Pandangan Politik Kebangsaan
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah saat ini hadir di tengah dinamika kehidupan nasional yang kompleks. Kehidupan nasional sejak reformasi tahun 1998 makin ditandai oleh proses liberalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang semakin luas dan terbuka. Politik Indonesia memang makin demokratis bahkan termasuk kategori demokratis negara ketiga setelah bersama Amerika Serikat dan India. Sejumlah kemajuan dalam kehidupan politik nasional dari periode ke periode patut dihargai. Tetapi demokrasi Indonesia lebih menonjol ciri demokrasi prosedural; selain itu tumbuh demokrasi transaksional, politik uang, dan oligarki. Perilaku politik pragmatis-oportunistik dan inkonsistensi politik masih tampak kuat, baik yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan. Menurut sejumlah pandangan dunia politik makin minim negarawan tetapi surplus politisi yang hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompok sendiri. Semuanya memerlukan perbaikan, koreksi, dan perubahan agar politik nasional menjadi semakin baik dan menggambarkan jiwa dan visi politik nasional yang dicita-citakan oleh para pendidi negara tahun 1945 dan reformasi 1998.
Dalam bidang hukum terdapat krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum, lemahnya pemberantasan korupsi, mekarnya mafia hukum, dan erosi moral para penegak hukum. Di bidang ekonomi berkisar pada paradigma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi yang dualistis, kebijakan fiskal yang tidak mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak rakyat, kebijakan perdagangan dan industri yang liberal, dan cengkeraman ekonomi neoliberal yang melahirkan banyak dilema dalam membangun perekenomian konstitusional dan memihak rakyat. Sedangkan dalam aspek sosial-budaya tumbuh masalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya karakter dan mentalitas positif bangsa (PP Muhammadiyah, 2010).
Pandangan Muhammadiyah
Muhammadiyah memiliki pandangan moderat mengenai kehidupan kebangsaan. Agama dan politik memang terkait tetapi tidak dihimpitkan. Muhamamdiyah tidak memiliki pandangan yang dogmatik mengenai politik, di mana politik dibagi menjadi dua ranah yaitu politik kebangsaan atau kenegaraan serta politik praktis atau politik kekuasaan. Muhammadiyah mengambil peran politik kebangsaan dan tidak menggarap politik praktis karena merupakan ranah partai politik. Pandangan moderat seperti itu penting untuk dipahami oleh seluruh anggota Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan Khittah yang dimilikinya tidak berarti menjauhkan agama dari politik maupun anti perjuangan politik kekuasaan. Muhammadiyah dalam Khittah Deenpasar secara tegas menyatakan di poin kesatu: “Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan bangsa dan negara.”. Pada poin kedua ditegaskan, “Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”.”.
Pandangan Muhammadiyah tersebut menunjukkan posisi Gerakan Islam ini sebagai aliran “reformis-modernis” yang berwatak “wasathiytah” atau moderat. Muhammadiyah memilih perjuangan dakwah kemasyarakatan, melakukan pembagian tugas membangun negara dengan menghargai perjuangan politik praktis tetapi tidak melibatkan diri dengan partai politik, serta melakukan jalur khusus dalam berkaitan dengan peran kebangsaan-kenegaraan. Muhammdiyah dapat melakukan fungsi kelompok kepentingan seperti lobi, mengembangkan opini publik, serta berbagai peran umum kebangsaan yang sejalan dengan Kepribadian dan Khittah gerakannya.
Muhammadiyah dengan demikian tidak termasuk dalam aliran “Islamisme” yang menghimpitkan organisasinya dengan perjuangan politik praktis, sebaliknya tidak sama dan menolak paham “sekuler-liberal” yang menjauhkan agama dari urusan negara. Posisi dan peran reformis-modernis itu bukan abu-abu, tetapi mengambil posisi yang tegas yakni perjuangan politik kebangsaan melalui jalur dakwah kemasyarakatan dan pembinaan masyarakat madaniyah (civil society) secara proaktif-konstruktif. Peran kebangsaan itu sejalan dengan koridor utama Muhammadiyah untuk membangun “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah”. Pandangan dan sikap politik Muhammadiyah inilah yang disebut Prof Din Syamsuddin sebagai “politik alokatif”. Yakni politik yang mengalokasikan nilai-nilai yakni nilai keislaman yang terintegrasi dengan keindonesia dan kemanusiaan semesta yang rahmatan lil-‘alamin.
