Pasar Rakyat Persyarikatan: Sebuah Ikhtiar Menata Ulang Etika Ekonomi Umat

Publish

15 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
53
Bazar Suara Muhammadiyah

Bazar Suara Muhammadiyah

Pasar Rakyat Persyarikatan: Sebuah Ikhtiar Menata Ulang Etika Ekonomi Umat

Suwatno

Cuaca Purwokerto sore itu masih menyisakan dingin gerimis. Awan kelabu menggantung rendah ketika jarum jam mendekati pukul 15.00 WIB. Hujan yang turun sejak pagi menjelang siang membuat jalanan mengkilap, menyisakan aroma tanah basah bercampur dengan kesibukan kota. Di tengah suasana mendung itu, saya meluncur ke Pasar Wage, pasar rakyat  terbesar dan vital bagi denyut ekonomi masyarakat Purwokerto.

Rencana saya sederhana: menemui Pak Arief Budiman, Kepala Pasar Wage, untuk melanjutkan diskusi tentang kondisi dinamika ekonomi yang makin kompleks pada "Pasar Rakyat" (UU No.7/2014 tentang Perdagangan; Permendag No.23/2021). Pasar Rakyat dulu disebut dengan Pasar Tradisional. 

Saya tidak menyangka kunjungan sore itu justru membuka cara pandang baru tentang gagasan lama. Gagasan tentang perlunya Muhammadiyah hadir untuk membangun, menata dan mengelola Pasar Rakyat.

Sore di Pasar Wage

Saat tiba di pasar, aktivitas sudah mulai mereda. Para pedagang sayuran merapikan sisa dagangan, beberapa lainnya menurunkan terpal dari lapak mereka. Sore memang bukan puncak keramaian, tetapi denyut ekonomi usaha kecil tetap terasa dari langkah- langkah para pembeli yang baru pulang kerja. Suasana pasar tradisional selalu penuh cerita, bahkan ketika tidak ramai sekalipun.

Saya memasuki kantor pengelola pasar. Sebuah ruangan sederhana, tapi hangat oleh sambutan Pak Arief yang sudah menunggu dengan senyum dan sapaan akrab. Seperti biasa, beliau membuka percakapan dengan ramah, namun nada serius segera muncul ketika topik utama kami mengalir: kondisi pasar setelah program MBG ramai diberitakan di berbagai media nasional dan medsos.

Kebijakan yang pada mulanya dimaksudkan untuk efisiensi, efektifitas dan keteraturan distribusi rantai pasok bahan pangan ternyata membawa dampak samping yang cukup berat. Kenaikan harga pangan, tekanan kepada pedagang kecil, hingga kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat menjadi perhatian banyak pihak. Termasuk anggota Komisi IX DPR RI, Dr. Edy Wuryanto, M.Kep. yang menyoroti persoalan itu secara terbuka di ruang sidang.

Pak Arief menghela nafas ketika membahas hal ini. “Sistem kita sering lupa melihat pedagang kecil sebagai tulang punggung pasar,” ujarnya. Dampak peraturan yang kurang berpihak pada mereka bukan sekedar persoalan ekonomi semata, tetapi juga soal kelangsungan hidup.

Praktik Pasar yang Tidak Terlihat Publik

Namun di luar persoalan kebijakan nasional, Pak Arief  juga menyinggung kondisi lain yang lebih rumit dan lebih personal: "praktik kecurangan, permainan harga, dan monopoli kecil-kecilan yang dilakukan segelintir pedagang".

“Ini dinamika internal yang tidak mudah disentuh,” kata Pak Arief.
"Bukan soal Retribusi atau Peraturan resmi. Ini soal jejaring yang dibangun pedagang sendiri.”

Ada oknum-oknum pedagang yang dengan sengaja menciptakan monopoli pasokan produk tertentu. Ada yang bekerja sama dengan pemasok SPPG MBG untuk mengatur harga. Ada pula "pedagang baru" yang memanfaatkan posisi lebih kuat untuk menekan pedagang lama. Semua praktik itu berlangsung di luar kewenangan Kepala Pasar sebagai pengelola ruang. Ia bisa menata lapak, menjaga kebersihan, memastikan ketertiban—tetapi tidak bisa masuk sepenuhnya ke arena antar pedagang yang sudah berakar puluhan tahun.

Di titik inilah saya teringat pada satu gagasan yang pernah disampaikan seorang tokoh yang saya hormati: Kyai Khafid Sirotudin, Ketua LPUMKM PWM Jateng.

Ide “Pasar Persyarikatan” Mulai Masuk Akal

Pada akhir tahun 2023, pasca Rakerwil LPUMKM PWM Jateng di Semarang, Kyai Khafid pernah menyampaikan salah satu Program Kerja hasil Rakerwil tentang perlunya merintis pendirian Pasar Rakyat Persyarikatan. Bukan sebuah pasar yang diberi label resmi Muhammadiyah, tetapi sebagai sebuah konsep peradaban ekonomi. 

Waktu itu, jujur saya masih menganggap ide itu janggal, bahkan terlalu idealis. Bagaimana mungkin membuat Pasar Rakyat yang sepenuhnya bersih? Bagaimana mungkin menata pasar agar bekerja dengan etika ekonomi (akhlak) gotong royong (berjamaah) tanpa harus mengulang praktik lama ekonomi kolonial monopolistik ala kapitalisme liberal?

Namun sore itu, semua yang diceritakan Pak Arief membuat saya memahami apa pernah disampaikan Kyai Khafid. Seorang aktivis yang sejak remaja sudah berdaganh di pasar. Beliau juga Pengurus APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) Jawa Tengah dan Ketua APPSI Kabupaten Kendal.

Pasar Rakyat Muhammadiyah bukan bicara soal bangunan megah, berlogo organisasi, atau memakai sistem yang terlihat modern. Bukan pula berarti menguasai semua ruang-ruang ekonomi. Bukan..!!

Yang beliau maksud adalah menghadirkan ruh peradaban pasar di era Rasulullah Saw. membangun ekosistem ekonomi di Madinah. Sebuah pasar yang tidak dikuasai dan dikendalikan pedagang besar,  mafia harga, dan tidak dikuasai jaringan yang mematikan persaingan. Sebuah peradaban bisnis yang tidak membunuh usaha mikro dan kecil, sekaligus tidak mematikan usaha besar.

Sebuah pasar yang dibangun atas Empat prinsip utama:
1. Kejujuran dalam kualitas barang, timbangan dan harga.
2. Keterbukaan dalam transaksi, tanpa permainan di belakang layar.
3. Amanah dan fairness (berkeadilan)  dalam distribusi barang, jasa dan modal.
4. Aksesibilitas bagi semua pedagang, terutama usaha kecil dan baru merintis.

Rasulullah Saw. dahulu pernah membuka pasar di Madinah yang tidak dipagari tembok tinggi, tidak diperbolehkan sewa menyewa lapak, dan dilarang adanya pihak yang memonopoli. Pasar Nabi Saw. adalah pasar yang memerdekakan pedagang kecil, menghidupi rakyat kebanyakan.

Kyai Khafid percaya: “Jika setiap  Kabupaten/Kota, Muhammadiyah mampu membangun Satu Pasar Persyarikatan seperti itu, maka ekonomi masyarakat bisa bergerak lebih sehat.”

Dan setelah berkunjung ke Pasar Wage sore itu, saya akhirnya memahami betapa relevannya cita-cita tersebut.

Pasar Sebagai Ruang Ibadah  Sosial-Ekonomi

Pasar Rakyat Persyarikatan, dalam gagasan itu, bukanlah proyek ekonomi semata. Ia adalah ihtiar peradaban, usaha memulihkan etika dan akhlak ekonomi di kehidupan sehari-hari. Pasar Rakyat bukan hanya tempat jual beli. Ia adalah penanda budaya, tempat orang bertemu, silaturahmi,  membangun sinergi dan jaringan sosial, saling memberikan manfaat, dan saling menolong (gotong royong; jamiyyah).

Nilai-nilai itu sudah mulai memudar di banyak tempat. Maka gagasan Pasar Rakyat milik Muhammadiyah menjadi sangat tepat untuk dihidupkan kembali dan diwujudkan.

Ini bukan soal modernisasi bangunan fisik , tetapi modernisasi etika ekonomi.
Bukan soal menjadi pesaing pasar milik Pemerintah Daerah, tetapi menjadi teladan bagi semua pasar.

Ketika meninggalkan kantor Pasar Wage itu, gerimis telah berhenti. Langit masih kelabu, tetapi ada garis cahaya yang menembus di antara awan—seolah sama dengan perasaan saya ketika berjalan keluar.

Bahwa gagasan besar seringkali lahir dari keresahan kecil. Bahwa perubahan besar bisa dimulai dari pasar kecil yang kita sentuh sehari- hari. Bahwa pasar bukan sekadar tempat mencari rezeki, tetapi tempat menjalankan amanah Allah dalam muamalah menjadi wujud paling nyata.

Dan hari itu, saya semakin yakin bahwa Pasar Rakyat Persyarikatan bukan gagasan yang mengada-ada.
Ia adalah kebutuhan. Ia adalah sebuah ihtiar besar. Ia adalah jalan panjang yang harus dimulai dari langkah nyata kecil hari ini.

*)Suwatno ibnu Sudihardjo. Inisiator Aspirasimu. Pegiat UMKM Muhammadiyah Jawa Tengah


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Kekuatan Cinta Menyelamatkan Indonesia Oleh: Agusliadi Massere Indonesia adalah kode—yang me....

Suara Muhammadiyah

25 November 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Pencapaian ilmiah mengalami lonjakan dahsyat di masa pemerintahan khalifah Al M....

Suara Muhammadiyah

26 September 2023

Wawasan

Ramadhan sebagai  Sekolah Prososial Oleh: Gufron Amirullah, Dosen Uhamka/ Tenaga Ahli Wak....

Suara Muhammadiyah

27 March 2025

Wawasan

Hati  Terkunci dan Kesempatan Bertaubat Oleh: Rumini Zulfikar (Gus Zul) Bagi penulis, judul d....

Suara Muhammadiyah

4 October 2024

Wawasan

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag, M.Pd Sebagai anak muda, mengikuti perhelatan besar Musyawarah Nas....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah