Menguak Harmoni Tersembunyi dalam Al-Qur'an: Perspektif Baru dari Raymond Farrin
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya ingin berbagi pandangan saya mengenai buku Structure and Qur’anic Interpretation: A Study of Symmetry and Coherence in Islam's Holy Texts (2014) karya Raymond Farrin. Buku ini menawarkan analisis sastra yang mendalam tentang Al-Qur'an, dengan penekanan pada hubungan antara semua bab dan ayatnya serta pesan kontekstual yang lebih luas.
Buku ini ditulis oleh Raymond Farrin, seorang profesor madya bahasa Arab di Universitas Amerika Kuwait. Ini adalah sebuah karya yang inovatif dan signifikan. Saya berharap buku ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga para sarjana Arab juga dapat melihat Al-Qur'an dari perspektif yang segar ini. Perspektif yang dihadirkan Farrin merupakan pendekatan baru yang telah berkembang berkat kontribusi banyak ilmuwan yang ia kutip. Namun, Farrin berhasil menyusun karya ini dengan cara yang memungkinkan kita mengapresiasi keindahan dan harmoni struktur Al-Qur'an secara menyeluruh.
Di kalangan sarjana Muslim, pertanyaan tentang susunan Al-Qur'an telah lama muncul. Mengapa satu surah diletakkan sebelum atau sesudah surah lainnya? Sayangnya, sejarah Islam klasik hanya memberikan sedikit jawaban. Baru pada abad ke-15, Al Biqa'i dan Imam Jalaluddin Suyuti mulai mengeksplorasi lebih dalam tentang hal ini. Bahkan dalam tafsir besar seperti Imam Ar Razi, jarang sekali ditemukan pembahasan mendalam tentang hubungan antar ayat, bagaimana satu ayat berkaitan dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Tafsir pada masa itu cenderung membahas ayat per ayat, secara terpisah.
Baru di era modern, Amin Ahsan Islahi memperkenalkan konsep "tadabbur" atau perenungan mendalam tentang Al-Qur'an, yang mengungkap keterkaitan antar surah. Mustansir Mir melanjutkan pemikiran ini dalam bukunya. Menariknya, minat terhadap studi koherensi Al-Qur'an ini juga terlihat di kalangan non-Muslim. Michel Cuypers, seorang sarjana Prancis, dan Raymond Farrin telah memberikan kontribusi besar dalam bidang ini.
Kontribusi paling signifikan dari Raymond Farrin adalah konsep "komposisi cincin" (ring composition). Beberapa karya klasik juga disusun dengan pendekatan serupa, dan ini telah dianalisis oleh sejumlah sarjana dalam konteks karya-karya lain. Dalam konsep komposisi cincin, idenya adalah, seperti dalam esai akademik di mana pendahuluan dan kesimpulan harus saling terhubung, ada semacam siklus atau lingkaran yang lengkap. Pada akhirnya, pembaca merasa mereka kembali ke titik awal, menciptakan kesan 'lingkaran penuh.' Namun, dalam komposisi cincin, ada lebih dari sekadar kesimpulan yang kembali ke awal. Justru di tengah struktur itulah makna utama ditemukan dan ditekankan.
Apa yang Farrin temukan adalah bahwa banyak bab dalam Al-Qur'an memiliki struktur ini. Dia menunjukkan bahwa ada tiga pola utama yang sering muncul. Pertama, bagian kedua dari suatu bab akan mencerminkan bagian pertama dalam urutan yang sama. Misalnya, jika kita membagi bab menjadi empat bagian—A, B, lalu A dan B akan berulang lagi, atau dengan variasi kecil seperti "A pelengkap, B pelengkap." Namun, ada juga pola chiastic, di mana urutannya terbalik. Misalnya, Anda bisa punya A, B, kemudian di tengah B akan melengkapi A di bagian akhir.
Pendekatan yang lebih kompleks lagi adalah pola konsentris, inti dari komposisi cincin. Di sini, makna utama atau poros berada di tengah—disebut C—dan menghubungkan serta menyeimbangkan keseluruhan struktur. Jadi, strukturnya akan terlihat seperti A, B, C, lalu B pelengkap dan A pelengkap, dengan lima bagian total, tetapi bisa lebih banyak lagi, seperti sepuluh atau bahkan lebih. Farrin menunjukkan bahwa struktur seperti ini hadir di banyak bab dalam Al-Qur'an.
Yang menakjubkan dari Al-Qur'an adalah harmoni dan keindahannya yang tersembunyi. Bab-bab panjangnya ternyata memiliki struktur cincin yang rumit, bahkan terkadang ada "cincin di dalam cincin di dalam cincin". Bayangkan, Nabi Muhammad menjawab pertanyaan selama 23 tahun, dan semua itu tersusun menjadi komposisi yang begitu indah. Ini menunjukkan betapa luar biasanya beliau.
Tidak hanya itu, setiap bab memiliki komposisi cincinnya sendiri. Kemudian, bab-bab ini dipasangkan dan dihubungkan lagi membentuk kelompok yang lebih besar. Seluruh Al-Qur'an dibagi menjadi 19 kelompok bab, dengan bab pengantar dan dua doa penutup. Kelompok-kelompok ini diatur sedemikian rupa sehingga ada satu kelompok di tengah (kelompok ke-10), dan sisanya (18 kelompok) begitu seimbang, terbagi menjadi 9 dan 9. Bahkan, kelompok-kelompok ini saling mencerminkan, seperti kelompok pertama dan ke-19, kelompok ke-2 dan ke-18, dan seterusnya.
Penemuan ini sungguh menarik dan membangkitkan rasa ingin tahu kita untuk terus menggali keajaiban Al-Qur'an. Buku ini mudah dipahami, meskipun temanya cukup rumit. Untuk pemahaman lebih mendalam, sebaiknya Anda membaca buku ini sambil membuka Al-Qur'an, karena buku ini banyak merujuk pada nomor-nomor bab. Namun, jika Anda hanya ingin membaca santai, buku ini juga cocok karena ditulis dengan gaya populer, meskipun temanya ilmiah. Penulis berhasil menyeimbangkan antara konten ilmiah dan gaya penulisan yang mudah dicerna.
Salah satu hal menarik yang perlu diperhatikan adalah penulis berpendapat bahwa bab pertama Al-Qur'an hanya memiliki enam ayat. Untuk mencapai kesimpulan ini, penulis tidak memasukkan basmalah sebagai ayat Al-Qur'an. Meskipun ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang status basmala, namun secara umum disepakati bahwa Surat al-Fatiha memiliki tujuh ayat, baik dengan atau tanpa menghitung basmala. Penulis tampaknya ingin agar surat pertama seimbang dengan surat terakhir yang memiliki enam ayat, yakni Surat An-Nas.
Penulis buku ini sangat teliti dalam menganalisis struktur Al-Qur'an, bahkan terkadang terlalu fokus pada presisi matematis. Padahal, yang penting adalah melihat keindahan struktur keseluruhannya, meskipun tidak selalu sempurna secara matematis. Penemuan struktur ini bukanlah hal yang mudah, membutuhkan waktu berabad-abad penelitian.
Penulis telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, tetapi terkadang terlalu terpaku pada detail kecil. Seperti seorang pemukul baseball yang berhenti untuk mengagumi pukulannya, padahal seharusnya dia terus berlari menuju tujuan utama. Dalam hal ini, tujuannya adalah menunjukkan bahwa Al-Qur'an memiliki struktur yang indah, bukan untuk memaksakan struktur tertentu pada Al-Qur'an.
Kita telah melihat bahwa jumlah ayat Surat al-Fatiha yang tujuh memiliki makna matematis yang penting. Oleh karena itu, kita tidak perlu mengubahnya menjadi angka lain hanya demi mencapai presisi matematis yang sempurna.