Menyelami Keadilan Perempuan dalam Al-Qur'an dan Dinamika Fikih (Bagian 2)

Publish

24 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
166
pixabay

pixabay

Bukan Gagal Prinsip, Tapi Gagal Interpretasi: Menyelami Keadilan Perempuan dalam Al-Qur'an dan Dinamika Fikih (Bagian 2)

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Ini bukan tentang kapasitas moral atau kecerdasan, melainkan strategi dukungan dan keadilan kontekstual. Pertama, konteks sosial: Pada zaman itu, perempuan tidak umum terlibat dalam kontrak dan transaksi keuangan besar, yang merupakan domain utama laki-laki. Kedua, dukungan di pengadilan: Memasuki ruang sidang yang mengintimidasi untuk bersaksi tentang hal yang jarang mereka tangani bisa menjadi pengalaman yang sulit. Ketiga, tujuan keadilan: Dengan adanya dua saksi perempuan, mereka berfungsi sebagai tim pendukung yang saling memperkuat ingatan dan ketegasan, memastikan bahwa kebenaran tersampaikan meskipun salah satu merasa tertekan atau lupa.

Dengan demikian, ketentuan ini bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan pertimbangan adil (fairness) terhadap situasi sosial perempuan saat itu, untuk menjamin bahwa hak-hak mereka dan kebenaran terlindungi dalam proses hukum yang kompleks.

Poin kritis berikutnya yang sering dipertanyakan adalah hukum perceraian yang tampak berat sebelah, di mana talak (cerai) umumnya diucapkan oleh pihak laki-laki.

Namun, ketentuan ini harus dipahami melalui lensa konteks sosial masa lalu. Saat itu, kerangka hukum perceraian didesain tidak hanya untuk mengatur, tetapi juga untuk melindungi pihak yang lebih rentan. Pertama, mekanisme perlindungan diri (khulu'): Al-Qur'an menyediakan jalan keluar bagi perempuan yang ingin mengakhiri pernikahan: khulu'. Ini adalah pemisahan melalui pengadilan di mana perempuan mengembalikan mahar. 

Mengapa tidak membiarkan perempuan mengucapkan talak langsung? Jawabannya terletak pada realitas kekerasan masa lampau. Di masa ketika perlindungan negara minim, jika seorang istri dapat langsung menceraikan suami yang mungkin kasar, hal itu berpotensi memicu konflik fisik atau kekerasan domestik yang akan sangat merugikan perempuan. Hukum khulu' memberikan mekanisme pembubaran ikatan pernikahan yang aman dan terstruktur melalui campur tangan hukum.

Kedua, fleksibilitas modern. Di era modern, banyak ulama menganjurkan bahwa perempuan dapat mengamankan hak talak yang setara melalui perjanjian pranikah atau klausul khusus yang diakui dalam pernikahan (tafwidh al-thalâq), menunjukkan bahwa kerangka hukum ini dapat berevolusi. Ketiga, kesaksian untuk perceraian. Bahkan ketika perceraian terjadi, Surah At-Thalaq yang seluruhnya membahas perceraian, menuntut adanya dua saksi yang adil - menyamakan pentingnya saksi saat menikah dengan saksi saat berpisah. Ini menunjukkan bahwa proses pembubaran harus dilakukan dengan integritas dan tanggung jawab sosial yang tinggi.

Ketika kita mendekonstruksi setiap isu yang dianggap tidak adil, kita menemukan bahwa niat mendasar Al-Qur'an adalah untuk adil kepada perempuan. Teks suci ini memetakan arah etis baru. Inilah kuncinya: Prinsip-prinsip Al-Qur'an tentang keadilan ('adl) dan kebenaran (qisth) bersifat universal, tetapi penerapan hukumnya harus dinamis.

Hukum Islam memiliki mekanisme bawaan untuk perubahan melalui ijtihâd (upaya keras ulama). Ini adalah perjuangan berkelanjutan bagi para sarjana Muslim untuk menemukan aplikasi baru yang mempertahankan prinsip-prinsip luhur Al-Qur'an di tengah situasi yang berubah.

Hukum tidak boleh statis. Jika hukum tampak tidak adil di zaman kita, itu bukan kegagalan prinsip Syariah, melainkan kegagalan praktik untuk melakukan ijtihād yang relevan. Dengan mengaplikasikan prinsip keadilan Quran secara konsisten di setiap zaman, hukum Islam dapat terus menjadi pelopor keadilan bagi perempuan dan seluruh umat manusia.

Karenanya, jika Al-Qur'an dan hukum Islam secara umum terlihat tidak adil bagi perempuan di era modern, akarnya bukanlah pada wahyu itu sendiri, melainkan pada kekakuan interpretasi manusia. Banyak ulama modern yang terjebak dalam pendekatan tradisionalis yang kaku. Bagi mereka, hukum yang ditetapkan ratusan tahun lalu harus tetap immutable (tak dapat diubah) hingga hari kiamat. Pendekatan ini keliru. Al-Qur'an tidak pernah berniat agar hukum-hukum terapan bersifat statis, melainkan menyediakan prinsip abadi untuk diterapkan secara dinamis.

Masalah kedua muncul dari sumber hukum kedua: Sunnah yang terekam dalam Hadis. Meskipun Al-Qur'an adalah sumber nomor satu, banyak hukum yang kontroversial (yang konon "menekan" hak perempuan) seringkali berasal dari hadis. Di sinilah kita harus bersikap kritis. Pertama, isu otentisitas: Tidak semua hadits yang dinisbatkan kepada Nabi SAW  benar-benar otentik. Kita harus ingat, meskipun perawi dikenal tepercaya, manusia bisa lupa atau keliru. Mengaitkan sesuatu yang tidak pernah diucapkan atau dilakukan Nabi SAW adalah sebuah risiko. Kedua, isu kontekstual: Bahkan hadis yang asli pun seringkali mencerminkan konteks kehidupan spesifik pada masa Nabi SAW. Tindakan atau ucapan yang relevan di abad ke-7 tidak secara otomatis menjadi hukum universal yang mengikat selamanya.

Oleh karena itu, adalah tindakan yang sangat berbahaya dan tidak adil jika kita menggunakan hadis - yang mungkin otentikitasnya diragukan atau konteksnya sudah usang - untuk menindas atau membatasi hak-hak perempuan atas nama Islam di zaman kita sekarang. Kita harus menyaring riwayat-riwayat ini dengan hati-hati.

Sumber hukum ketiga yang menimbulkan masalah adalah hasil dari penalaran ulama - baik melalui konsensus (ijmā') maupun pertimbangan individu (qiyās atau ijtihād). Kita harus tegas menyadari: Putusan-putusan ini bukan wahyu Ilahi. Mereka adalah keputusan manusiawi murni, sebuah upaya yang tulus untuk mencapai hukum dalam menghadapi situasi yang terus berkembang. Keputusan para ulama di masa lalu mungkin sempurna, sehat, dan indah bagi konteks zaman mereka. Namun, saat situasi berubah, hukum baru diperlukan.

Sayangnya, sebagian ulama modern sering melakukan kesalahan fatal: Mereka mengangkat putusan ulama masa lalu ke status ketuhanan. Mereka mengutip ulama ratusan tahun lalu seolah perkataan mereka adalah wahyu mutlak, yang berlaku "sepanjang masa."

Tindakan ini sangat tidak adil: tidak adil bagi ulama masa lalu, karena mereka tidak pernah mengklaim kesempurnaan abadi; tidak adil bagi Hukum Islam, karena mematikan dinamismenya; tidak adil bagi perempuan, karena membekukan hak-hak mereka dalam kerangka waktu yang sudah usang.

Singkatnya, citra hukum Islam yang tampak tidak adil bagi perempuan di era modern bersumber dari tiga kegagalan interpretasi yang serius. Pertama, penafsiran Literalis yang Kaku: Mengambil ketentuan kontekstual Al-Qur'an secara harfiah dan menganggapnya berlaku universal, padahal niatnya tidak demikian. Kedua, ketergantungan pada riwayat yang Diragukan: Mendasarkan hukum pada atribusi hadis yang mungkin palsu (inauthentic) atau di luar konteks zaman Nabi Muhammad SAW. Ketiga, mempertuhankan keputusan manusia: Mereplikasi keputusan ulama masa lalu secara membabi buta tanpa mengakui bahwa keputusan tersebut hanyalah penalaran manusia yang terikat waktu.

Jika kita konsisten melakukan pembaruan intelektual ini, kita akan melihat bahwa Hukum Islam, dan terutama Al-Qur'an, adalah sangat adil terhadap perempuan. Intinya adalah, Syariah menuntut kita untuk terus-menerus bersikap adil kepada perempuan dan seluruh umat manusia, di setiap tempat dan dalam setiap keadaan. (Vivi)

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Prof Dr Mohammad Nur Rianto Al Arif, MSi, Ketua PDM Jakarta Timur   Muhammadiyah bukan ....

Suara Muhammadiyah

16 May 2025

Wawasan

Oleh: Nur Ngazizah, S.Si. M.Pd يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱ�....

Suara Muhammadiyah

29 November 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Baru-baru ini Menko PMK Muhadjir Effendy mewacanakan larangan haji lebih dari s....

Suara Muhammadiyah

15 September 2023

Wawasan

Muslim Tidak Boleh Bergantung pada Keberuntungan Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Un....

Suara Muhammadiyah

3 September 2025

Wawasan

Paradoks Ateisme: Ketika Ketidakpercayaan Menjadi Dogma Baru Oleh Hatib Rachmawan, Dosen Ilmu ....

Suara Muhammadiyah

15 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah