Pendidikan Inklusi Menurut Hadits
Niki Alma Febriana Fauzi, Dosen Prodi Ilmu Hadits Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian (HR. Muslim).
Hadits ini diriwayatkan antara lain oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2564, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 9994 dan 10637, Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 4143, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 394, dan Ahmad dalam Musnad-nya no. 7827 dan 10960. Isinya menjelaskan salah satu prinsip penting ajaran Islam yaitu keterbukaan (inklusivisme) atas semua golongan atau kelompok manusia untuk dapat memperoleh hak yang sama, yakni posisi terbaik di sisi Allah.
Menurut al-Shan’ani, hadits tersebut menunjukkan bahwa tolok ukur pembalasan dan perhitungan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya tidak lain didasarkan pada apa yang terdapat dalam hati, bukan pada bentuk zhahir (luar) dan tindakan lahir. Al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh al-Shalihin mempertegas penjelasan al-Shan’ani, bahwa Allah tidak melihat bentuk tubuh hambanya; apakah kecil atau besar, sehat atau sakit, bagus atau jelek. Juga tidak melihat pada nasabnya; apakah keturunan bangsawan atau rakyat biasa. Begitu pula tidak melihat pada hartanya; apakah kaya atau miskin. Semua itu bagi Allah tidaklah berarti. Karena yang menjadikan manusia itu bernilai di mata Allah adalah ketakwaannya.
Prinsip inklusivisme ini jika diresapi, akan mendorong setiap individu manusia untuk dapat saling memberi ruang dengan manusia lain untuk bersama-sama dalam hal apapun, tanpa ada diskriminasi. Termasuk dalam hal mengakses pendidikan, fasilitas publik, beribadah, kesehatan, dan lain sebagainya, dimana selaras dengan semangat al-Quran surat al-Hujurat ayat 13.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Ayat ini menerangkan hakikat penciptaan manusia yang diciptakan oleh Allah dengan berbagai diferensiasi. Namun alih-alih bermakna negatif, diferensiasi tersebut justru menunjukkan makna yang positif. Sayyid Quthb dalam tafsirnya menjelaskan bahwa tujuan utama dari berbagai diferensiasi penciptaan manusia bukanlah untuk menciptakan permusuhan (al-tanahur) dan perselisihan (al-khisham), namun untuk membangun kesepahaman (al-ta’aruf) dan keharmonisan (al-wi’am) satu sama lain (Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, vol. 6, h. 3334). Perbedaan warna kulit, bentuk fisik, ras, suku, bangsa, tradisi, dan budaya hendaknya tidak menjadi alasan untuk berseteru, akan tetapi seharusnya menjadi spirit untuk saling tolong-menolong, bahu-membahu dalam mewujudkan peradaban yang berkemajuan.
Beberapa mufasir seperti al-Baghawi (Ma’alim al-Tanzil, vol. 7, h. 347) dan al-Tsa’labi (Al-Kasyfu wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 5, h. 536) menjelaskan sebab turunnya ayat ini, dimana setidaknya ada dua riwayat terkait. Riwayat pertama berkenaan dengan Sahabat Bilal yang mengalami diskriminasi pada saat mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya setelah penaklukan kota Mekah. Ketika itu sebagian masyarakat melalukan verbal bullying kepada Bilal karena warnanya yang hitam dan statusnya sebagai mantan budak. Dalam riwayat tersebut digambarkan, misalnya, ‘Atab bin Usaid bin Abi al-‘Ish mengejek Bilal dengan mengatakan, ‟Segala puji bagi Allah yang telah mengambil ayahku sehingga dia tidak melihat hari ini”. Tidak hanya ‘Atab bin Usaid, al-Harits bin Hisyam juga tidak kalah keji dalam mengejek Bilal dengan mengatakan: “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?”. Mendengar banyaknya ejekan yang ditujukan kepada Bilal, Jibril lalu turun kepada Nabi untuk menyampaikan pesan tegas Allah kepada mereka yang telah menghina Bilal berupa surat al-Hujurat ayat 13.
Riwayat kedua berkenaan dengan sahabat yang bernama Tsabit bin Qais yang menegur seseorang yang tidak mau berbagi ruang dalam majelis ilmu Nabi dengan mencelanya menggunakan ucapan yang tidak etis (verbal bullying). Tsabit bin Qais mengatakan kepada orang tersebut: “Wahai ibnu fulanah, (wajahmu) jelek karena ibumu! (ibnu fulanah, yu’ayyarahu bi-ummihi)”. Mendengar itu, Nabi lantas bertanya: “Siapa yang menyebut fulanah?”. Tsabit menjawab, “Saya, wahai Rasulullah”. Lantas Nabi bersabda kepadanya, “Lihatlah wajah orang-orang (yang ada dalam majelis ini)”. Tsabit lalu melihat wajah mereka, dan Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah yang engkau lihat?”. Tsabit menjawab, ”Aku melihat ada orang yang sangat putih, sangat hitam dan sangat merah.” Nabi lantas bersabda,”Sesungguhnya engkau tidak dapat mengungguli mereka kecuali dengan agama dan ketakwaan”. Bersamaan dengan itu pula turunlah surat al-Hujurat ayat 13 sebagai penegasan atas sikap Nabi tersebut.
Di samping itu, berkenaan dengan perilaku orang yang tidak mau berbagi ruang dalam majelis sebagaimana yang diceritakan dalam riwayat tersebut, Allah turunkan surat al-Mujadilah ayat 11, yang jika diperhatikan secara seksama juga menyerukan prinsip inklusivisme, bahkan lebih spesifik: inklusivisme dalam pendidikan, yaitu perintah Allah untuk berbagi ruang dalam majelis-majelis pertemuan tanpa membedakan status dan kondisi seseorang – semuanya harus mendapatkan hak dan fasilitas yang adil. Firman-Nya,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini secara spesifik menjelaskan tentang perintah membuka akses pendidikan secara luas kepada siapapun tanpa terkecuali. Bahkan Allah akan memberikan pahala yang sangat besar (yafsahillahu lakum) kepada orang yang mau mengupayakan dan menjamin terbukanya akses pendidikan. Al-Baghawi ketika menafsirkan kalimat yafsahillahu lakum (Allah akan melapangkan bagi kalian), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah Allah akan melapangkan surga bagi kalian dan majelis-majelis yang ada di dalamnya.
Dalam semangat yang sama, ayat tersebut juga dapat dipahami secara mafhum mukhalafah (divergent meaning). Salah satu makna perintah dalam usul fikih adalah al-amru bi al-sya’i yastalzimu al-nahy ‘an dhiddihi (perintah untuk melakukan sesuatu berarti larangan untuk melakukan kebalikannya). Artinya, perintah membuka akses pendidikan seluas-luasnya dan seadil-adilnya, berarti larangan bagi siapa saja untuk menghambat, menghalangi, dan menutup akses pendidikan.
Akhirnya, penjelasan di atas mudah-mudahan dapat menjadikan kita lebih peka dan menyadari pentingnya pendidikan bagi semua orang, tanpa ada diskriminasi. Di antara yang sering mendapatkan diskriminasi, misalnya, adalah kelompok difabel. Saudara-saudara kita difabel adalah orang yang sama-sama memiliki hak untuk menikmati pendidikan, fasilitas publik, tempat ibadah, dan segala hak lain yang diperuntukkan bagi warga negara pada umumnya. Kini sudah saatnya kita mengadvokasi setiap orang yang mendapatkan diskriminasi dan mendorong pihak yang memiliki otoritas untuk menciptakan kebijakan yang pro terhadap pendidikan inklusi.
Sumber: Majalah SM No 15 Tahun 2020