Melawan Kasta, Merangkul Persaudaraan

Publish

17 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
32
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Melawan Kasta, Merangkul Persaudaraan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Meskipun Islam menentang keras hierarki kasta, di mana manusia dikelompokkan menjadi kasta-kasta dan sebagian orang dianggap terbuang, kenyataannya banyak Muslim yang hidup di wilayah dengan budaya kasta juga terpengaruh oleh cara berpikir tersebut. Ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial punya dampak besar pada keyakinan seseorang.

Kalau kita kembali ke ajaran inti Al-Qur'an, kita akan menemukan bahwa semua manusia adalah setara di hadapan Tuhan. Surah ke-49, ayat 11, menjelaskan bahwa Allah menciptakan kita dari laki-laki dan perempuan, lalu membagi kita menjadi bangsa dan suku, bukan untuk saling membeda-bedakan, melainkan agar kita saling mengenal. Ayat tersebut dengan jelas menyatakan, 'Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.' Ini bukan tentang garis keturunan atau status sosial, melainkan tentang kesadaran dan ketaatan kepada-Nya.

Bahkan dalam Surah ke-30, Al-Qur'an menyebutkan bahwa perbedaan bahasa dan warna kulit kita adalah tanda kebesaran Sang Pencipta. Jadi, tidak ada alasan untuk merasa lebih unggul dari orang lain hanya karena warna kulit, bahasa, atau asal usul kita. Kemuliaan sejati datang dari seberapa dekat kita dengan Tuhan, dan bagaimana kita menjalankan perintah-Nya.

Islam benar-benar menekankan kesetaraan yang mendalam. Coba perhatikan ibadah kita. Dalam salat atau haji, semua orang didorong untuk berbaur tanpa sekat. Anda bisa melihat seorang jutawan kaya raya salat berdampingan dengan seorang miskin, dan tidak ada perbedaan status sama sekali. Bahkan ketika seseorang meninggal, mereka semua dibungkus dengan kain kafan putih yang sama—sangat sederhana dan seragam. Di hadapan Tuhan, semua manusia sama.

Kisah Malcolm X—yang kemudian dikenal sebagai Malik Shabazz—adalah bukti hidup bagaimana Islam mengubah pandangan seseorang tentang kesetaraan. Sebelum masuk Islam, ia adalah sosok penting dalam gerakan yang sangat fokus pada pemberdayaan orang kulit hitam, sebuah respons langsung terhadap rasisme yang telah lama merusak Amerika. Gerakannya sangat berlandaskan identitas ras, memandang Islam sebagai alat untuk mengangkat martabat kaumnya.

Namun, semua itu berubah saat ia menunaikan ibadah haji. Di sana, ia terkejut melihat komunitas Muslim yang begitu luas dan beragam. Ia berada di tengah-tengah jutaan orang dari setiap sudut dunia—putih, hitam, Asia, Eropa—semuanya bersatu dalam satu tujuan. Pengalaman ini membuka matanya dan membuatnya sadar bahwa ajaran Islam yang ia anut tidak membutuhkan penekanan rasial yang ekstrem. Kesetaraan sejati sudah ada dan tertanam kuat dalam inti ajaran Islam. Ia menyadari bahwa persaudaraan yang ia cari bukanlah eksklusif untuk satu ras, melainkan sebuah ikatan universal yang melampaui warna kulit.

Kisah Malcolm X menjadi bukti nyata keindahan ajaran Islam. Di tengah perjalanannya menunaikan haji, ia menemukan sebuah kebenaran yang mengubah hidupnya. Dalam suratnya yang ikonik kepada sang istri, Betty, ia mengutarakan kekagumannya yang mendalam. Ia bercerita tentang pengalamannya makan dan tidur di karpet yang sama dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia—dari kulit yang paling putih hingga mata yang paling biru.

Latar belakangnya yang penuh dengan rasisme di Amerika membuat momen ini terasa begitu luar biasa. Ia tak pernah menyangka bisa menemukan kesetaraan sejati seperti ini. Di Mekkah, ia melihat bagaimana Islam meleburkan semua sekat ras, warna kulit, dan status sosial. Pengalaman spiritual di Tanah Suci ini membuktikan kepadanya bahwa Islam adalah satu-satunya ajaran yang mampu menyatukan manusia tanpa memandang perbedaan lahiriah.

Simbol kesetaraan ini begitu nyata dalam setiap ritual. Saat haji, setiap pria diwajibkan memakai dua lembar kain putih yang tidak berjahit, sebuah pakaian yang disebut ihram. Pakaian sederhana ini melenyapkan semua tanda kekayaan dan kedudukan. Di sana, seorang raja akan tampak sama persis dengan seorang pengemis, keduanya berdiri sebagai hamba yang setara di hadapan Sang Pencipta.

Kesederhanaan ini juga terus berlanjut hingga akhir hayat. Saat seseorang meninggal, mereka tidak dibungkus dengan kain sutra atau pakaian mewah, melainkan dengan kain kafan putih yang sederhana. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa di akhirat, semua status duniawi kita tidak lagi berarti. Yang membedakan kita di mata Tuhan hanyalah kebaikan dan ketakwaan yang kita miliki. Dengan demikian, Islam tidak hanya mengajarkan kesetaraan, tetapi juga menerapkannya secara fundamental dalam setiap aspek kehidupan dan kematian, membuktikan bahwa ajaran ini memang berasal dari Tuhan, bukan buatan manusia.

Inilah mengapa kesetaraan adalah salah satu daya tarik terbesar Islam. Kesetaraan ini terasa begitu alami dan ilahi, bukan buatan manusia. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat menciptakan harmoni rasial dan keadilan yang sejati di dunia.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Manusia Komunis Oleh: Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Sby, UM-Tangerang, dan UIN Syahid Jakart....

Suara Muhammadiyah

20 September 2024

Wawasan

Maulid dan Transformasi Profetik: Agenda Indonesia Beradab Abdur Rauf Labib Ramdhany, M.Si, Dosen A....

Suara Muhammadiyah

4 September 2025

Wawasan

Al Baik: Fenomena Kuliner yang Tak Tergoyahkan Oleh: Donny Syofyan,Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unive....

Suara Muhammadiyah

7 April 2025

Wawasan

Muhammadiyah dan Gerakan Anti Korupsi: Menegakkan Integritas untuk Indonesia Bermartabat Oleh: Sole....

Suara Muhammadiyah

15 August 2025

Wawasan

Membedah Rahasia Strategi Dakwah Kelompok Salafi Oleh : M.U. Al Faruqi, Demisioner Sekretaris Umum ....

Suara Muhammadiyah

10 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah