Negeri Amplop: Mesin Hasrat Bekerja Tanpa Batas

Publish

9 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
1210
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Negeri Amplop: Mesin Hasrat Bekerja Tanpa Batas

Oleh: Agusliadi Massere* 

Kehidupan hari ini bukan hanya bagaikan “Dunia yang dilipat” atau pun bagaikan “Dunia yang berlari” yang dalam narasi semiotik pengiringnya ditegaskan hilangnya batas-batas kehidupan bahkan tubuh mengalami kekacauan organisme. Yasraf Amir Piliang memberikan banyak contoh, saya mengutip masing-masing satu saja di antaranya: “Kini, kita sulit lagi membedakan antara pecundang dan negarawan”, dan “Kepala telah berubah menjadi dengkul, sehingga kini orang lebih banyak bertindak ketimbang berpikir”. 

Di balik kehidupan yang telah digambarkan secara semiotik oleh Yasraf, hal itu diperparah dengan kondisi kehidupan sebagaimana Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri, seorang ulama besar dan mantan Rais Aam Syuriah PBNU) mengungkapkan kepedulian, keprihatinan, dan kemarahannya dalam kelembutan puisinya yang sedang viral, “Di Negeri Amplop”.  

Kemarin, seorang sahabat meng­­­-share video puisi Gus Mus yang sudah viral sejak beberapa tahun yang lalu. Di Negeri Amplop. Di negeri amplop Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya//malu//Samson tersipu-sipu, rambut keramatnya ditutupi topi rapi-rapi//David Copperfield dan Houdini bersembunyi rendah diri//Entah andaikata Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya. Amplop-amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur hal-hal yang tak teratur menjadi teratur//hal-hal yang teratur menjadi tak teratur//memutuskan putusan yang tak putus membatalkan putusan yang sudah putus.

Bait ketiga sampai kelima berikutnya dalam puisi Gus Mus tersebut. Amplop-amplop menguasai penguasa dan mengendalikan orang-orang biasa//Amplop-amplop membebeberkan dan menyembunyikan//mencairkan dan membekukan/mengganjal dan melicinkan. Orang bicara bisa bisu//Orang mendengar bisa tulis//Orang alim bisa napsu//Orang sakti bisa mati. Di negeri amplop//Amplop-amplop mengamplopi apa saja dan siapa saja. 

Puisinya ini, berdasarkan hasil searching saya melalui Google untuk mengetahuinya lebih jauh, ditulis pada tahun 2002. Dan sepertinya berdasarkan informasi yang saya dapatkan mulai sangat viral pada tahun 2020. Dan kini kembali diviralkan karena semakin menemukan ruang relevansi dan momentumnya terutama dalam dunia politik menjelang Pemilu 2024. 

Mendengarkan video yang berisi pembacaan puisi oleh Gus Mus sendiri, pikiran saya langsung mengarah pada realitas sosial dan politik hari ini, tanpa kecuali mencoba menembus secara imajiner apa yang sedang terjadi dalam ruang-waktu dinamika dunia birokrasi. Saya merasakan tidak mengalami kesulitan dalam mengonfirmasi kebenarannya meskipun, saya memiliki keterbatasan untuk menembus kedalaman spiritualitas ketajaman pikiran dan kejernihan nurani seorang Gus Mus yang senantiasa mengekspresikan dan merefleksikan perasaannnya atas realitas yang sedang dibaca dan ditemukannya, dalam bentuk puisi.  

Puisi Gus Mus, Di Negeri Amplop, meskipun narasi-narasi semiotiknya mudah ditafsirkan dan dipahami, tetapi itu pun hanyalah “kode”. Kode sendiri dalam tradisi semiotika—sebagaimana pernah diungkapkan oleh Mohd. Sabri—dipahami sebagai sesuatu yang muncul karena narasi-narasi biasa tidak mampu mengungkapkan/menjelaskan realitas yang sebenarnnya. 

Bukan berarti Gus Mus tidak mampu mengungkapkan realitas yang sebenarnya, dan bukan pula bahwa “Negeri Amplop” itu sebagai narasi atau diksi yang “luar biasa” tetapi menjadi terbatas dan luar biasa karena terungkap dalam puisi yang indah. Meskipun demikan, maknanya sangat dalam, dan realitasnya bertebaran di mana-mana dalam atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri di mana telah banyak pakar yang menyimpulkan sebagai  “negeri yang demokrasinya tanpa demos”—atau minimal kita sebut saja bahwa kehidupan demokrasinya mengalami kemunduran.

Amplop dalam KBBI versi online dimaknai, “sampul surat”, dan “uang sogok”. Mengamplopi dimakani pula “Memberi amplop” dan “Memberi uang sogok”. Lalu bagaimana memaknai “Negeri Amplop”. Negeri-Amplop dalam pemahaman saya, minimal bisa dimaknai sebagai negeri yang identik dengan sogokan yang mewarnai dinamika dan interaksi sosial-politiknya tanpa kecuali dunia birokrasinya. 

Sebelum lahirnya Negeri-Amplop (mendengar dan membaca Puisi Gus Mus) saya lebih fokus bahwa dunia digital sangat berbahaya terlepas dari dirinya yang “Berwajah Dua” (Ada dampak positif dan negatif). Dunia digital saya memandangnya berbahaya—selain tetap merasakan dampak positifnya—karena telah membuat atau berkontribusi besar terhadap “matinya kepakaran”, “matinya sang ulama” (terutama pada masa pandemi Covid-19), dan hari ini “matinya sang konten kreator”. Selain itu dunia digital pun telah mentransformasikan kehidupan manusia menjadi malas tabayyun (yang disebut dengan kehidupan inersia), sehingga ini pun menjadi ruang produksi dan reproduksi kebohongan demi kebohongan, dan kepalsuan demi kepalsuan. 

Ternyata pemahaman dan kesadaran saya tersentak bahwa di Negeri-Amplop itu lebih berbahaya ketimbang di dunia digital. Mengapa saya sampai pada kesimpulan tersebut, karena sesungguhnya jika melihat konteks Indonesia sebagai bangsa dan negara, telah memiliki banyak modal baik yang sifatnya soft maupun yang hard untuk menjadi bangsa yang besar, maju, dan disegani di mata dunia.  

Yang saya maksudkan sebagai modal soft adalah seperti modal spirit, ideologi, falsafah, budaya, dan bahkan teologi. Ini relevan dengan yang diungkapkan oleh John Gardner, Soekarno, dan terbaru adalah seperti yang menjadi pandangan Prof. Haedar Nashir—yang pada substansinya (salah satunya) Pancasila sebagai modal yang luar biasa. Yang hard seperti kekayaan alam melimpah ruah, dengan berbagai bentuk dan jenisnya yang tak terbatas. Jumlah penduduknya pun ratusan juta, masuk sebagai kategori negara di dunia dengan jumlah penduduk yang banyak.

Tetapi semua modal tersebut baik yang berbentuk soft maupun hard yang dimiliki bangsa dan negara ini, Indonesia, tidak mampu menjadikan Indonesia sebagai negara maju di mata dunia, Penyebabnya, ternyata sudah lama negeri ini menjadi “Negeri Amplop”. Sejauh ingatan saya sampai pada detik ini, ada banyak sikap dan perilaku untuk mencapai harapan seseorang, teridentifikasi dan diidentikkan dengan jenis dan ketebalan amplopnya. Sehingga karena amplop ini ada yang perjuangannya terganjal karena tidak punya amplop, dan ada pula yang usahanya lancar dan licin, karena ada amplopnya.  

Apatah lagi hari ini, masa-masa menuju puncak pelaksanaan Pemilu 2024, telah berseliwerang informasi tentang ketebalan amplop para aktor-aktor politik tertentu. Dari pemilu ke pemilu tanpa kecuali Pemilu 2019 masih ditemukan sejumlah persoalan yang salah satunya adalah politik uang dengan persentase yang sangat tinggi. Politik uang adalah dorongan negatif psikis yang membuat beredarnya amplop-amplop itu.

Apa yang diungkap oleh Gus Mus dalam puisinya yang viral itu, seperti “Amplop-amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur hal-hal yang tak teratur menjadi teratur. Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur. Memutuskan putusan yang tak putus membatalkan putusan yang sudah putus”, hanyalah sedikit dari sekian banyak persoalan yang sejenis dalam kendali dan pengaruh amplop. Makanya dari awal, di atas, saya menyebutnya mengandung “kode” karena masih banyak hal lainnya, yang tidak bisa ditampung sebagai bahasa puisi. 

Di Negeri-Amplop, seseorang menjadi pemimpin dan/atau pun wakil rakyat—sebagai jabatan strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri yang menganut sistem demokrasi—lebih banyak yang mengandalkan, mengutamakan, dan menyiapkan modal amplop. Bukan dengan gagasan termasuk akhlak. Berarti mereka bukan katergori orang besar jika merujuk pada penegasan dan pandangan Eleanor Roosevelt. 

Untuk dipahami bahwa Roosevelt yang lahir pada tanggal 11 Oktober 1884 di kota New York—sepupu dari Presiden Theodore Roosevelt pernah menegaskan: Orang besar membicarakan ide, orang biasa membicarakan peristiwa, dan orang kerdil membicarakan orang lain. Saya tambahkan orang jahat—penghancur bangsa dan negara—“hanya menyiapkan amplop”. 

Di Negeri-Amplop, telah terduga—untuk tidak menyebutnya “terbukti”—banyak elit dan/atau oknum pejabat negara (tentunya sebagai penguasa) yang di-remote (dikendalikan) oleh oligarki. Di Negeri-Amplop meskipun menganut sistem demokrasi mereka melupakan demos (rakyat) tetapi menyanjung oligarki. Di Negeri-Amplop semua lumpuh, moralitas, etika, akhlak, aturan atau hukum, wibawa, ideologi, idealisme, kecerdasan, dan harga diri karena pengaruh amplop. Kekayaan alam tidak menjadi sumber kesejahteraan karena amplop-amplop menggoda kantong-kantong penguasa tertentu. 

“Negeri-Amplop” dan “Mesin hasrat yang bekerja tanpa batas” membentuk garis relasi dan integrasi simbiosis mutualisme tanpa ujung. Mesin hasrat telah sukses membentuk satu negeri yang disebut dengan Negeri-Amplop. Negeri-Amplop telah menjadi ruang subur bagi mesin hasrat untuk terus beroperasi menggilas segalanya.

Menyebut hasrat, saya teringat dengan kutipan Ito Prajna yang mengutip pandangan Thomas Hobbes. Hobbes telah menegaskan “Pertama-tama, saya tetapkan sebagai dorongan paling dasar semua manusia, yaitu hasrat terus menerus (perpetual) dan tak kenal lelah (restless) untuk mengejar kekuasaan demi kekuasaan. Hasrat ini hanya berhenti dalam kematian”. 

Hobbes pun merumuskan dalam bukunya yang dikenal Leviathan “Dua hal paling purba, dua hal paling naluriah, paling manusiawi, sekaligus paling fundamental yang telah selalu bermukim di dalam diri kita semua manusia, yaitu: 1) hasrat (desire) dan 2) kuasa (power). Hasrat meskipun memiliki pula potensi konstruktif, yang lebih sering bekerja adalah potensi destruktif (merusak)-nya. Dorongan hasrat ini pun yang membuat “hukum” yang semestinya mengendalikan kekuasaan atau cara berkuasa yang dipraktikkan oleh penguasa, kini hukum atau aturan seringkali dibuat justru untuk melanggengkan kekuasaan. 

Jika memahami pandangan Yasraf tentang “Mesin hasrat”, kita akan memiliki pemahaman beberapa hal: hasrat selalu menuntut bentuk pemenuhan kepuasan baru; hasrat yang telah membentuk mesin membangun relasi dengan mesin-mesin lain bahkan dengan “agama” sekali pun sehingga berpotensi memiliki legitimasi, rasionalitas, agar alam bawah sadar seakan membenarkan sikap dan tindakan “hasrat” “cara pemenuhan”, dan “bentuk pemuasannya”, meskipun menerobos moralitas, etika, nilai, dan akhlak itu sendiri.  Tidak mengherankan, sebagaimana puisi Gus Mus jika ada orang alim pun “bernafsu”. Hasrat pun mampu membentuk korporasi besar untuk mewujudkan pemenuhan nafsunya. 

Dalam istilah selain hasrat, Yudi Latif telah pernah menegaskan yang pada substansinya bisa menjadi jawaban atas kegagalan modal besar dan luar biasa yang diungkapkan oleh John Gardner, Soekarno, dan Prof. Haedar Nashir, dan telah dimiliki Indonesia. “The love of power” (cinta kekuasaan) telah menjadi lahan tandus bagi tumbuh suburnya nilai-nilai Pancasila. Dan tentunya termasuk nilai-nilai lain, agama, etika, moralitas, dan akhlak. 

Amplooopppp, amplop, betapa dirimua memiliki power full. Dirimua telah mengalahkan segalanya bahkan engkau telah sukses meruntuhkan kewibawaan para penguasa, engkau telah mengendalikan para penguasa negeri sekali pun. Dan dirimu (baca: amplop) tidak sedikit para penyeru kebaikan, kebenaran, atau pendakwah/mubalig pun tergoda dan terpengaruh sehingga memilih masjid yang bisa didatangi. Meskipun ini tidak bisa dihukumi dengan neraka, seperti amplop dalam makna uang sogokan, tetapi tentunya tetap merusakan moralitas dan akhlak. 

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”. Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mengapa Iblis mendurhakai Allah....

Suara Muhammadiyah

27 March 2024

Wawasan

Bekal Menyambut Ramadhan Oleh: Mohammad Fakhrudin Berdasarkan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammad....

Suara Muhammadiyah

9 March 2024

Wawasan

Oleh: Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI Perbincangan soal tambang seolah tidak akan berakhir, bagaikan ....

Suara Muhammadiyah

5 August 2024

Wawasan

Makna Tepuk Tangan Kepada Calon Presiden, Catatan Perayaan Milad Muhammadiyah ke-111 Oleh: Ahsan Ja....

Suara Muhammadiyah

20 November 2023

Wawasan

Pentingnya Apresiasi Hasil Belajar Agar Menjadi Manusia Merdeka  Oleh: Fikrun Nadhofatul Islam....

Suara Muhammadiyah

26 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah