Nuzulul Qur’an dan Kesadaran Kolektif Umat

Publish

17 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
220
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menghidupkan Petunjuk Ilahi dalam Kehidupan

Oleh: Suko Wahyudi,  PRM Timuran Yogyakarta 

Peringatan Nuzulul Qur’an memiliki makna yang mendalam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, karena peristiwa ini tidak hanya menjadi bagian dari tradisi keagamaan, tetapi juga merefleksikan nilai-nilai luhur yang telah bertahan melintasi ruang dan waktu dalam peradaban manusia. Al-Qur’an, yang diturunkan lebih dari lima belas abad silam, berisiko memudar dari kesadaran kolektif umat Islam jika tidak senantiasa dihidupkan melalui peringatan dan penghayatan yang berkelanjutan.

Dalam ajaran Islam, peringatan memiliki posisi yang amat penting. Upaya untuk terus mengingatkan manusia akan kebenaran telah menjadi tugas utama yang melekat dalam kehidupan kaum Muslim. Kelangsungan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada kesadaran umatnya untuk selalu kembali kepada nilai-nilai ilahi yang termaktub dalam wahyu.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

"Maka berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat. Akan mendapat pelajaran orang yang takut (kepada Allah)." (Al-A'la [87]: 9-10)

Dalam momentum Nuzulul Qur’an, terdapat beberapa tema fundamental yang patut direnungkan secara mendalam. Pertama, Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar dalam sejarah kehidupan manusia, yang tidak pernah dianugerahkan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya. Keagungannya terletak pada hakikatnya sebagai wahyu ilahi, firman Tuhan yang turun di bulan suci Ramadan, menjadi cahaya petunjuk bagi umat manusia.

Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang benar dan yang batil). (Al-Baqarah [2]: 185)

Sebagai pedoman hidup, Al-Qur’an memiliki kedudukan yang istimewa, bukan hanya sebagai sumber hukum dan nilai-nilai moral, tetapi juga sebagai wahyu yang tak tertandingi. Proses pewahyuannya berlangsung secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara yang begitu menakjubkan, sehingga mustahil bagi Al-Qur’an untuk dianggap sebagai hasil rekayasa intelektual manusia. Keindahan dan ketakterbandingan gaya bahasanya menjadi bukti nyata bahwa ia berasal dari Sang Maha Kuasa, tak ada satu pun karya sastra manusia yang mampu menyainginya.

Maka jika mereka tidak memenuhi tantanganmu, maka (katakanlah), “Ketahuilah, bahwa (Al-Qur'an) itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (masuk Islam?). Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat Alquran itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Alquran) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Hud [11]: 13-14)

Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Alquran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Al-Isra'[17]: 88)

Dalam konteks Al-Qur'an sebagai petunjuk yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kedudukannya begitu agung dan fundamental. Al-Qur'an merupakan sumber utama penyelidikan mendasar (fundamental inquiry resources), yang tidak hanya memberikan landasan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menggariskan prinsip-prinsip hukum serta etika moral yang bersifat universal dalam membentuk jiwa dan mengembangkan perilaku manusia.

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an), dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, 'Kami beriman kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.' Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.  (Ali-Imran [3]: 7).

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an mengandung dimensi keterangan yang bersifat eksplisit (muhkamat) sekaligus dimensi yang memerlukan perenungan lebih dalam (mutasyabihat). Oleh karena itu, Syaikh Muhammad Abduh dan Muhammad Asad menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak boleh dipahami sekadar sebagai kompilasi petunjuk praktis yang bersifat individual, atau sebagai hasil refleksi seorang manusia semata, melainkan sebagai wahyu Ilahi yang memiliki struktur menyeluruh dan integral dalam mengarahkan kehidupan manusia.

Sebagai contoh, Al-Qur'an memberikan pedoman dalam berbagai aspek hukum, baik yang bersifat publik seperti hukum pidana dan ketatanegaraan, maupun yang bersifat privat seperti hukum perdata dan perdagangan. Namun, perlu dipahami bahwa Al-Qur'an bukanlah kitab hukum yang bersifat kodifikasi lengkap sebagaimana undang-undang positif. Sebaliknya, ia memberikan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan etis dan moral dalam membangun sistem hukum yang adil dan berkeadaban.

Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya menjadi sumber petunjuk dalam aspek ritual dan ibadah, tetapi juga dalam membangun peradaban yang berlandaskan ilmu, keadilan, dan kemaslahatan universal.

Kedua, dalam perspektif kesejarahan, dinamika perjalanan umat manusia tidak hanya berpusat pada individu atau peran aktor-aktor sejarah semata, melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang saling berkaitan. Oleh karena itu, ketika Al-Qur’an mengabadikan peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu dalam ayat-ayatnya, substansi pelajaran dan pengalaman yang terkandung di dalamnya tetap memiliki relevansi yang kuat dengan nilai-nilai moral umat manusia di masa kini maupun yang akan datang.

Sungguh, dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi (merupakan) pembenaran terhadap (kitab-kitab) yang sebelumnya, penjelasan tentang segala sesuatu, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yusuf [12]: 111)

Ketika Al-Qur’an mengisahkan tentang sifat-sifat Bani Israil, kezaliman Fir’aun, keserakahan Qarun, atau kebencian Abu Lahab, validitas ajaran yang dikandungnya tidak terikat oleh batasan ruang dan waktu. Nilai-nilai etik, moral, dan keadilan yang diungkapkan dalam narasi tersebut senantiasa bersifat universal dan tetap berimplikasi pada kehidupan manusia di setiap zaman.

Ketiga, Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk berpikir kritis dan menghindarkan mereka dari kebekuan intelektual serta sikap taqlid. Taqlid bukan sekadar kepatuhan buta, melainkan suatu kondisi jiwa di mana seseorang bertindak tanpa landasan argumen yang kuat, suatu sikap yang mendapat kecaman dalam Al-Qur’an.

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban. (Al-Isra' [17]: 36)

Seorang Muslim dituntut untuk menjalankan perbuatan dengan penuh keyakinan berdasarkan argumentasi yang kokoh. Inilah alasan mengapa Allah SwT menegaskan fungsi Al-Qur’an sebagai Furqon (pembeda antara yang benar dan yang batil).

Kemampuan menafsirkan dan menghayati Al-Qur’an sebagai pembeda antara hak dan batil, kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan, hanya dapat terwujud jika budaya berpikir analitis dan kritis terus dikembangkan di kalangan umat Islam. Prinsip ini menjadi krusial dalam upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan keterikatan umat terhadap Al-Qur’an. Kitab suci ini tidak seharusnya hanya menjadi objek perlombaan tilawah, dipamerkan di rak-rak buku, atau sekadar menjadi koleksi berharga di museum yang hanya menimbulkan kekaguman tanpa pemahaman. Lebih dari itu, peran para ulama sangatlah penting dalam membangkitkan kesadaran baru, agar umat Islam memiliki kemerdekaan dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara kontekstual dan relevan dalam kehidupan sehari-hari.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menjaga Lingkungan, Merawat Kehidupan (Komitmen IMM Dalam Mengawal Isu Lingkungan) Asman Budiman,&n....

Suara Muhammadiyah

20 May 2024

Wawasan

Milad IMM 61: Menghidupkan Ruh Cendekiawan Berpribadi  Oleh: Adrian al-fatih, Ketua Umum DPD I....

Suara Muhammadiyah

18 March 2025

Wawasan

Puasa: Jalan Kesempurnaan Spiritual yang Penuh Hikmah Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta P....

Suara Muhammadiyah

10 March 2025

Wawasan

Berpolitik yang BermuhammadiyahOleh: Tri Aji Purbani, A.Md, BI, Majelis Ekonomi Bisnis, Pariwisata d....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Wawasan

Relevansi Pendidikan Karakter di Pesantren dalam Menjawab Tantangan Zaman Eko Priyo Agus Nugroho, S....

Suara Muhammadiyah

9 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah