Meningkatkan Kebermaknaan Silaturahim
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Silaturahim pada setiap 'Idul Fitri merupakan salah satu tradisi bangsa Indonesia. Boleh jadi, khas tradisi bangsa Indonesia.
Anak yang merantau mengagendakan mudik demi dapat bersilaturahim dengan orang tua dan sanak saudaranya. Di samping itu, ada silaturahim antarteman, antartetangga, antarpegawai atau antarkaryawan, dan antara staf dengan pimpinan.
Hal lain yang sangat menarik juga adalah silaturahim anak nonmuslim kepada orang tuanya yang muslim. Bahkan, berlangsung pula silaturahim kakak atau adik nonmuslim kepada saudaranya yang muslim.
Ada lagi: tetangga nonmuslim bersilaturahim kepada tetangga yang muslim; staf nonmuslim bersilaturahim kepada pimpinan yang muslim.
Biasanya acara tersebut disebut juga "Halal bi Halal" atau "Halal bil Halal" (HBH). Frasa "Halal bi Halal" sesungguhnya hanya ada di dalam bahasa Indonesia. Penutur jati bahasa Indonesia mengartikannya sebagai "saling memaafkan atas kesalahan, baik yang terwujud lisan dan/atau perilaku maupun yang tersimpan di dalam hati." Biasanya sambil berjabat tangan diucapkan, "Selamat 'Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin."
Silaturahim atau HBH tidak hanya berlangsung di rumah-rumah, tetapi juga di kantor-kantor. Yang hadir tidak hanya muslim. Namun, sebagian besar dari acara tersebut bernuansa Islami. Ada pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an dan tausiyah tentang hikmah HBH atau silaturahim yang disampaikan oleh ustaz atau ustazah. Setelah tausiyah, acara dilanjutkan dengan doa menurut Islam juga.
Beberapa Ucapan yang Sering Digunakan
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan tuntunan tentang ucapan yang berupa doa kepada sesama muslim ketika beridul fitri sebagaimana terdapat di dalam HR Ahmad adalah
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
"Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan amal ibadah kalian semua,"
Ada ucapan-ucapan tahniah 'Idul Fitri berbahasa Indonesia yang sering digunakan. Di antara ucapan tahniah itu, ada yang tidak lengkap. Ada yang berlebihan kata dan ada juga yang dari segi maknanya "aneh."
Beberapa ucapan yang sering digunakan itu adalah, "Selamat "Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin." Ucapan itu tidak lengkap karena tidak berisi doa sebagaimana dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain itu, ada ucapan, "Selamat hari raya 'Idul Fitri.
Mohon maaf lahir batin." Kata "'id" bermakna hari raya. Jadi, jika didahului frasa "hari raya" terjadi redundan. Maknanya menjadi, "selamat hari raya hari raya fitri."
Masih ada lagi. Sering kita dengar atau baca juga ucapan, "Selamat hari raya idul fitri. Minal 'aidin wal faizin. Mohon maaf lahir batin."
Di dalam ucapan tersebut terdapat frasa "minal 'aidin wal faizin." Sesungguhnya, frasa itu merupakan bagian dari doa yang biasanya dibaca oleh khatib pada shalat Jumat, yakni "Ja'alanallahu minal 'aidin wal faizin." Artinya, "Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan menuai kemenangan (dengan meraih) surga."
Sering juga kita baca tulisan, "Minal 'aidin wal faidzin." Penggunaan "dz" yang dimaksudkan melambangkan "dzal" pada tulisan, "faidzin" tidak tepat karena huruf yang digunakan di dalam bahasa Arab adalah "z". Jadi, yang betul "faizin".
جَعَلَنَا اللَّهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ العَائدِيْنَ والفَائِزِينَ
Ucapan lainnya adalah, "Selamat hari raya 'Idul Fitri. Minal 'aidin wal faizin. Mohon maaf atas kesalahan saya, baik yang saya sengaja maupun yang tidak saya sengaja." Sebagai muslim mukmin biasa, tentu kita pernah secara tidak sadar berucap dan/atau berbuat salah. Namun, sebagai muslim mukmin, mungkinkah kita "secara sengaja* berucap dan/atau berbuat salah yang menyebabkan orang lain terluka hatinya? Apakah tidak aneh jika kita sebagai muslim mukmin "sengaja" berucap dan/atau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain merasa dizalimi?
Sesungguhnya, hal yang terjadi adalah "secara tidak sadar berucap dan/atau berbuat salah." Oleh karena itu, tidak sebaiknyakah kita mengucapkan, "Mohon maaf atas kesalahan saya, baik yang 'saya sadari' maupun tidak."
Pertanyaan yang harus kita jawab adalah, jika sudah ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak seyogianyakah kita mengucapkan kalimat yang dicontohkannya, yakni,
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
Ucapan tahniah itu berisi doa yang sangat penting.
Ucapan dan Tindakan Kontroversial
Acara HBH kadang-kadang diwarnai canda, baik ucapan maupun tindakan. Namun, ada canda kata yang tidak disadari oleh penuturnya berakibat timbulnya ketidaksenangan pada mitra tutur. Penutur tidak sadar bahwa ketika dia mengatakan kepada temannya, misalnya, "Kok, gemuk, sih?" menyebabkan temannya itu merasa terusik dan merasa dirundung juga. Bagi perempuan, kata-kata itu sensitif. Apalagi, orang yang mengatakannya bertubuh langsing meskipun belum tentu lebih cantik.
Sangat mungkin di antara teman yang dikatakan "Kok, gemuk, sih." itu betul-betul merasa tidak senang. Tentu hal itu dapat mencederai tujuan HBH, malahan, mungkin dapat juga berujung pada terputusnya tali silaturahim. Dikatakan demikian karena sejak dikatakan "Kok, gemuk, sih?" dia "kapok" menghadiri HBH dan di dalam hatinya tersimpan kekesalan atau kemarahan. Ketika dikatakan, "Kok, gemuk, sih?" dia memilih diam, tetapi sesungguhnya hatinya membara.
Mungkin juga ada temannya yang mau menanggapi, "Kok, gemuk, sih?" dengan kata-kata yang tidak kalah "menusuknya." Dia membalasnya dengan kalimat, misalnya, "Bersyukurlah kamu karena kegemukanku mengurangi pesaing kecantikanmu." Mungkin juga dia mengucapkan kalimat, "Dengar, ya! Kalau aku langsing, aku lebih cantik daripada kamu. Kamu tidak ada apa-apanya."
Kalimat lain yang mungkin juga digunakan adalah, "Saya ingin sih selangsing kamu agar secantik kamu, tetapi demi kamu tampak cantik, ya, sudah saya terima apa adanya."
Tindakan yang dapat mencederai acara HBH misalnya adalah "cium pipi kanan, cium pipi kiri" (cipika-cipiki) antara laki-laki dan perempuan bukan mahram. Meskipun hal itu dimaksudkan untuk lebih "menghangatkan" suasana, dapat saja tindakan itu justru menimbulkan akibat sangat buruk. Misalnya, suami atau istri yang tidak suka terhadap tindakan itu menjadikannya sebagai titik awal perselisihan. Bahkan, dapat saja hal itu berkembang menjadi kecemburuan yang luar biasa dan berujung pada perceraian.
Perintah Silaturahim
Firman Allah Subḥanahu wa Ta'ala
Surat an-Nisa (4): 1
يٰۤـاَيُّهَا النَّا سُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّا حِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَا لًا كَثِيْرًا وَّنِسَآءً ۚ وَا تَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهٖ وَا لْاَ رْحَا مَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
Surat ar-Ra'ad (13): 21
وَالَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُوْنَ سُوْۤءَ الْحِسَابِۗ
"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk."
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam
HR al-Bukhari
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturrahim,h dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam."
Hikmah Silaturahim
Silaturahim merupakan ibadah karena melaksanakan perintah Allah Subḥanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Karena beribadah, silaturahim harus kita laksanakan dengan cara yang sesuai dengan tuntunan Allah Subḥanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, yakni (1) diniati ibadah dan (2) bersih dari ucapan dan perbuatan maksiat. Agar (1) dan ((2) terwujud, tausiyah ”saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran” sangat penting. Allah Subḥanahu wa Ta'ala menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah Subḥanahu wa Ta'ala adalah orang yang paling bertakwa.
Mendapat Pertolongan Allah
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي ذَوِي أَرْحَامٍ، أَصِلُ وَيَقْطَعُونَ، وَأَعْفُو وَيَظْلِمُونَ، وَأُحْسِنُ وَيُسِيئُونَ، أَفَأُكَافِئُهُمْ؟ قَالَ: "لَا إِذَنْ تُتْرَكُونَ جَمِيعًا، وَلَكِنْ جُدْ بِالْفَضْلِ وَصِلْهُمْ؛ فَإِنَّهُ لَنْ يَزَالَ مَعَكَ ظَهِيرٌ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، مَا كُنْتَ عَلَى ذَلِكَ"
"Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai banyak kerabat; aku menghubungkan persaudaraan dengan mereka, tetapi mereka memutuskannya; dan aku memaafkan mereka, tetapi mereka terus berbuat aniaya terhadapku; dan aku berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka terus-menerus berbuat buruk terhadapku. Bolehkah aku membalas perlakuan mereka?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, Tidak, kalau begitu berarti kamu semua sama tidak benarnya, tetapi bermurahlah dengan memberikan kelebihan dan tetaplah menghubungkan kekeluargaan karena sesungguhnya kamu akan terus mendapat pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala selama kamu mau melakukan hal tersebut."
Mendapat Naungan Allah di Arasy Saat Hari Kiamat
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلَاثَةٌ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : وَاصِلُ الرَّحِمِ وَامْرَأَةٌ مَاتَ زَوْجُهَا وَتَرَكَ أَيْتَامًا فَتَقُومُ عَلَيْهِمْ حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ أَوْ يَمُوتُوا وَرَجُلٌ اتَّخَذَ طَعَامًا وَدَعَا إلَيْهِ الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ
"Dari Anas bin Malik radiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada tiga orang yang mendapat naungan Arasy pada hari kiamat: orang yang menjaga silaturahim, seorang istri yang ditinggal mati suaminya kemudian membesarkan anak-anak yatimnya sampai Allah mencukupi mereka atau sampai mereka wafat, dan orang yang membuat makanan kemudian mengajak anak yatim dan orang miskin untuk makan."
Masuk Surga
HR Ibnu Majah
يا أيُّها النَّاسُ أفشوا السَّلامَ، وأطعِموا الطَّعامَ، وصِلوا الأرحامَ، وصلُّوا باللَّيلِ، والنَّاسُ نيامٌ، تدخلوا الجنَّةَ بسَلامٍ
"Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah pada malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat."
Diluaskan Rezeki dan Dipanjangkan (diberkahi) Umur
HR al-Bukhari
عَن ابْن شهاب أَخْبَرَنٍيْ أَنَس بْن مَالِك أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
"Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, telah menginformasikan padaku Anas bin Malik radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan (sisa) umurnya, maka sambunglah (tali) kerabatnya."
Azab Memutus Silaturahim
HR al-Bukhari
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَوْشَنٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي بَكَرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ عُقُوبَتَهُ فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يُدَّخَرُ لِصَاحِبِهِ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ".
"Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Uyaynah ibnu Abdur Rahman ibnu Jusyan, dari ayahnya, dari Abu Bakrah radiyallahu 'anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, Tiada suatu perbuatan dosa pun yang lebih layak untuk disegerakan oleh Allah hukumannya di dunia selain dari azab yang disediakan untuk pelakunya kelak di akhirat selain dari zina dan memutuskan hubungan kekeluargaan."
Berkenaan dengan isi hadis tersebut, bagaimana jika HBH yang diselenggarakan bersama dengan reuni justru menjadi penyebab awal "hancurnya" keluarga yang sudah dibina bertahun-tahun? Hal itu berarti bahwa silaturahim suami istri di.dalam keluarga terputus. Jika demikian halnya, apakah tidak terkena ancaman azab sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari tentang azab bagi yang memutus silaturahim yang telah dikutip? Bukankah cukup banyak pada acara HBH yang penyelenggaraannya bersama dengan reuni terjadi cinta lama bersemi kembali (CLBK)?
Tidak Sekadar Saling Memaafkan
Menurut Muhammad Quraisy Shihab, silaturahim berasal dari kata _shilat_ dan _rahim_. _Shilat_ berakar dari _washl_ yang berarti ‘menyambung’ dan ‘menghimpun’. _Rahim_ pada awalnya berarti ‘kasih sayang’ kemudian berarti ‘peranakan’ atau ‘kandungan’ karena anak yang dikandung selalu memperoleh kasih sayang. Silaturahim ini tidak hanya berhenti pada tataran _al 'afwu_ 'maaf', tetapi juga al _shafhu_ 'kelapangan', _shaffat_ 'halaman' atau 'lembaran' yang baru sama sekali dalam bentuk _mushafahat_ 'berjabat tangan'. Jadi, setelah silaturahim, dengan lapang dada kita menutup lembaran lama dan menggantinya dengan lembaran yang baru sama sekali sehingga kesalahan kita bagaikan lembaran hidup lama yang benar-benar tertutup rapat oleh kebajikan pada lembaran yang baru sama sekali.
Perintah Menjadi Pemaaf
Surat al-A’raf (7): 199
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِا لْعُرْفِ وَاَ عْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh."
Perintah menjadi pemaaf tidak hanya setiap 'Idul Fitri, tetapi setiap saat. Dengan demikian, muslim mukmin yang bersalah diperintah meminta maaf setiap melakukan kesalahan. Hal itu berarti pula bahwa semestinya saling memaafkan tidak perlu menunggu 'Idul Fitri.
APA ARTI BERIDUL FITRI
Apa arti beridul fitri
jika hari ini sama dengan kemarin
esok sama dengan hari ini
malahan mungkin lebih jelek
Apa arti beridul fitri
manakala nurani dibohongi
nikmat Allah pun dikorupsi
sampai tak ingat mati
atau mengira kematiannya
sama dengan kematian hewan
tak perlu pertanggungjawaban perbuatan
kepada Tuhan pemberi kehidupan
Apa arti beridul fitri
jika kebencian tetap kebencian
tak berganti kasih sayang
atau kasih sayang berganti kebencian
ketakacuhan tetap ketakacuhan
tak berganti kepedulian
atau kepedulian berganti ketakacuhan
kebohongan tetap kebohongan
tak berganti kejujuran
atau kejujuran berganti kebohongan
kesombongan tetap kesombongan
tak berganti keramahtamahan
kekasaran dan kekerasan tetap kekasaran dan kekerasan
tak berganti kelemahlembutan
atau kelemahlembutan berganti kekasaran dan kekerasan
ketumpulan perasaan tetap ketumpulan
tak berganti kepekaan
atau kepekaan berganti ketumpulan
Apa arti beridul fitri
jika tak ada keramahtamahan
yang ada saling meremehkan
tak ada saling hormat
yang ada saling hujat
tak ada saling sayang
yang ada saling tendang
tak ada saling rangkul
yang ada saling pukul
Apa arti beridul fitri
jika salah tak berakhir dengan taubat
hanya berpanjang-panjang debat
di mana nurani?
Allahu a'lam