat bukti kuat bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang serius dan sistematis.

Dunia yang Tak Lagi Proporsional

Hak veto telah lama menjadi simbol ketimpangan dalam tatanan global. Negara-negara besar yang memegang hak veto merupakan pemenang Perang Dunia II. Namun apakah konfigurasi geopolitik dunia tidak berubah sejak 1945?

Populasi dunia saat ini lebih dari 8 miliar jiwa. India, negara demokrasi terbesar di dunia, dengan 1,4 miliar penduduk, tak punya tempat di Dewan Keamanan. Begitu pula Brasil, Afrika Selatan, Indonesia, Jepang, bahkan Jerman yang merupakan kekuatan ekonomi utama dunia. Tidak satu pun dari negara-negara ini memiliki suara dalam pengambilan keputusan strategis di Dewan Keamanan. Mereka bisa saja duduk sebagai anggota tidak tetap selama dua tahun, tapi tetap tidak punya kekuatan untuk menandingi veto.

Ibarat dunia sedang mengatur ulang arah kapal besar, namun kemudi utama tetap dikunci oleh lima negara yang sudah uzur secara geopolitik. Akibatnya, dunia sering terjebak dalam kebuntuan. Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, Rusia menggunakan hak veto untuk menggagalkan semua resolusi yang menentangnya. Ketika Tiongkok mendapat sorotan terkait pelanggaran HAM di Xinjiang, hak veto lagi-lagi menjadi tameng.

Keadilan yang Ditunda, Harapan yang Dikubur

Veto bukan hanya soal prosedur diplomatik. Ia berdampak langsung pada kehidupan nyata. Dalam krisis kemanusiaan, veto kerap menghambat pengiriman bantuan, memperlambat gencatan senjata, atau menutup pintu penyelidikan kejahatan perang.

Di Suriah, misalnya, Rusia dan Tiongkok telah lebih dari selusin kali memveto resolusi yang ditujukan untuk menghentikan kekerasan, membuka akses bantuan, atau menyelidiki penggunaan senjata kimia. Akibatnya, jutaan warga sipil menjadi korban tanpa perlindungan nyata dari lembaga internasional.

Di Myanmar, krisis Rohingya menjadi sorotan global, namun upaya mengintervensi secara sah lewat PBB terhambat karena kekhawatiran veto oleh negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut. Di Yaman, konflik berkepanjangan juga tak kunjung menemukan resolusi konkret akibat tarik-menarik politik antar-kekuatan besar.

Semua ini menandakan satu hal: veto tidak lagi menjadi alat untuk menjaga stabilitas, tapi telah menjelma menjadi benteng impunitas bagi pelaku kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan struktural.

Mungkinkah Veto Direformasi?

Secara hukum, penghapusan hak veto nyaris mustahil. Piagam PBB menetapkan bahwa amandemen terhadap hak istimewa ini harus disetujui oleh dua pertiga negara anggota, termasuk lima negara pemegang veto itu sendiri. Artinya, negara yang diuntungkan oleh sistem harus secara sukarela melepaskan keuntungannya. Ini seperti meminta raja untuk menyerahkan mahkotanya tanpa perlawanan.

Namun tekanan publik dan diplomasi moral tidak boleh berhenti. Sudah ada berbagai proposal reformasi Dewan Keamanan. Salah satunya adalah pembatasan penggunaan veto dalam kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran HAM berat. Usulan lainnya adalah kewajiban negara yang menggunakan veto untuk memberikan penjelasan terbuka di hadapan Majelis Umum. Selain itu, ada pula wacana untuk memperluas keanggotaan Dewan Keamanan tetap agar mencerminkan realitas geopolitik masa kini.

Bahkan di tingkat masyarakat sipil, kampanye seperti “Uniting for Peace” mulai kembali digelorakan. Resolusi Majelis Umum tahun 1950 ini memungkinkan Majelis mengambil tindakan kolektif jika Dewan Keamanan gagal bertindak akibat veto.

Menatap Masa Depan yang Lebih Adil

Palestina hanyalah satu dari sekian banyak korban sistem global yang timpang. Dunia membutuhkan sistem multilateral yang benar-benar mewakili suara seluruh umat manusia, bukan hanya elite geopolitik pasca-Perang Dunia II.

Di tengah ketidakpastian global—mulai dari perubahan iklim, krisis pangan, konflik bersenjata hingga bencana kemanusiaan—dunia butuh tatanan baru yang lebih adil, transparan, dan manusiawi. Reformasi hak veto adalah langkah awal, bukan satu-satunya solusi. Tapi selama kekuasaan absolut ini masih dipertahankan, upaya kolektif dunia akan selalu rentan dibatalkan oleh kepentingan segelintir negara.

Keadilan bukan hasil dari konsensus para penguasa, melainkan buah dari keberanian kolektif untuk melawan ketimpangan. Perubahan tak akan datang jika kita berhenti berharap. Namun harapan saja tak cukup. Lantas, apakah perlu tragedi selevel Perang Dunia II untuk menciptakan sebuah tatanan baru itu? Tentu tidak. Karenanya kita perlu tindakan nyata, suara yang terus disuarakan, dan solidaritas global yang tak lekang oleh veto.

Kumara Adji Kusuma, Akademisi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Sidoarjo

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Kenaikan Isa dalam Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas M....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Wawasan

Oleh: Afghan Azka Falah, Mahasiswa Magister Bioetika UGM Bioetika adalah disiplin ilmu yang mengkaj....

Suara Muhammadiyah

2 December 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mari kita bedah lebih dalam sal....

Suara Muhammadiyah

9 May 2025

Wawasan

Tidak Berhenti Pada Jilbab Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Ta....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Ketika Punakawan Harus Ikut Cacut Tali Wanda Oleh: Rumini Zulfikar Dalam pewayangan, kita mengenal....

Suara Muhammadiyah

12 February 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah