Niat Ikhlas, Kunci Kebahagiaan dalam Hidup

Publish

18 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
206
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Niat Ikhlas, Kunci Kebahagiaan dalam Hidup

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta

Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Keikhlasan adalah salah satu sifat mulia yang diajarkan oleh Islam dan merupakan kunci kebahagiaan yang hakiki. Ia adalah keajaiban yang tidak kasat mata namun memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Dengan keikhlasan, seseorang mampu menjalani kehidupan dengan penuh keberkahan, ketenangan batin, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia.

Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama...(Al-Bayyinah [98]: 5)

Ayat ini menekankan bahwa tujuan utama dari segala ibadah adalah untuk mengikhlaskan diri kepada Allah. Amal yang tidak didasari oleh niat ikhlas akan sia-sia dan tidak mendapatkan pahala dari-Nya. Ikhlas berarti tulus, murni, dan bebas dari campuran niat yang tidak baik. Dalam konteks Islam, ikhlas berarti melakukan segala sesuatu semata-mata karena Allah SWT, tanpa mengharapkan pujian, imbalan, atau balasan dari manusia. Konsep ikhlas sangat penting dalam ibadah dan amal perbuatan seorang Muslim, karena Allah SWT hanya menerima amal yang dilakukan dengan niat yang ikhlas.

Keikhlasan mengajarkan kita untuk fokus pada tujuan yang hakiki, yaitu meraih ridha Allah SwT, tanpa terjebak oleh pengakuan duniawi atau balasan dari manusia. Sahabat Ibnu Mas’ud berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat ikhlas, dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah”

Dalam keikhlasan, keberkahan melimpah karena niat yang murni melahirkan amal yang diterima di sisi-Nya. Ketenangan batin pun menjadi buahnya, karena orang yang ikhlas tidak dipusingkan oleh penilaian atau perkataan orang lain. Ia tidak mudah tergoyahkan oleh pujian maupun celaan, sebab ia tahu bahwa nilai yang sejati berasal dari Allah SwT, bukan manusia.

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama (amalan) yang murni (ikhlas) itu merupakan hak Allah. (QS. Az-Zumar [39]: 2-3)

Abul Qasim Al-Qusyairi menjelaskan, “Ikhlas adalah menunggalkan Al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan. Yaitu, dia berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SwT. Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apa pun selain mendekatkan diri kepada Allah SwT” ( Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim, hal. 8)

 

Keikhlasan melahirkan sikap yang penuh kasih, tanpa pamrih, dan tulus. Ketika membantu orang lain, ia tidak mengharapkan balasan. Sebaliknya, ia merasa bahagia karena dapat memberi manfaat. Sehingga hubungan dengan sesama manusia juga menjadi lebih harmonis. 

Ketika seseorang membantu orang lain dengan penuh keikhlasan, kebahagiaan yang dirasakan bukan berasal dari apa yang diterima, melainkan dari kebermaknaan yang ia berikan kepada orang lain. Ketika seseorang membantu orang lain dengan tulus, ia bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik penerima bantuan, tetapi juga menyentuh sisi emosional dan spiritual. Orang yang dibantu merasakan kehangatan kasih sayang dan perhatian, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan rasa syukur dan kebahagiaan.

Hal ini membuat keikhlasan menjadi kekuatan yang mampu mendamaikan hati, membersihkan jiwa dari kepentingan pribadi, dan menciptakan harmoni di tengah masyarakat. Dengan demikian, keikhlasan bukan hanya mendamaikan hati, tetapi juga menyebarkan energi positif di tengah masyarakat.

Di sisi lain, keikhlasan juga menjadi terapi bagi jiwa. Dalam dunia yang sering kali sibuk dengan kompetisi dan ambisi, ikhlas mengajarkan untuk melepaskan ego dan menerima keadaan dengan lapang dada. Ia menjadi obat bagi rasa iri, kecewa, dan marah. Ketika seseorang ikhlas, ia tidak mempersoalkan penghargaan dari manusia, tetapi menyerahkan segalanya kepada Sang Pencipta. Ini memberikan ketenangan batin yang tak ternilai. Dengan ikhlas kita akan menjadi hamba yang unggul, pilihan dan sosok yang mukhlis sejati yang dijaga Allah dari makar setan la’natullah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ketika menyitir perkataan iblis:

Demi kekuasaan Engkau aku akan datang menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas diantaraa mereka (Shaad [38]: 82-83).

Namun, perlu juga dipahami bahwa keikhlasan bukan sesuatu yang datang dengan mudah. Ia adalah hasil dari proses mendalam untuk memahami hakikat memberi dan melepaskan. Dalam Islam, keikhlasan berkaitan erat dengan niat. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang hanya memperoleh apa yang diniatkan" (HR. Bukhari dan Muslim). 

Niat adalah dasar dari setiap amal, baik besar maupun kecil. Niat yang lurus mengarahkan seseorang untuk menjadikan segala perbuatannya sebagai ibadah kepada Allah, terlepas dari apakah amal tersebut terlihat atau tidak oleh manusia. Niat yang lurus, semata-mata karena Allah, adalah kunci untuk mencapai keikhlasan. Ketika seseorang menyadari bahwa semua yang ia miliki hanyalah titipan, maka memberi menjadi bentuk syukur, bukan beban.

Memberi tidak lagi dilihat sebagai kehilangan, melainkan wujud syukur atas karunia yang diterima. Keikhlasan inilah yang membimbing hati untuk tidak berharap balasan dari manusia, melainkan hanya dari Allah semata. Sebagaimana dalam Al-Quran, Allah berfirman, Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS. Al-Insan [76]: 8-9).

Orang yang ikhlas memberi dengan hati yang lapang, tanpa merasa terpaksa. Ia sadar bahwa apa yang ia keluarkan sebenarnya adalah bagian dari rezeki yang telah Allah tetapkan untuk orang lain. Dalam Islam, harta yang kita keluarkan di jalan Allah sebenarnya tidak mengurangi kekayaan kita. Sebaliknya, Allah menjanjikan keberkahan dan balasan yang berlipat ganda. Rasulullah bersabda, “Harta tidak akan berkurang karena sedekah...” (HR. Muslim).

Untuk mencapai keikhlasan, seseorang harus senantiasa memperbaiki niatnya. Keikhlasan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan sebuah usaha yang terus-menerus untuk membersihkan hati dari segala motivasi selain Allah. Niat yang murni dan tulus hanya akan terwujud jika seseorang selalu menyadari bahwa segala yang ia lakukan, baik itu pekerjaan, ibadah, atau interaksi dengan orang lain, hanya bertujuan untuk meraih keridaan Allah.

Mengingat bahwa semua yang dilakukan di dunia ini adalah amanah dari Allah dan bagian dari perjalanan menuju akhirat, akan menuntun seseorang untuk tetap istiqamah dalam menjaga niat. Sebagaimana dalam surat Al-Bayyinah ayat 5, Allah berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar beribadah kepada Allah dengan ikhlas, semata-mata karena-Nya, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan itulah agama yang lurus." Ini menunjukkan bahwa segala amal yang dilakukan dalam Islam harus dilandasi oleh keikhlasan semata-mata untuk Allah.

Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam menyatakan, “Amalan riya yang murni jarang timbul pada amal-amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun terkadang riya muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang memberikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amalan semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.”

Keikhlasan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan merupakan hasil dari usaha yang konsisten untuk memperbaiki niat. Untuk mencapai keikhlasan, seseorang harus mampu menjaga dan memperbaiki niatnya dengan senantiasa merenung dan mengingat tujuan utama hidup, yaitu mencari keridhaan Allah. Setiap kali seseorang melakukan suatu tindakan, dia harus bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah saya melakukannya untuk Allah atau untuk sesuatu yang lain?" Memperbaiki niat ini membutuhkan kesadaran yang tinggi akan motivasi dalam setiap perbuatan. Hal ini bukan hanya berlaku dalam ibadah ritual seperti shalat, puasa, atau zakat, tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari seperti bekerja, belajar, berinteraksi dengan orang lain, dan sebagainya.

Namun, menjaga niat tetap ikhlas tidaklah mudah. Dunia ini penuh dengan godaan, baik itu pujian, penghargaan, atau dorongan untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Ketika seseorang merasa dihargai atau diakui, kadang-kadang niatnya bisa tercampur dengan keinginan untuk mendapatkan pujian tersebut. Ini adalah tantangan besar dalam perjalanan spiritual seorang Muslim. Oleh karena itu, penting untuk senantiasa melakukan introspeksi dan mengevaluasi kembali niat sebelum, selama, dan setelah melakukan suatu amal.

Perbaikan niat ini tidak hanya berhenti pada saat memulai suatu perbuatan, tetapi juga dalam mempertahankan konsistensinya. Keikhlasan adalah suatu kondisi yang harus terus dipupuk dengan sabar dan istiqamah. Dalam hal ini, peran doa dan tafakur sangat besar. Dengan berdoa, seseorang bisa memohon kepada Allah SwT untuk diberikan ketulusan hati dan kekuatan untuk tetap istiqamah dalam niat yang baik. Di antara doa yang sering dibaca oleh ‘Umar bin Khattab agar senantiasa diberikan keikhlasan adalah, “Ya Allah, jadikan seluruh amalku bernilai kebaikan, dan jadikanlah amal tersebut benar-benar ikhlas hanya untuk wajah-Mu, dan jangan jadikan sedikit pun dari amal tersebut untuk siapa pun (selain Engkau).” (Jaamiul Masail karya Ibnu Taimiyyah).

Dengan demikian, untuk mencapai keikhlasan, seseorang harus terus-menerus memperbaiki niat, menjaga kebersihan hati, dan berusaha untuk tetap tulus dalam setiap amal perbuatan. Hal ini membutuhkan latihan batin yang intens, kesadaran diri, dan keteguhan hati untuk senantiasa mengingat tujuan utama hidup, yaitu mencari ridha Allah SwT.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Dakwah Kultural: Memperluas Dakwah Komunitas dan Akar Rumput Muhammadiyah Oleh: Agus setiyono, Sek.....

Suara Muhammadiyah

13 March 2024

Wawasan

Refleksi Milad Muhammadiyah ke-112: Menggali Makna Kontribusi dan Tantangan Oleh: Kumara Adji Kusum....

Suara Muhammadiyah

17 November 2024

Wawasan

Membantah Argumentasi Iblis: Belajar dari kisah Nabi Adam  Oleh: Miqdam Awwali Hashri, M.Si, A....

Suara Muhammadiyah

23 March 2024

Wawasan

Iman dan Amal Shaleh dalam Konteks Keindonesiaan Oleh:  Suko Wahyudi, PRM Timuran Indonesia,....

Suara Muhammadiyah

10 December 2024

Wawasan

Darurat Mental Health: Upaya Mitigasi Dalam Perspektif Psikologi Islam Oleh: Revvina Agustianti Sub....

Suara Muhammadiyah

13 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah