Oleh: Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Al-Qur`an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara bertahap selama 23 tahun. Tulisan ini hendak mengurai sedikit peristiwa di balik turunnya ayat-ayat tertentu. Mengetahui peristiwa-peristiwa ini akan membantu kita memahami maknanya. Sebagai contoh adalah ayat ke-104 surah Al-Baqarah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih”
Kedengarannya berulang, tetapi ada dua kata berbeda di sini dalam bahasa Arab. Yang satu رَاعِنَا (raa’inaa) dan yang lainnya انْظُرْنَا (unzhurnaa). Kata pertama (رَاعِنَا) yang digunakan memiliki arti ganda dalam bahasa serumpun dan bahasa Ibrani. Beberapa penutur bahasa serumpun Arab itu mendatangi Nabi dan mengucapkannya dengan maksud bahwa dalam bahasa mereka kata itu memiliki arti ganda. Itu berarti memandang seolah-olah Anda seperti orang yang menggembalakan domba, tetapi juga bisa memiliki arti orang jahat. Mereka datang dan dengan cara yang sinis berkata “raa'inaa.” Sebetulnya mereka bermaksud yang lainnya. Mereka tertawa sendiri seolah-olah berujar, “Kita berhasil menipu Muhammad dengan membuatnya merasa senang, padahal kita punya maksud yang berbeda.”
Orang-orang beriman diberi tahu sebaliknya, bahwa ketika mereka berbicara kepada Nabi, jangan katakan رَاعِنَا karena orang lain akan mencibir dan terkekeh. Mereka perlu mengatakan sesuatu yang netral dengan arti yang sama, yakni انْظُرْنَا. Dengan ucapan ini, seorang Mukmin tidak menciptakan situasi di mana orang menertawakannya, Islam, Nabi SAW dan sebagainya.
Mengetahui kisah di balik pewahyuan ini mengantarkan kita memahami ayat-ayat yang diturunkan. Jika tidak, terjemahannya boleh jadi bakal terlihat aneh. Surah ke-58 Al-Quran dimulai dengan mengatakan, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”
Ada cerita di balik ayat ini tentang seorang wanita yang mengeluh kepada Nabi Muhammad tentang suaminya. Al-Qur`an di sini memberikan komentar tentang itu dan meyakinkan umat bahwa Allah mendengarkan permohonan orang seperti itu dalam situasi rumah tangga. Kehadiran Al-Qur`an itu menarik karena ia bukanlah sederetan peraturan sederhana yang mungkin terasa kering.
Boleh jadi ada sementara pihak yang menganggap isu rumah tangga, semisal keluhan istri terhadap suaminya, bukan perkara serius untuk dibahas dalam Al-Qur`an. Atau mereka menganggap ini bukan masalah urgen dan kebanyakan orang mungkin tidak membutuhkannya. Mereka berpendapat cukup banyak berdoa saja agar tidak ada yang membutuhkan ini karena semua situasi rumah tangga harmonis. Orang-orang bahagia, tidak ada yang perlu mengeluh. Seolah-olah ini tidak tampak relevan bagi semua orang. Sebaliknya, sikap Al-Qur`an yang menyapa masalah ini menjadikannya menjadi kitab suci yang hidup.
Seiring dengan bulan Ramadhan, menarik untuk mengetahui bahwa ayat-ayat tentang puasa, terutama terkait dengan peristiwa di balik turunnya wahyu. Al-Qur`an ayat 187 berbicara tentang makan dan minum di malam hari. Anda mungkin berkata, “Pesannya cukup sederhana. Kita tahu bahwa puasa mengharuskan orang untuk tidak makan pada siang hari dan tentu saja sebaliknya, kita bisa makan pada malam hari. Jadi tidak masalah, bukan?”
Hal ini tidak mudah dipahami sebelum ayat tersebut diwahyukan. Orang-orang pada waktu itu berpikir bahwa puasa memerlukan kebiasaan aneh dari sudut pandang kita, yaitu jika seseorang tidur, dia tidak bisa lagi makan setelah bangun di malam atau pagi hari. Sekarang jika Anda tertidur dan terbangun di tengah malam, Anda masih boleh makan sebelum masuknya waktu shalat subuh.
Kemudian Al-Qur`an hadir memberikan instruksi yang bertentangan dengan praktik umum yang sudah ada sebelumnya, yaitu, “Maka makan dan minumlah hingga benang putih fajar terlihat jelas dari benang hitam malam.” Lalu kita melanjutkan puasa sampai terbenamnya mata hari. Karenanya, Al-Qur`an telah mengklarifikasi di sini bahwa Anda sebenarnya bisa makan atau minum di malam hari.
Membaca tafsir Al-Qur`an akan memberi kita pemahaman tentang peristiwa pewahyuan. Anda bisa mengerti mengapa sekarang penting bagi kita untuk membaca tafsir. Dengan membaca tafsir kita bisa mengetahui apa dan kapan peristiwa-peristiwa tertentu ketika ayat-ayat tertentu diwahyukan.
Sekarang mari kita lihat ayat 158 dari surah Al-Baqarah. Disebutkan tentang Shafa dan Marwah. Ini adalah dua bukit yang termasuk di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Tanda-tanda Allah dari perspektif Al-Qur`an merujuk kepada semua ciptaan-Nya. Ini semua mengingatkan kita tentang keagungan dan kemuliaan Allah.
Ayat ini menyampaikan masalah dengan cara yang berbeda dari yang kita duga sebelumnya. Kaum Muslimin pergi melaksanakan haji dan umrah, kemudian melakukan Thawaf yaitu mengelilingi Ka’bah. Setelah itu mereka melakukan Sa'i atau berjalan cepat di antara Shafa dan Marwah. Bagi umat Islam saat ini, ini adalah hal yang biasa kita lakukan. Untuk jelasnya, terjemahan ayat itu adalah “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi'ar atau tanda-tanda (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya” (QS 2: 158).
Orang mungkin bertanya-tanya mengapa Al-Qur`an mengatakannya dengan cara ini, bahwa tidak ada dosa melakukannya? Ini sama saja, milsanya, dengan menyatakan, “Silahkan melakukan thawaf mengelilingi Ka’abah sebab kalian tidak berdosa jika melakukannya.” Pernyataan ini seolah-olah menyiratkan ada yang menganggap berbahaya atau berdosa berjalan cepat di antara Shafa dan Marwah. Jadi dari mana munculnya pemikiran bahwa ada sementara orang yang ragu tentang hal ini?
Melalui peristiwa turunnya wahyu yang disebutkan dalam kitab tafsir, kita bisa mengetahui jawabannya. Diriwayatkan bahwa sebelum agama Islam ditegakkan, pemahaman sebelumnya menyebutkan bahwa orang-orang melakukan ziarah (ritual kunjungan) sebelum Islam karena Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Selama ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad, orang-orang melakukan ziarah ke Ka’bah. Tetapi mereka melakukannya menurut hak dan adat istiadat yang mereka ketahui pada zaman mereka.
Salah satu masalah yang muncul adalah mereka biasa meletakkan patung berhala, Latta dan Manat, serta menyebut nama patung berhala tersebut di bukit-bukit ini. Lalu ada sementara Muslim yang bertanya-tanya, “Dulu mereka melakukan thawaf di antara bukit-bukit ini untuk menghormati patung berhala ini. Dan sekarang patung berhala itu sudah hilang, maka apakah kita masih harus melakukan ini? Bukankah ini mengandung sisa-sisa pemujaan kepada berhala?”
Maka Al-Qur`an menyuguhkan jawabannya bahwa bukit-bukit ini bukan milik patung berhala itu. Bukit-bukit ini milik Allah dan merupakan tanda-tanda keagungan-Nya. Jadi tidak ada dosa bagi kaum Muslimin jika kalian terus melakukan Sa'i di antara kedua bukit ini. Kini Sa'i tersebut dikhususkan untuk Allah, bukan untuk berhala.
Kita dapat melihat dari beberapa contoh ini bahwa sangat penting untuk mengetahui peristiwa turunnya wahyu karena itu menghidupkan ayat-ayat Al-Qur`an. Ini membuatnya lebih bermakna bagi kita. Ini menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan kisah nyata di lapangan. Tetapi lebih dari itu, ini bahkan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur`an dan membantu kita mengatasi kesulitan dalam penafsiran. Membuka makna Al-Qur`an juga berarti mengetahui peristiwa turunnya wahyu. *