Berjuang dalam lapangan kemasyarakatan sama pentingnya dengan perjuangan politik kekuasaan. Dalam pendahuluan Khittah Denpasar disebutkan: “Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang berkedaulatan rakyat.”.
Pandangan dan pilihan perjuangan dakwah kemasyarakatan dan pembinaan masyarakat madaniyah tersebut berbasis pada nilai dan ajaran Islam serta identitas gerakan Muhammadiyah itu sendiri. Ditegaskan dalam Khittah 2002, “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-‘alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.”
Khittah Denpasar juga menegaskan, “Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur”.”.
Berkepribadian Muhammadiyah
Menghadapi masalah kebangsaan Muhammadiyah memposisikan diri sebagaimana mestinya yakni sebagai Ormas Keagamaan dan Kemasyarakatan sejalan Kepribadian, Khittah, dan ideologi gerakannya. Muhammadiyah bukan partai politik maupun lembaga oposisi. Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dalam berdakwah “amar makruf nahi munkar” pun berada dalam koridor dirinya sebagai gerakan dakwah dan bukan sebagai gerakan politik. Ketika beramar-makmruf dan nahyu-munkar menurut Kepribadian Muhammadiyah, harus disertai sikap “menjadi contoh teladan yang baik”. Lebih dari itu Muhammadiyah mengedepankan pendekatan dakwah “lil-muwajahah” (proaktif-konstruktif) daripada menggunakan pendekatan “lil-mua’aradlah” (reaktif-konfrontatif) sebagaimana digariskan dalam “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua hasil Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta, yang perlu menjadi rujukan bagi seluruh anggota terutama para pimpinan dalam menjalankan peran keumatan dan kebangsaan.
Muhamamdiyah semakin dituntut hadir berperan menjadi kekuatan strategis yang membawa pada keadaban, persatuan, dan kemajuan dengan pondasi dan arah kebangsaan yang kokoh berbasis Pancasila dan UUD 1945. Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern terbesar dan tertua di Indonesia. Karenanaya karakter, posisi diri, dan peran yang dijalankan Muhammdiyah di seluruh tingkatan niscaya menggambarkan dan menunjukkan kebesaran gerakan Islam ini layaknya suatu pergerakan dengan “tradisi besar” (great tradition). Sebaliknya tidak mencerminkan “tradisi kecil” (small tradition) yang menampakkan diri seolah minoritas yang berada di pinggiran. Radius pergaulan anggota selain harus luas dan terbuka atau inklusif, juga niscaya disertai kepercayaan diri yang kuat yang menggambarkan identitas kebesaran Muhammdiyah yang memiliki marwah, muru’ah, keterpercayaan, dan integritas diri yang kita sendiri menghargai dan meyakininya.
Menurut Pak AR Fakhruddin, dalam berhubungan dengan pihak lain termasuk pemerintah, Muhammadiyah jangan “munduk-munduk” (rendah diri, subordinasi), tetapi juga tidak “tolak pinggang” (angkuh diri, sombong). Dengan demikian tidak perlu keraguan, kecemasan, dan kehilangan kepercayaan atas kekuatan dan kepribadian diri dalam menggerakkan organisasi maupun menjalin hubungan dengan berbagai pihak manapun karena Muhammadiyah itu besar dan memiliki jatidiri yang kokoh. Anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan memiliki kekuatan integritas diri dan keteladanan kata sejalan tindakan, disertai pegangan kokoh atas prinsip-prinsip gerakan sehingga tidak perlu diragukan jatidirinya selaku aktor gerakan dakwah dan tajdid di tengah dinamika zaman karena terdidik kuat dalam budaya baik yang hidup di Muhammadiyah dari generasi ke generasi. Jika kita tidak mempercayai integritas, marwah, muru’ah, dan amanah yang menyatu dalam pergerakan Muhammadiyah maka siapa lagi yang akan mempercayainya. Jiwa sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah dalam diri anggota, kader, dan pimpinan Muhammdiyah insya Allah masih terjaga dengan baik meneledani uswah hasanah Nabi Muhammad yang namanya dinisbahkan dalam diri pergerakan Islam ini.
Muhammadiyah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan nasional yang sejak berdirinya tahun 1912 terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan kebangsaan serta membangun bangsa melalui gerakan dakwah yang berorientasi pada pembaruan serta mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia. Muhammdiyah melalui midi dakwah dan tajdid atau pembaruannya terus berkiprah tidak kenal lelah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang muaranya menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang dalam terminologi keislaman ialah Indonesia yang Baldatun ThayyibatunWa Rabbun Ghafur. Muhamamdiyah memiliki idealisasai membangun Indonesia berkemajuan sebagai aktualisasi dari peran Islam berkekamjuan. Karenanya penting terus bergerak proaktif dan dinamis dalam berperan memajukan kehidupan bangsa sesuai dengan posisi dan peran Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.
Muhammadiyah dalam relasi dengan sesama komponen umat Islam penting terus membangun ukhuwah sekaligus proaktif memajukan kehidupan umat. Relasi dengan sesama umat Islam memerlukan jiwa besar di tengah keragaman yang tidak jarang saling bersimpang jalan, baik dalam pemahaman keislaman maupun orientasi gerakan. Pasca reformasi pergerakan Islam sangat heterogen dan bersifat sentrifugal, sehingga tidak mudah menyatukan pandangan dan langkah gerakan menjadi satu barisan kokoh sebagaimana diperintahkan Allah untuk membangun kekuatan “saffan kaannahum bun-yānum marsus” atau “bersatu barisan seperti bangunan yang kokoh” (QS As-Shaff: 4).
Sejumlah kecenderungan ada komponen umat yang saling menegasikan dan membuka ruang pertikaian teologis yang keras. Kecenderungan pandangan dan sikap beragama yang ekstrem dalam beragam orientasi juga masih mewarnai kehidupan keumatan. Kondisi keumatan yang problematik tersebut memerlukan moderasi dan dialog terus menerus agar terjadi kohesivitas dan ukhuwah yang solid, meskipun dalam sejumlah hal saling berbeda. Padahal pada saat yang sama umat Islam Indonesia secara ekonomi dan politik masih berada dalam posisi marjinal, belum atau tidak menjadi kekuatan besar yang dominan dan signifikan. Muhammadiyah dalam menghadapi situasi keumatan seperti itu penting menjadi kekuatan pencerdas dan pencerah, serta tidak terbawa arus dalam pemikiran dan sikap keumatan yang serba ekstrem. Di sinilah pentingnya memperkuat “capacity building” dan orientasi membangun kekuatsn strategis khususnya di bidang ekonomi bagi umat Islam Indonesia sebagai agenda besar dan berat yang memerlukan perhatian semua komponen, termasuk Muhammadiyah.
Peran dan relasi Muhamamdiyah dengan berbagai pihak baik pemerintah maupun komponen kebangsaan di dalam dan luar negeri alhamdulillah berjalan baik dan positif. Semuanya dijalin secara elegan, bermartabat, independen, serta menjujung tinggi marwah dan muru’ah Muhammadiyah. Peran dan hubungan proaktif-konstruktif itu dijiwai oleh Sepuluh Sifat Kepribadian Muhammadiyah yakni: (1) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan; (2) Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah; (3) Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam; (4) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; (5) Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah; (6) Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik; (7) Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam; (8) Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya; (9) Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.; dan (10) Bersifat adil serta korektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Sumber: Majalah SM Edisi 07 Tahun 2023